Ana

Kamis, 31 Mei 2012

Catatan Gak Resmi Sekretaris Majelis: Demo Anti Kenaikan BBM



Jumat, 30 Maret 2012 adalah hari Jumat yang padat. Tidak seperti Jumat biasa yang hanya padat di sore hari. Hari ini Jakarta sudah terlihat padat sejak pagi hari. Bukan padat oleh kendaraan, tapi oleh banyak orang. Banyak orang yang berdemonstrasi menolak kenaikan harga BBM.
Semakin sore, demonstrasi semakin seru. Banyak yang bertindak dengan tidak semestinya. Entah itu yang melakukan aksi ataupun yang bertugas sebagai pengaman. Di kawasan Salemba dikabarkan terjadi kekisruhan (lagi).
Sehari sebelumnya, saya melewati daerah Salemba sepulang dari menjenguk seorang teman di RS. Saya melewati daerah tersebut karena memang jalan itulah yang sering saya gunakan untuk pulang. Tak disangka, daerah situ terlihat seperti medan perang. Bekas-bekas ban dibakar dan mobil hangus terguling masih ada di tengah jalan. Dan sayapun sudah terlambat untuk memutar balik. Teriakan orang-orang di tepi jalan menambah seram suasana. Belum lagi teriakan para aparat bersenjata yang mengarahkan jalannya kendaraan supaya tidak melindas ban-ban yang masih berasap.
Suasana yang mengingatkan pada demonstrasi terakhir yang saya ikuti bertahun-tahun lalu. Demo  yang berawal dengan tertawa-tawa dan berakhir dengan air mata dan darah. Air mata yang tidak hanya akibat dari gas air mata, tapi juga karena kehilangan teman yang nyawanya melayang terkena tembakan.
Kala sore menjelang dan sudah waktunya memperbanyak risalah, saya mampir di tempat fotokopian yang ada TV-nya. Risalah yang terlambat saya kirimkan dan…nampaknya tidak ada yang peduli tuh. Sambil menunggu, saya memantau groupnya BPMJ, ternyata banyak teman-teman yang tidak dapat hadir. Akhirnya pak ketua memutuskan untuk menunda rapat hari ini.
Keputusan menunda rapat, dapat langsung ditanggapi oleh selusin BPMJ yang ada di group. Untuk selebihnya, harus diberitahukan lewat media lain. Ternyata ada beberapa orang yang sudah di gereja, termasuk seorang tamu undangan yang memang dijadwalkan hari itu.
Saya sendiri cukup lega dengan keputusan itu. Keluarga sudah sejak pagi-pagi hari mengingatkan untuk tidak melewati daerah tertentu, termasuk Kwitang, yang letaknya tidak jauh dari Monas itu. Jakarta dianggap tidak aman bagi seorang perempuan bermata sipit yang nyetir sendiri. Walaupun bukan seorang penakut, rasanya gentar juga melihat pengalaman di hari sebelumnya.
Bila rapat tetap dilakukan, kemungkinan saya akan pergi naik ojek untuk menghindari kemacetan. Sebuah pikiran yang menuai protes dari orang-orang terdekat :D.
Penundaan itu membuat saya mencari tahu apa yang terjadi di kota ini lewat TV yang ditayangkan dengan suara nyaring di tempat fotokopi itu. Karena keasikan nonton TV, saya sampai-sampai hampir lupa tujuan mampir ke tempat itu. Segera saya membereskan transaksi dan kembali nebeng nonton TV. {ST}

Buah Menteng

Bagian dalam buah menteng

            Hampir semua penduduk Jakarta bahkan banyak lagi di Indonesia yang pernah mendengar tentang Menteng. Menteng lebih dikenal sebagai daerah elit di pusat Jakarta. Di daerah ini banyak rumah-rumah pejabat dan juga kedutaan negara asing. Mentang juga menjadi bagian sejarah bangsa kita. Hampir tidak ada orang yang peduli dari mana asalnya kata Menteng itu, termasuk saya.
            Menteng ternyata adalah nama buah. Buah ini termasuk langka di toko-toko buah Jakarta. Toko-toko buah yang didominasi buah import itu memang membuat kita lebih mengenal apel, pir dan plum dibandingkan dengan buah-buahan lokal.
            Saya menemukan buah menteng bukan di toko buah, bukan pula di pohonnya. Saya menemukannya di pasar dekat Stasiun Bogor. Buah ini menarik perhatian saya karena mengingatkan saya akan buah rambai. Buah hutan khas Kalimantan yang menjadi kegemaran saya waktu kecil dulu. Yang mirip buah rambai adalah bagian dalamnya yang berselaput.

            Akhirnya saya menghentikan langkah dan bertanya nama buah tersebut. Ketika bapak penjual menyebutkan kalau namanya adalah menteng, saya makin tertarik. Ini adalah momen bersejarah dan pantas dicatat. Ini adalah kali pertama saya melihat buah menteng. Di tengah keramaian pasar itu, dalam benak saya malah terbayang tongkrongan pinggir jalan tempat saya sering nongkrong bersama teman-teman bertahun-tahun yang lalu. Menteng sebagai tempat, bukan sebagai buah.
            Saya memutuskan untuk membelei buah unik itu. Sang bapak penjual buah membuka penawaran harga dengan Rp. 10.000,- / gundukan. Tentu saja menawar harganya. Menawar harga tampaknya sudah mendarah daging pada diri saya. Saya yang saat itu sekalian menyiapkan ongkos KRL, menemukan selembar uang 5 ribuan. Maka sayapun menawar harga setengah dari harga pembukaan.
            Kami tidak menemui kesepakatan harga untuk gundukan buah itu. Bapak penjual bertahan di harga Rp. 7000,-, sedangkan saya ogah menambah uang lagi. Maka kamipun menyepakati untuk mengurangi jumlah buah di gundukan, dikurangi 2 buah. Dan sayapun akhirnya membawa pulang buah menteng.
            Seperti yang saya duga sebelumnya, buah ini rasanya hampir mirip dengan buah rambai. Yang membedakan adalah bentuk buahnya. Buah rambai besarnya hanya sebesar duku dan berkulit tipis. Buah menteng besarnya sekepalan tangan dan berkulit tebal. Untuk memakan bagian dalam buahnya perlu pisau untuk membuka kulitnya dulu. Kulit dengan ketebalan 3 – 5 mm ini cukup sulit dibuka bila hanya menggunakan tangan. {ST}

Rabu, 30 Mei 2012

Catatan Gak Resmi Sekretaris Majelis: Yang Paling Rajin Baca Surat



            Surat-surat yang ditujukan ke Majelis Jemaat GKI Kwitang menjadi bagian ketua dan sekretaris untuk menindaklanjutinya. Tentu saja baru bisa ditindaklanjuti kalau sudah dibaca. Dalam setiap surat yang masuk, selalu dilampirkan kertas kuning yang bertuliskan nama 3 orang ketua dan 3 orang sekretaris majelis. Dan ada nama saya juga di situ. Nama yang ternyata paling panjang.
            Kalau kami semua bekerja sesuai bagiannya, saya tidak perlu mengurusi surat menyurat, kecuali kalau rekan saya berhalangan. Dalam kepengurusan sebelumnya, memang ada jabatan yang hanya dijabat tetapi orang tersebut tidak melakukan tugasnya. Saya, bukanlah orang yang mengijinkan hal yang seperti itu terjadi. Karena itu untuk tugas-tugas yang memang seharusnya dilakukan oleh ybs, saya berusaha tidak ikut-ikutan kecuali kepepet, gak ada orangnya. Untuk lain-lainnya, kami hanya saling mengetahui.
            Dalam hal membaca surat, sebenarnya tujuannya untuk kepentingan saya sendiri. Untuk menunjang pencatatan pembahasan surat-surat masuk, saya sering kebingungan tentang apa yang dibahas. Apalagi kalau saya hanya mengandalkan rekaman yang kadang terdengar kurang jelas. Belum lagi yang membacakan surat belum mengerti inti maksud surat tersebut. Betul-betul bikin jidat berkerut deh mencatatnya.
            Untuk mengurangi kerutan di jidat itu, saya mencegahnya dengan lebih dulu membaca surat yang akan dibahas. Dalam seminggu, biasanya selalu ada jadwal ke gereja di luar rapat BPMJ. Entah itu latihan nyanyi (dan nungguin yang pada telat datang), rapat panitia, rapat komisi atau sekedar numpang pipis. Dan tentu saja ada waktunya ke gereja di Hari Minggu. Waktu-waktu itulah yang saya gunakan untuk mengecek surat yang masuk.
            Tante pemegang kunci kantor berkata kalau saya sekretaris yang paling rajin membaca surat. Selebihnya yang mengurusi surat-surat hanya para ketua. Sejujurnya, itu terdengar seperti pujian, dan memang pujian juga nampaknya yang dimaksudkan. Saya sangat berterima kasih buat itu. Dalam hati saya merasa terbeban. Saya dianggap rajin dan melakukan hal yang lebih dari rekan lainnya, padahal sebenarnya supaya saya lebih mudah dalam tugas saya selanjutnya, mencatat risalah itu. {ST}

Warung Makan Sabar Menanti di Jogja



            Suatu kali dalam perjalanan ke Jogja bersama keluarga, kami berencana membeli makan siang. Makan siang itu akan akan kami bawa ke rumah kakak ipar saya yang memang aktifitasnya sedang dibatasi oleh sakit. Sebagai kota yang juga terkenal dengan kulinernya, maka kami dengan mudah memutuskan kalau makanan yang kami mau pasti ada dalam perjalanan searah ke tempat tujuan.


            Saat itu kami menggunakan taksi argo. Bapak supir taksi mengantarkan kami ke sebuah restoran yang katanya bermenu lengkap. Ternyata restoran itu adalah restoran Sunda. Bukan hal yang cocok untuk menikmati makanan Sunda di kota ini. Walau begitu, kunjungan sekejap ini cukup menarik. Akhirnya ada juga yang jual makanan Sunda di tanah Jawa.
            Mamah yang sejak awal sudah mengincar tempat makan lain, segera mengarahkan menuju tempat tersebut. Namanya Sabar Menanti. Nama lengkapnya Warung Makan Sabar Menanti. Letaknya di Jalan Solo, jalan yang sama dengan restoran besar yang kami kunjungi tidak lama sebelumnya.
            Dari namanya, saya sudah curiga kalau kami memang diharuskan untuk sabar menanti makanan yang kami pesan. Beberapa tempat makan enak di Jogja ini memang menuntut kesabaran untuk menikmatinya. Kalau yang ini juga termasuk makanan yang seperti itu, maka saya sudah bersiap-siap membawa buku selagi menanti.


            Ternyata dugaan saya salah. Warung makan ini menyediakan makanan siap saji. Berbagai menu makanan sudah tersaji di meja yang berbentuk seperti gerobak. Pembeli yang datang tinggal menunjuk makanan yang mau dibeli.
            Kami yang memang berniat membeli makanan untuk dibawa pulang, menunjuk beberapa menu yang kemudian langsung dibungkus. Selain menu yang memang siap saji, kami juga memesan empal yang saat itu belum selesai dimasak. Maka kami tetap harus sabar menanti matangnya empal sambil menikmati cincau dan dawet.
            Menu makanan yang dijual adalah menu khas Jawa, menu rumahan. Sebagai keluarga yang juga keturunan Jawa, kami mengenal semua menu makanan yang dijual. Kami bahkan memborong sebagian besarnya. Rasanya enak, pas di lidah. Khas masakan rumah. {ST}

Selasa, 29 Mei 2012

Catatan Gak Resmi Sekretaris Majelis: Ketok Palu


            Kata “ketok palu” kerap terdengar di lingkup gereja tua tempat saya melayani ini. Ketok palu yang dimaksud adalah tanda sebuah keputusan sudah dibuat. Keputusan yang biasanya diambil dalam rapat di ruangan bermeja hijau.
            Duluuu….saat saya belum menjadi seorang penatua, mendengar tentang “ketok palu” bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Keputusan yang sudah dilengkapi dengan ketok palu seakan tidak bisa dipertanyakan lagi. Mau tidak mau harus nurut.
            Saat ini, saat saya menjadi seorang penatua yang sekretaris BPMJ, ketok palu adalah hal yang melegakan. Akhirnya ada keputusan yang diambil.
            “Tok…tok…tok…” adalah bunyi merdu yang saya nantikan. {ST}

Bakmi Djowo Mbah Hadi di Terban



            Salah satu makanan yang tidak boleh ketinggalan untuk dicoba ketika berkunjung ke Jogja adalah bakmi Jowo. Bakmi yang biasanya dimasak 1 per 1 dengan menggunakan arang tungku ini memang selalu menjadi menu yang selalu saya cari ketika berkunjung ke Jogja. Salah satu dari sekian banyak yang menyediakan menu bakmi Jowo adalah Mbah Hadi, yang membuka usahanya di Terban. 


            Seperti umumnya penjual bakmi lainnya, bahan yang digunakan adalah mi kuning dan mi putih. Keduanya bisa dipesan terpisah atau dicampur menjadi bakmi goreng, godok (rebus), atau nyemek. Nyemek itu artinya berkuah sedikit.
            Bakmi Mbah Hadi dulunya dijual di kaki lima dekat terminal Terban. Saat ini Bakmi Mbah Hadi sudah menempati tempat yang lebih baik. Berlokasi di pojok sebuah pom bensin, berlantai 2 dan berpendingin udara. Lokasi di pom bensin itu juga menyediakan tempat parkir yang luas.
            Fasilitas canggih full AC yang mengiringi perkembangan bakmi ini tidak lantas membuat cara memasaknya berubah menjadi makin canggih. Bakmi di sini tetap dimasak dengan menggunakan tungku. Kali ini jumlah tungku telah menjadi 2.


            Cara memasak yang khas juga berpengaruh pada rasanya. Bakmi yang dimasak dengan menggunakan arang tungku memang rasanya lebih sedap. Bakmi godok yang menjadi menu langganan saya, rasanya berbeda dengan yang dijual di Jakarta. Rasanya gurih dan nikmat, tak terkatakan. Bakmi ini biasanya dimakan dengan cabe rawit hijau sebagai pelengkap untuk yang suka pedas.
            Dengan cara memasak seperti itu, otomatis tidak bisa menghasilkan banyak porsi dalam waktu cepat. Pembeli yang datang kadang-kadang harus menunggu cukup lama untuk bisa menikmati sedapnya bakmi ini. Antrian yang panjang itu akhirnya diantisipasi dengan menggunakan nomer antrian.

            Dalam kunjungan terakhir ke tempat ini, kami mendapat nomor antrian 49. Saat itu yang sedang dimasak baru nomor 39. Artinya baru 10 nomer lagi. Dengan melihat meja-meja sekitar masih banyak yang belum mendapatkan pesanan, sewajarnya kalau kami tidak bersedia menanti. Tapi tidak kali ini. Kami bersedia menanti bakmi Djowo tersedia hampir 1 jam lamanya. {ST}

Senin, 28 Mei 2012

Catatan Gak Resmi Sekretaris Majelis: Ketinggalan Recorder


            Suatu saat ketika jadwalnya rapat BPMJ, saya sudah menyiapkan segala sesuatu dari Kamis malamnya. Yang pasti saya siapkan adalah recorder, buku catatan dan bolpoin. Untuk risalah, biasanya saya cetak di hari Jumatnya, setelah ada beberapa koreksi dari rekan-rekan lain. Kadang-kadang cuma 1 orang yang kasih koreksi dan orangnya itu-itu saja. Dan saya sungguh bersyukur masih ada orang yang 1 ini.
            Kali ini, rekan yang paling rajin memberikan koreksi, tidak memberikan koreksi. Akhirnya di sore hari, sayapun mencetak risalah, memperbanyaknya dan pergi ke gereja.
            Setiba di gereja, saya kasak-kusuk membongkar-bongkar tas, recorder tidak ditemukan dimana-mana. Dengan agenda pertemuan yang banyak dan pasti berujung pada pengambilan keputusan, kadang kala mengandalkan konsentrasi saja tidak cukup. Apalagi kalau keputusan itu diambil setelah perdebatan yang panjang plus curhat colongannya.
            Rapat yang dihentikan untuk makan malam saya gunakan sebaik-baiknya untuk melacak keberadaan sang recorder. Saya menelpon ke rumah, ternyata recorder ada di rumah, di tempat yang sama dengan malam sebelumnya. Saya hampir bersorak gembira sebelum datang pikiran bagaimana caranya membawa recorder itu ke ruang rapat. Orang-orang yang ada di rumah tidak mungkin mengantarkannya ke gereja.
            Sambil bengong memandang pintu penghubung ruang konsistori dan ruang gereja, akhirnya saya menemukan jalan keluarnya. Di ruang sebelah akan ada latihan nyanyi dimana pelatihnya adalah tetangga saya. Tak lama kemudian, recorder yang semula berada di kamar saya itu diantarkan ke rumah tetangga. Tetangga yang baik hati itu kemudian membawanya ke gereja.
            Rapat tetap berjalan tanpa menunggu recorder tiba. Kalau rapatnya hanya sekitar 1 jam, saya masih bisa hanya mengandalkan konsentrasi. Sampai akhirnya recorder itu tiba dengan selamat. Recorder yang memang telah disiapkan untuk merekam rapat berjam-jam itu. Tuhan memang menyertai pelayanan saya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini