Beberapa
waktu belakangan ini ada beberapa kegiatan yang membuat saya harus lebih
mengenal konsep cagar budaya. Maka mulailah saya mengumpulkan informasi – yang
semula untuk pengetahun diri sendiri – tapi sepertinya juga berguna bagi orang
lain. Maka, tulisan saya itu juga saya muat di blog ini.
Cagar budaya
adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan konservasi terhadap benda-benda
alam atau buatan manusia yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di Indonesia, benda cagar budaya harus berumur
sekurang-kurangnya 50 tahun (UU No.5 tahun 1992).
Definisi benda cagar budaya menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya ada dua, yaitu:
- Benda buatan manusia yang bergerak, maupun tidak
bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau
sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau
mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
- Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
Benda cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka,
rapuh, tidak dapat diperbaharui (non-renewable), tidak bisa digantikan oleh
teknologi dan bahan yang sama, dan penting (significant) karena merupakan
bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau.
Kriteria, Tolok Ukur, dan Penggolongan benda cagar budaya
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999
Bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah :
1. Tolok ukur nilai sejarah, dikaitkan dengan
peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi
simbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
2. Tolok ukur umur, dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya
50 tahun.
3. Tolok ukur keaslian, dikaitkan dengan keutuhan baik
sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan
bangunan di dalamnya.
4. Tolok ukur tengeran atau landmark, dikaitkan dengan
keberadaaan sebuah bangunan tunggal monumen atau bentang alam yang dijadikan
simbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran
lingkungan tersebut.
5. Tolok ukur arsitektur, dikaitkan dengan estetika dan
rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.
Dari kriteria dan tolok ukur di atas lingkungan cagar budaya
diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:
1. Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria,
termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat
keaslian yang utuh.
2. Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria,
telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
3. Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria,
yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
Bangunan cagar budaya sendiri dibagi dalam 3 golongan,
yaitu:
1. Bangunan cagar budaya Golongan A (Utama), yaitu bangunan
cagar budaya yang memenuhi 4 (empat) kriteria, dan harus dipertahankan dengan
cara preservasi ..
2. Bangunan cagar budaya Golongan B (Madya), yaitu bangunan
cagar budaya yang memenuhi 3 (tiga) kriteria dan bangunan cagar budaya ini
dapat dilakukan pemugaran dengan cara restorasi/rehabilitasi atau
rekonstruksi..
3. Bangunan cagar budaya Golongan C (Pratama), yaitu
bangunan cagar budaya yang memenuhi 2 (dua) kriteria dan bangunan cagar budaya
ini dapat dilakukan pemugaran dengan cara revitalisasi/adaptasi.
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan A
Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah
Apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau
tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama
seperti semula sesuai dengan aslinya.
Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan
yang sama / sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan
detail ornamen bangunan yang telah ada
Dalam upaya revitalisasi memungkinkan adanya penyesuaian /
perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk
bangunan aslinya
Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya
memungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh
dengan bangunan utama
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan B
Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja, dan apabila
kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat
dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan
aslinya
Pemeliharan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa
mengubah pola tampak depan, atap, dan warna, serta dengan mempertahankan detail
dan ornamen bangunan yang penting.
Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi memungkinkan
adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama
bangunan
Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya
dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh
dengan bangunan utama
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya Golongan C
Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap
mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
Detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan
arsitektur bangunan disekitarnya dalam keserasian lingkungan
Penambahan Bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya
dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan
arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana Kota
{ST – dari berbagai sumber}