Ana

Minggu, 30 September 2012

Ulang Tahun Doraemon




            Doraemon, si kucing biru dari masa depan itu, telah ikut berperan dalam kehidupan saya. Serial Doraemon ini ditayangkan di hari Minggu pagi dari saya masih kecil dulu. Serial Doraemon ini juga pernah berperan sebagai “pengganggu” jalannya sekolah minggu. Dulu, saya dan adik-adik sering bolos sekolah minggu demi menonton Doraemon. Lokasi rumah yang dekat gereja malah memudahkan kami untuk bolos, hehehe….
            Doraemon juga ikut mengiringi masa remaja saya. Komik-komiknya selalu menemani saya dalam tiap suasana. Komik inilah yang membuat saya, orang yang suka membaca, bisa “nyambung” ngobrol dengan orang yang tidak suka membaca. Kami sama-sama dapat menikmati komik Doraemon. Saya ingat, dulu sebuah buku komik harganya Rp. 2.300, naik menjadi Rp. 2.700, dst. Saya berhenti membeli komik Doraemon ketika harga komiknya mencapai harga Rp. 7.000.
            Kesukaan saya dengan Doraemon, membuat saya cukup mahir menggambar si Doraemon. Setiap kali bertemu dengan anak-anak kecil dan menggambar bersama, saya selalu menggambar Doraemon untuk mereka. Menyenangkan rasanya ketika anak-anak kecil itu mengenali gambar tersebut sebagai Doraemon. Rasanya seperti umurnya gak jauh beda :D
            Doraemon dan Nobita, sahabatnya yang kurang cerdas itu, ternyata masih bernasib sama hingga sekarang. Nobita masih kelas 4 SD. Doraemon masih saja nebeng di rumah Nobita. Kantong ajaibnya masih juga mengeluarkan aneka peralatan ajaib.
            Dari sebuah portal anak, www.kidnesia.com saya baru tahu, kalau ternyata Doraemon itu lahirnya di bulan September, tepatnya 3 September 2112, 100 tahun dari sekarang. Hebat, ya, belum juga dilahirkan, sudah bisa menjadi sejarah. Doraemon menjadi sejarah kehidupan saya. {ST}

Baca juga : 100 Boneka Doraemon di Harbour City

Senin, 24 September 2012

Anak Kucing di Atas Atap




            Kucing-kucing tanpa pemilik di sekitar rumah kami sering kali menjadi tamu yang tak diundang di rumah warga. Seperti juga yang terjadi di rumah kami. Kucing-kucing yang menganggap plafon rumah kami sebagai tempat bersalin, pasti akan diminta pergi dengan segera.
            Ada kalanya kami tak mampu untuk mengusir atau memindahkan keluarga kucing itu. Kami hanya bisa menanti sampai para anak kucing cukup besar untuk keluar sendiri dari tempat persembunyian yang juga adalah tempat kelahirannya.
            Ketika keluarga kucing itu keluar dari tempat persembunyiannya, tidak semua berjalan mulus. Ada saatnya kepindahan itu membuat para anggota keluarga terpisah. Seperti anak kucing yang terjebak di atap kami ini. Anak kucing itu saya temukan sendirian dan “menangis” mengeong.
            Kami, para manusia yang tadinya kesal dengan ulah para kucing ini, akhirnya merasa iba juga. Anak kucing ini terlihat jelas belum mempunyai keterampilan memanjat seperti kucing dewasa. Akhirnya, kami menurunkannya dari atap dan mengantarkannya ke luar pagar. {ST}

Minggu, 23 September 2012

Catatan Gak Resmi Sekretaris Majelis : Mencoba Tetap Tulus dan Setia Ketika Masalah Datang Menghadang









            Sebagai seorang sekretaris majelis, sekretaris pelaksana pulak, saya masih tetap harus memantau segala keputusan sampai terlaksana. Pada saat yang sama, rekan-rekan saya yang lain kemungkinan sudah melupakan apa yang kami putuskan bersama.
            Sejak awal dipilih dan kemudian diteguhkan, saya sudah tahu kalau saya akan menghadapi kendala karena keterbatasan. Hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah tetap menjaga komitmen dan semangat. Namun ternyata hal itu juga tidak mudah.
            Ada saatnya saya merasa sangat kelelahan dan sendirian. Apa yang menjadi beban pikiran saya memang tidak semuanya bisa dibagikan kepada orang lain. Hal-hal yang menjadi rahasia jabatan hanya bisa saya bagikan pada orang yang ber”jabatan” juga.
            Ada pula saatnya saya mau “ngabur” aja. Toh, banyak juga, kok, yang mangkir dari tugasnya. Pikiran ini benar-benar menggoda, apalagi saat saya merasa benar-benar sendirian dan kelebihan beban.
            Suatu kali, dalam sebuah renungan pagi, saya merasa sangat ditegur. Di buku renungan itu tertulis, “Tetaplah tulus dan setia dalam pelayanan ketika masalah datang menghadang”. Teguran itu datang pada waktu yang tepat. Beberapa jam sebelumnya, di tengah malam sebelumnya, saya betul-betul berpikiran mau undur diri saja.
            Pengunduran diri karena alasan yang tak jelas tentu saja bukanlah bentuk kesetiaan dalam pelayanan. Itu hanyalah bentuk pelarian seorang pengecut yang ketakutan menghadapi masalah. Dan saat itu, saya diberi kesempatan untuk merenungkannya, di pagi hari yang tenang, sendirian.
            “Teguran” itu cukup mengena bagi saya. Niat di tengah malam itu, telah berbalik arah di pagi harinya. Semangat baru pun muncul. Saya mencoba sepenuh hati untuk tetap tulus dan setia dalam pelayanan ketika masalah datang menghadang. Doakan, ya… {ST}

Rabu, 19 September 2012

Catatan Seorang Editor: Manusia Gua




            Naskah-naskah yang dikirimkan oleh anak-anak tidak selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang baku. Kadang-kadang dialek daerah juga muncul. Yang paling sering adalah dialek anak Jakarta, menggunakan lu, loe, gue, gua, nape, dll.
            Suatu ketika, saya menerima sebuah naskah yang hampir setiap kalimatnya ada kata “gua’. Tidak hanya dalam kalimat langsung, tapi juga dalam kalimat lainnya. Misalnya: bapak gua, gua jalan, gua makan, dan gua-gua lainnya. Penggunaan kata “gua” terlalu berlebihan. Yang tak perlu ada “gua” juga ada “gua”nya.
            Saya perlu waktu cukup lama untuk memperbaiki naskah ini. Bahkan pernah saya tinggalkan, sementara mengerjakan yang lain. Dan ketika saya harus kembali ke naskah yang ini, saya berkata dalam hati, “Kembali ke manusia gua.” {ST}

Selasa, 18 September 2012

Memperbesar Tampilan Layar Mozilla




            Dalam melakukan pekerjaan saya sebagai editor media online, tentu saja harus memantau tampilannya secara terus-menerus. Untuk memudahkan pemantauan ini, saya pun membuat database untuk semua naskah yang diterbitkan. Dalam naskah tersebut, juga termasuk link-nya.
            Untuk mendapatkan link, saya harus membuka halaman tempat naskah tersebut ditayangkan. Hal itu saya lakukan berulang-ulang seiring dengan makin banyaknya naskah yang diedit dan diterbitkan. Karena terlalu sering dibuka, tampaknya tanpa sengaja saya membuat tampilan layarnya menjadi kecil.
            Tampilan layar yang menjadi kecil itu untuk beberapa saat terpaksa harus saya nikmati. Selama beberapa hari saya tidak tahu bagaimana cara memperbesar tampilannya. Saya kebingungan sendiri dan tidak ada orang yang bisa ditanya. Sampai akhirnya, tanpa sengaja, tampilan layar bisa menjadi besar.
            Karena belum tahu apa yang mengakibatkan layar menjadi besar kembali, saya pikir hal itu terjadi secara otomatis. Akhirnya, barulah saya browsing di internet, sambil sedikit menyesali diri, mengapa tidak melakukannya saat pertama kali mendapatkan masalah ini.
            Ternyata caranya cukup mudah. Untuk memperbesar tampilan tekan Ctrl+. Untuk memperkecil tampilan layar tekan Ctrl-. Tips ini sengaja saya catat di blog ini untuk mengingatkan diri saya sendiri. Kali aja suatu saat nanti saya menghadapi masalah yang sama dan lupa cara mengatasinya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini