Toni
anak seorang petani. Setiap hari setelah pulang dari sekolah, dia membantu
orang tuanya bekerja di sawah. Sebuah kewajiban yang tidak dilakukan semua
anak. Beberapa temannya banyak yang bisa langsung bermain setelah pulang
sekolah.
Suatu saat, Toni juga ingin bermain
seperti temannya yang lain. Sayangnya, teman-temannya tidak ada yang mau
mengajaknya bermain sepulang sekolah. Sampai akhirnya ada juga yang bersedia
menemaninya, Gandi.
Gandi, yang kelasnya di sebelah
Toni, hanya sesekali dilihat oleh Toni. Anak ini selalu langsung pulang tak
lama setelah bel akhir sekolah berbunyi.
“Kamu beneran mau main sama aku?”
Toni bertanya pada Gandi.
“Hmmmm….kamu kan minta aku jadi
temanmu. Kalau jadi temanmu, aku mau. Tapi kalau main, aku gak bisa.” Gandi
menjawab sambil menunduk melihat ke sepatunya.
“Kenapa gak bisa?” Toni bertanya
penasaran. Apakah ada anak lain lagi yang tidak bermain sepulang sekolah
seperti dirinya?
“Aku harus bantuin ibu, memintal
kapas.” Kata Gandi cepat.
“Memintal kapas?” Toni bertanya.
“Iya. Nanti diwarnai oleh Ibu, terus
ditenun jadi kain.” Kata Gandi. “Jadi, aku gak bisa main. Kalo Ibu semua yang
mengerjakan, kasian. Nanti gak sempat masak.” Lanjut Gandi lagi.
“Boleh aku ikut memintal kapas?”
Tanya Toni.
“Boleh saja kalau mau.” Kata Gandi.
Kedua anak inipun berpisah di depan
gerbang sekolah. Toni tahu, dia tidak bisa tiba-tiba begitu saja pergi ke rumah
Gandi. Orang tuanya pasti mencarinya.
Setiba di rumah, Toni bercerita pada
ibunya tentang keinginannya untuk bermain ke rumah Gandi. Ibu dan ayah Toni
mendengarkan cerita anaknya ketika mereka sedang makan siang bersama sebelum
pergi ke sawah.
“Iya besok kamu boleh main ke rumah
Gandi.” Ayah Toni memberikan ijin sambil tersenyum. “Hari ini kita menanam padi
dulu ya….” Ayahnya berkata lagi.
Hari itu Toni dan keluarganya semua
turun ke sawah untuk menanam padi. Dengan bersemangat Toni mengerjakan tugasnya
di tengah lumpur sawah.
Sepulang sekolah esoknya, Toni
cepat-cepat menuju kelas Gandi dan menghadangnya di depan pintu.
“Gandi, nanti aku main ke rumahmu
ya…Aku mau ikut memintal kapas.” Toni berkata sambil tersenyum.
“Ayo ikut pulang sekarang.” Gandi
berkata mengajak Toni pulang.
Kedua anak itu berjalan kaki ke
rumah Gandi. Mereka disambut oleh seorang ibu yang sedang membawa gulungan
benang.
“Ayo makan dulu…” Ibu itu berkata
kepada kedua anak berseragam sekolah itu.
Kedua anak itu makan dengan cepat.
Gandi tak sabar ingin mengajarkan cara memintal. Toni tak sabar ingin tahu
caranya. Cerita Gandi sepanjang perjalanan pulang tadi membuat Toni makin
penasaran.
“Begini Ton caranya, ditarik-tarik
supaya jadi panjang, kemudian dimasukkan ke alat itu.” Gandi memberi tahu Toni
dengan bersemangat.
Toni pun bersemangat untuk mencoba.
Gumpalan kapas yang ditarik menjadi benang itu adalah suatu hal yang baru
baginya. Mereka mengerjakannya berjam-jam sampai akhirnya terdengar suara
lembut seorang ibu.
“Gandi, sudah waktunya tidur siang.”
Ibu Gandi menghentikan kegiatan kedua anak itu.
“Toni mau ikut tidur siang di sini?”
Ibu Gandi bertanya pada Toni.
Toni menatap ibu itu dengan wajah
kebingungan. Dia dan keluarganya tidak punya kebiasaan tidur siang. Siang
sampai sore hari selalu mereka habiskan di sawah.
“Saya pulang saja, Bu. Biasanya juga
tidak pernah tidur siang.” Jawab Toni.
“Kalo Gandi harus tidur siang, jadi
nanti malam waktu belajar tidak ngantuk.” Ibu Gandi berkata kepada kedua anak
itu.
Toni akhirnya pamit pulang dengan
riang. Pengalaman baru memintal kapas menjadi benang membuatnya bersemangat.
Dia tidak pulang menuju rumah, tapi malah ke sawah. Dia tahu selagi hari belum
senja, seluruh keluarganya akan berada di sawah dan tidak ada orang di rumah.
Toni tiba di sebuah petak yang baru
saja ditanami. Tampaknya ayahnya menanamnya tadi pagi. Bibit-bibit kecil padi
yang berderet teratur itu belum ada di hari kemarin.
“Bibit-bibit ini masih kecil sekali.
Bagaimana caranya ya supaya bisa cepat panen?” Toni bertanya dalam hati sambil
duduk di pematang sawah.
Tiba-tiba Toni menemukan ide yang
menurutnya bagus. Segera dia turun ke sawah berlumpur itu dan menarik-narik
bibit-bibit padi itu. Dia menarik semua bibit padi dalam 1 petakan. Toni
berpikir, bila bibit-bibit itu ditarik, maka akan bertambah panjang dan cepat
besar, cepat panen. Menarik segumpal kapas dan membentuknya menjadi benang
mengisi pikirannya. Dia berpikir kalau bibit-bibit ini ditarik maka akan
bertambah panjang pula.
Toni pulang ke rumah dengan hati
senang. Hari itu dia bisa bermain bersama temannya, dan bisa juga sekaligus
bekerja di sawah. Keriangan Toni berlanjut sampai waktunya belajar di malam
hari.
Esoknya, Toni pergi ke sekolah
seperti biasa. Ayahnya pun pergi ke sawah seperti hari-hari sebelumnya. Sang
ayah segera mendatangi sawah yang kemarin baru saja ditanamnya. Dia heran
mengapa bibit-bibit yang baru saja ditanamnya kemarin itu ada yang mati menguning, ada yang tercabut. Lebih
heran lagi karena kejadian itu menimpa sepetak tanah. Hanya sepetak dari banyak
petak di sawah itu.
Ayah Toni meninggalkan petak ini
untuk sementara dan melanjutkan pekerjaan lainnya. Dia masih bertanya-tanya
dalam hati siapa yang membuat bibit-bibit padi di sawahnya itu tercabut.
Saat berkumpul bersama keluarga di
saat makan siang. Ayah Toni bercerita tentang kejadian di petak sawah yang baru
ditanamnya itu. Toni yang sedang menyuap nasi menghentikan suapannya.
“Apakah itu sawah yang kemarin aku
tarik-tarik padinya itu ya?” Toni bertanya dalam hati sambil mengerutkan
keningnya.
Setelah makan siang, keluarga petani
itu keluar rumah menuju ke sawah. Toni segera menuju petak sawah yang kemarin
didatanginya. Ayahnya juga mengikuti dari belakang. Bapak petani itu heran
mengapa Toni langsung menuju petak yang diceritakannya tadi. Mereka sama-sama
berhenti di tepi petak itu dan melayangkan pandangan.
Toni memandang petak dengan
bibit-bibit kecil yang tak beraturan itu. Ada yang miring ke kiri, ke kanan,
ada yang kering. Dia menelan ludahnya tanpa bisa berkata-kata.
“Ini Ton, yang tadi Ayah ceritakan
waktu makan siang.” Ayah Toni berkata di samping anaknya.
“Ayah, kemarin Toni ke sini. Terus
padinya Toni tarik-tarik supaya panjang. Jadi lebih cepat besar.” Toni berkata
pelan di samping ayahnya.
Ayah Toni mendengarkan anaknya,
mengerutkan keningnya dan akhirnya tertawa terbahak-bahak.
“Hahahaha….Toni….Toni….Kamu dapat
pikiran seperti itu dari mana, Nak?” Ayah Toni bertanya sambil mengacak-acak
rambut Toni.
Toni yang bingung karena ayahnya
tertawa terbahak-bahak memandang bingung.
“Kapas yang ditarik-tarik kan jadi
panjang. Jadi benang.” Kata Toni masih dengan wajah bingung.
Maka
mengertilah ayahnya, mengapa Toni menarik-narik bibit padi yang masih kecil
itu. Pasti anaknya bermaksud supaya bibit itu cepat besar, berbuah dan dipanen.
Maksud baik yang dilakukan dengan cara yang salah.
“Padi itu tidak sama dengan kapas.
Padi perlu tanah dan air supaya tumbuh. Ditarik-tarik malah tercabut dari
tanahnya. Malah mati.” Ayah Toni memberi pengertian dan penjelasan kepada
anaknya yang menatap petak sawah dengan sedih.
“Ayah, maafkan Toni.” Toni tertunduk
lesu di sebelah ayahnya.
“Tidak apa-apa. Ini pelajaran buat
kamu.” Ayah Toni menepuk bahu Toni dengan sayang.
“Kapan-kapan kamu ajak Gandi main ke
sawah. Bisa saja kan dia juga tidak tahu tentang padi?” Ayah Toni menyebutkan
ide cemerlang.
Esoknya, Toni segera menghampiri
kelas Gandi. Dia menceritakan apa yang terjadi pada bibit-bibit padi di sawah
yang baru ditanamnya itu. Dia juga mengundang Gandi untuk datang ke sawahnya.
Gandi menyambut gembira ajakan itu. Kedua anak ini telah menjadi sahabat baik. {ST}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar