Jumat, 30 Maret 2012 adalah
hari Jumat yang padat. Tidak seperti Jumat biasa yang hanya padat di sore hari.
Hari ini Jakarta sudah terlihat padat sejak pagi hari. Bukan padat oleh
kendaraan, tapi oleh banyak orang. Banyak orang yang berdemonstrasi menolak
kenaikan harga BBM.
Semakin sore, demonstrasi
semakin seru. Banyak yang bertindak dengan tidak semestinya. Entah itu yang
melakukan aksi ataupun yang bertugas sebagai pengaman. Di kawasan Salemba
dikabarkan terjadi kekisruhan (lagi).
Sehari sebelumnya, saya
melewati daerah Salemba sepulang dari menjenguk seorang teman di RS. Saya
melewati daerah tersebut karena memang jalan itulah yang sering saya gunakan
untuk pulang. Tak disangka, daerah situ terlihat seperti medan perang.
Bekas-bekas ban dibakar dan mobil hangus terguling masih ada di tengah jalan.
Dan sayapun sudah terlambat untuk memutar balik. Teriakan orang-orang di tepi
jalan menambah seram suasana. Belum lagi teriakan para aparat bersenjata yang
mengarahkan jalannya kendaraan supaya tidak melindas ban-ban yang masih
berasap.
Suasana yang mengingatkan pada
demonstrasi terakhir yang saya ikuti bertahun-tahun lalu. Demo yang berawal dengan tertawa-tawa dan berakhir
dengan air mata dan darah. Air mata yang tidak hanya akibat dari gas air mata,
tapi juga karena kehilangan teman yang nyawanya melayang terkena tembakan.
Kala sore menjelang dan sudah
waktunya memperbanyak risalah, saya mampir di tempat fotokopian yang ada
TV-nya. Risalah yang terlambat saya kirimkan dan…nampaknya tidak ada yang
peduli tuh. Sambil menunggu, saya memantau groupnya BPMJ, ternyata banyak
teman-teman yang tidak dapat hadir. Akhirnya pak ketua memutuskan untuk menunda
rapat hari ini.
Keputusan menunda rapat, dapat
langsung ditanggapi oleh selusin BPMJ yang ada di group. Untuk selebihnya,
harus diberitahukan lewat media lain. Ternyata ada beberapa orang yang sudah di
gereja, termasuk seorang tamu undangan yang memang dijadwalkan hari itu.
Saya sendiri cukup lega dengan
keputusan itu. Keluarga sudah sejak pagi-pagi hari mengingatkan untuk tidak
melewati daerah tertentu, termasuk Kwitang, yang letaknya tidak jauh dari Monas
itu. Jakarta dianggap tidak aman bagi seorang perempuan bermata sipit yang
nyetir sendiri. Walaupun bukan seorang penakut, rasanya gentar juga melihat
pengalaman di hari sebelumnya.
Bila rapat tetap dilakukan,
kemungkinan saya akan pergi naik ojek untuk menghindari kemacetan. Sebuah
pikiran yang menuai protes dari orang-orang terdekat :D.
Penundaan itu membuat saya
mencari tahu apa yang terjadi di kota ini lewat TV yang ditayangkan dengan
suara nyaring di tempat fotokopi itu. Karena keasikan nonton TV, saya
sampai-sampai hampir lupa tujuan mampir ke tempat itu. Segera saya membereskan
transaksi dan kembali nebeng nonton TV. {ST}