Ana

Selasa, 29 November 2011

Gerobak Sayur Sahabat Para Ibu



            “Uuuuu…..” Suara lantang terdengar dari pagar depan rumah.
            “Uuuuu…..” Kata suara lagi berulang selama belum ada respon dari orang di rumah.
            “Iyaaaaa…..sebentaaaarrr!!!" Seorang ibu berteriak tidak kalah keransnya dengan abang penjual sayur. Jawaban yang lantang itu disertai dengan omelan yang tidak selalu sama setiap harinya.
            Kejadian di atas hampir selalu berulang di depan rumah kami. Ibu yang mengomel itu adalah mamahku, dan abang tukang sayurnya si Aryo, abang sayur yang daerah jajahannya adalah di sekitar rumah kami.
Selain Aryo, masih banyak abang tukang sayur lainnya yang beroperasi di sekitar rumah kami. Sepertinya sudah ada kesepakatan yang jelas untuk daerah dimana mereka beroperasi. Bila Aryo berhalangan, maka akan digantikan oleh Ari, adiknya Aryo, yang pekerjaannya adalah tukang sayur juga.

Abang-abang penjual sayur itu akan berkumpul di suatu tempat bila telah selesai menjelajah daerahnya. Tempat yang malamnya beraroma sate itu, paginya berubah menjadi pasar kaget beroda. Beberapa orang yang memerlukan bahan makanan untuk dimasak masih berdatangan ke sini. Bahkan ada yang lebih suka mendatangi tempat ini dibandingkan dengan belanja di depan rumah dengan alasan lebih banyak pilihan.
Para penjual sayur ini menjadi penolong bagi ibu-ibu yang mau memasak makanan segar setiap harinya. Waktu yang terbuang untuk ke pasar, bisa digantikan dengan kegiatan lain karena kegiatan belanja bisa dilakukan di depan pagar rumah. {ST}

Senin, 28 November 2011

Keong-keongan Berwarna Ceria


            Dalam sebuah kunjungan ke pasar tradisional, sesuatu yang bergerak-gerak dengan warna cerah menarik hati. Merah, kuning, hijau, biru, kuning, pink yang bergerak-gerak seperti makhluk hidup dan berhiaskan beberapa lembar daun kangkung. Makin mendekat makin jelas, kalau benda itu ternyata memang adalah makhluk hidup bercangkang. 

Keong-keong yang terdampar di meja penjualan di pasar itu tidaklah berwujud seperti aslinya di alam. Mereka telah mendapatkan sentuhan manusia berupa pengecatan dan beberapa gambar di punggungnya. Ada yang bergambar Ipin / Upin, kupu-kupu, dan aneka wajah animasi lainnya.
Hewan-hewan lucu yang sebenarnya bernasib malang ini dijual Rp. 1000,- per ekornya. Beli banyak harga bisa makin murah. Untuk pemeliharaan, cukup diberi beberapa lembar sayuran kangkung. Bila tidak berumur panjang, cangkangnya bisa dibuat koleksi untuk pajangan. {ST}

Minggu, 27 November 2011

Salon Rima Sama Irma



            “Hah?! Apaan nih?” Saya berseru keras saat melihat selembar uban dari kaca spion. Selembar rambut putih itu berkibar-kibar seiring tiupan udara AC.
            “Apa sih? Kamu ini bikin kaget aja.” Om Joris menyahut dari bangku sebelah.
            “Itu om, ada ubannya 1.” Saya menunjuk ke kaca spion dengan tangan satunya lagi memegang kemudi mobil kecil si mocil.
            “Uban 1 aja panik. Liat nih kepala saya, sudah ubanan semua.” Si om yang memang ubanan itu berkata dengan nada mengomel. Dan itu hanya omelan pendahuluan.
            Di persimpangan Senen yang padat itu, sesekali saya masih memantau kaca spion untuk melihat uban yang kibarannya seakan ngeledek itu.
            “Kalo lagi nyetir liat depan yaaa….Liat spion itu sekali-sekali aja….bla..bla….bla” Om Joris melanjutkan omelannya saat kami memasuki terowonagn Senen, melewati jalan layang Galur sampai akhirnya tiba di putaran dekat rumah kami di Cempaka Putih.
            Sesekali saya juga menimpali omelannya dengan “iya om”, “iya boss”. Suka-suka deh mau jawab apa, tetap aja diomelin. Di putaran itu, akhirnya saya mengintip kaca spion untuk fungsi yang sebenarnya, untuk melihat ke belakang.
            “Kamu ke Salon Rima aja sama Irma! Beresin itu uban!” Akhirnya si om berkata demikian ketika kami makin dekat ke rumah. Salon Rima adalah salon di depan kantor kelurahan kami yang ternyata langganan Tante Irma.
Sekarang, saya sudah tidak ingat lagi omelannya apa saja. Uban pun tidak hanya selembar berkibar-kibar. Yang jelas, kaca spion itu gunanya bukan buat melihat uban dan cukup dilihat sesekali aja. {ST}

Inisial JR Setelah “Tai Anjiiiinngg!!!”




            Dalam komunikasi saya dengan Om Joris, cukup sering menggunakan sms. Apalagi operator HP kami sama. Dalam setiap smsnya, Om Joris selalu mengakhirinya dengan inisialnya, JR.
            Om Joris, orang yang sangat memperhatikan orang lain dan punya banyak kenalan, hampir mengenal semua jemaat lingkungan I. Tak heran, saya selalu meminta petunjuk jalan ke Om Joris bila ada kebaktian lingkungan di tempat yang belum saya tahu. Om Joris selalu memberikan petunjuk sejelas-jelasnya, tidak hanya berupa alamat seperti yang ada di warta jemaat. Dalam petunjuknya, selalu ada hal spesifik yang hanya bisa didapat dari pengamatan langsung, misalnya: gapura, pasar, perempatan, lampu lalu lintas, bahkan juga hal-hal yang tidak terlihat.
            Suatu kali, kebaktian diadakan di rumah jemaat yang berada dalam gang yang tidak terlalu besar alias sempit. Om Joris memberikan petunjuk selengkap-lengkapnya sampai ke tempat yang bisa untuk parkir mobil. Di sms petunjukanya, ada kata-kata yang membuat saya penasaran.
            “….awas banyak ranjau. JR” Begitu smsnya.
            “Ranjau apa tuh?” Sms balasan saya yang malah bertanya.
“Tai Anjiiiinngg!!!  JR” Demikian kira-kira balasannya
Dan saya pun akhirnya menyiagakan mata dan hidung saat melewati gang sempit itu. {ST}

Pengawal yang Galak




            Suatu hari setelah kegiatan bersama di gereja, saya dan Om Joris yang memang bertetangga janjian mau pulang bersama. Biasanya yang memulai omongan pulang bareng adalah yang nebeng. Hari itu tidak jelas siapa mau nebeng siapa sampai tiba akhirnya waktu pulang dan ternyata…kami sama-sama tidak bawa kendaraan. Maka, jadilah kami naik transjakarta, yang haltenya memang tidak jauh dari gereja. Halte tujuan pun tidak jauh dari rumah.
            Dalam kendaraan yang memang sebagian penumpangnya dirancang untuk berdiri itu, ada sebuah tempat duduk kosong. Kami berdua saling mempersilakan yang lain untuk duduk. Si om dengan prinsip ‘lady’s first’, dan saya mempersilakan yang lebih tua untuk duduk. Akhirnya kami berdua tidak ada yang duduk. Kursi kosong itu dengan segera ditempati oleh orang lain.
            Setiba di halte dekat rumah, kami turun bersama dan akhirnya memutuskan berjalan kali saja sampai ke rumah. Di dekat halte, ada beberapa ojek dan bajaj yang mangkal menanti pelanggan. Sepanjang perjalanan ke rumah, terdengar beberapa suara yang familiar….
            “Suitttt….suiiitttt…..” Beberapa orang bersuit-suit dari tongkrongan pinggir jalan.
            “Apa mau kalian hah suit-suit?” Si om berkata galak pada mereka. Si om masih melanjutkan omelannya, dengan diakhiri sesuatu yang mengagetkan.
            “Kamu gapapa? Kok diem aja?” Si om bertanya ke orang di sebelahnya.
            “Emang mesti ngapain? Kan, emang mereka juga biasanya kaya gitu.  Cuekin ajah! ” Saya menjawab dengan santai. Bagi kami, Toemon sisters yang cantik-cantik itu, disuit-suitin orang adalah hal biasa yang dapat diabaikan. Tentunya berbeda dengan Om Joris, pastinya tidak ada abang-abang yang berani suit-suit anaknya, lelaki tinggi besar itu.
“Kalo sampai mereka ganggu kamu, awas yaaa….” Si om kembali berbicara. Kali ini dengan memandang ke belakang, ke arah tongkrongan. {ST}

Datang Lebih Awal




             “Hei, nanti datang kan?” Seorang bapak bercelana pendek, sepatu olah raga dan berambut putih menyapa saya di halaman depan.
“Ya datanglah…Mau bikin risalah apa gue kalo gak datang.” Saya menjawab santai sambil meregangkan otot di pagi hari. Keakraban dengan bapak berambut putih ini memang kadang-kadang membuat tidak sadar berbicara dengan ‘lu gue’.
Sementara kami berbincang, om-om jalan pagi lainnya sudah pergi meninggalkan Om Joris.
“Datang jam brapa? Kalo bisa setengah jam sebelumnya kita sudah di sana. Harus dibiasakan datang lebih cepat.” Si om bertanya sekalian memberi petuah.
“Satu jam sebelumnya om, masih ada yang harus disiapin.” Saya menjawab si om. Tanggung jawab memang menuntut saya untuk datang lebih cepat.
“Hahaha….selamat bersiap-siap deh. Kalo gitu kamu duluan aja yaa….Saya mau makan mie ayam dulu sama teman-teman.” Om Joris berlalu sambil melambaikan tangan dan menyusul teman-temannya.
Sejak bersama-sama menjadi penatua di GKI Kwitang, Om Joris selalu memastikan saya hadir dalam setiap rapat majelais yang ada. Kalaupun tidak hadir, saya harus memberikan alasan yang masuk akal dan memberi informasi ke orang-orang yang berkepentingan. Mungkin Om Joris juga merasa bertanggung jawab, karena dialah yang ‘melamar’ saya menjadi penatua. {Pnt.ST}

Jumat, 25 November 2011

Ayam Korban dan Tangisan

            Seorang anak lelaki kecil mengikuti rombongan pembawa sapundu sambil membawa seekor ayam kecil dalam genggamannya. Terlihat jelas, kalau anak itu sayang pada makhluk dalam genggamannya itu. Sesekali tangannya membelai anak ayam yang beranjak remaja itu. Maksudnya, anak ayamnya tidak berwarna kuning lagi, sudah muncul beberapa bulu ayam dewasa.
            Pada saat proses penggalian lobang untuk pemancangan sapundu, anak ini duduk terdiam sambil tetap memegang anak ayamnya. Seorang anak perempuan yang sebaya dengannya sesekali datang dan ikut membelai-belai si remaja ayam.
            Sampai tiba akhirnya ayam itu tak lagi dalam genggaman anak itu. Orang dewasa di dekatnya meminta anak ayam itu dan….mencemplungkannya hidup-hidup ke dalam lobang. Upacara terus berlangsung, sementara anak itu menangis diam-diam dan menjauh dari lobang. {ST}

Bingung baca cerita ini? Baca juga Tiwah di Tumbang Liting

Rabu, 23 November 2011

Tiwah di Tumbang Liting

Sapundu di samping pambak

            Dalam kepercayaan Kaharingan, Tiwah berarti mengantarkan jiwa / roh manusia yang telah meninggal ke alam keabadian. Upacara ini dilakukan oleh keturunan dan keluarga orang yang telah ditinggalkan wafat. Tiwah adalah tanda bakti kepada leluhur. Upacara ini tidak langsung dilakukan saat seseorang menghembuskan napas terakhirnya, tetapi tergantung pada keputusan keluarga yang ditinggalkan.
Penyelenggaraan Tiwah memerlukan waktu dan biaya yang tidak kecil. Waktu penyelenggaran bervariasi antara beberapa sub suku Dayak. Ada yang "hanya"  3 hari, ada juga yang sampai 40 hari. Dengan waktu penyelenggaraan makin lama, maka makin besar pula biaya yang diperlukan. Biasanya Tiwah diadakan untuk lebih dari 1 orang. Keluarga yang ditinggalkan bersama-sama patungan menyelenggarakan tiwah. Perencanaan ini dilakukan secara musyawarah.
Perlengkapan pisur
Beberapa waktu yang lalu diadakan Tiwah di Desa Tumbang Liting, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Rangkaian Tiwah diadakan selama 3 hari, mulai tanggal 5 sampai dengan tanggal 7 November 2011. Dalam Tiwah kali ini, ada 29 orang yang ditiwahkan. Berhubung hampir semua penghuni kampung ini memiliki hubungan kekerabatan, maka acara ini, yang sebenarnya adalah acara keluarga, bisa dikatakan juga sebagai acara kampung.
Dalam kesempatan berkunjung ke sana tanggal 9 November yang lalu, upacara Tiwah telah berakhir. Masih ada beberapa proses ritual yang harus dilakukan yaitu laluhan, membongkar balai tulang dan memasang sapundu.

Laluhan, Pantan, Bukung

            Laluhan adalah persembahan / pemberian dari kampung-kampung sekitar. Biasanya, di jaman silam, laluhan selalu diantarkan lewat sungai. Benda-benda yang diantarkan adalah bahan-bahan makanan sebagai pemberian yang akan dikembalikan suatu saat nanti kepada pemberinya. Sekarang, saat jalan darat sudah semakin mulus, laluhan ada juga yang diantarkan melewati jalan darat, dengan menggunakan truk.

            Saat rombongan yang memberikan laluhan tiba di tempat tiwah, mereka akan dihadapkan pada gerbang berhias dengan pantan (batang) melintang di tengahnya. Batang ini ternyata awalnya untuk menguji kekuatan dan sifat ksatria sang tamu. Dalam upacara laluhan kali ini, saya dibuat terkaget-kaget dengan pantan sebesar pohon kelapa yang melintang di gerbang itu. Biasanya, apalagi di Jakarta, yang namanya pantan, hanya batang ukuran kecil. Bahkan kadang-kadang menggunakan tebu, tumbuhan berbatang lunak yang langsung putus dengan sekali tebas. Manetek pantan versi asli memang jauh lebih menantang, pantan yang dipilih sering kali menggunakan kayu yang setengah mati, alot dan liat, dan tentunya susah dipotong.
            Pada saat menetek pantan ini,  warga kampung saling membalurkan bedak basah (kasai) kepada yang lainnya. Dalam tradisi aslinya, bedak ini berasal dari beras yang dihaluskan. Saat ini, sudah ada beberapa modifikasi. Bedak basah tidak hanya berwarna asli tepung beras, tapi juga berwarna-warni pewarna buatan. Ada warna merah, hijau, pink, kuning, dll. Yang dibalurkan pun, tidak hanya berupa bedak basah, ada yang ditambahkan dengan oli juga.
            Keramaian manetek pantan juga dimeriahkan dengan minuman baram. Minuman beralkohol tradisional Dayak. Di beberapa daerah lain, baram disebut juga tuak atau anding.
            Saat ini pula, orang-orang bertopeng hantu bukung berkeliaran. Tujuannya adalah mengusir roh-roh jahat yang kemungkinan mengganggu jalannya acara. Hantu bukung bergerak kesana kemari tanpa aturan yang baku. Anak-anak kecil ada pula yang ketakutan melihatnya.
Hantu bukung sadar kamera
            Pemotongan pantan juga disertai dengan bebunyian dari alat musik katambung yang dimainkan oleh ibu-ibu. Irama tertentu dimainkan sampai pantan akhirnya tidak lagi menghalangi jalan.

            Rombongan penghantar laluhan pun akhirnya dapat melewati gerbang dengan penuh kebanggaan karena telah melewati rintangan. Kali ini bahan makanan yang dibawa adalah undus (rebung) kelapa dan beras.
Mina pemain katambung

Sapundu Berdiri Lagi

Pambak / sandung
            Saat-saat terakhir ini, sapundu yang berupa tiang tinggi dari kayu ulin dan diukir berbentuk figur orang kembali dipasangkan di dekat pambak / sandung. Pemasangannya dilakukan ketika matahari telah mulai bergerak turun. Sapundu dibawa bersama-sama bergotong royong oleh keluarga menuju pambak keluarga mereka. Pada saat dibawa, sapundu ini harus selalu di atas tanah, tidak boleh diletakkan di tanah kalau si pembawa tiba-tiba pegel atau kecapekan. Kerabat lain akan menggantikan tempatnya bila sudah tak kuat lagi. 


            Setibanya di pambak, sapundu diletakkan di sebuah sandaran yang terbuat dari kayu berbentuk X. Tempat pemancangan sapundu ditentukan oleh basir / pisur yang memulai penggaliannya. Penggalian dilanjutkan oleh keluarga sampai menjadi lubang yang cukup dalam untuk pemancangan sapundu. Setelah lubang cukup dalam, aneka persyaratan dimasukkan dalam lubang itu termasuk seekor ayam hidup. Dan akhirnya kembali pihak keluarga bersama-sama menempatkan sapundu di lobang.


            Sebagai sentuhan akhir, di sapundu setinggi 4 meter ini diberikan beberapa sesajen yang digantungkan. Tingginya yang jauh melebihi orang dewasa membuat keluarga harus menggunakan akal mencapai puncak sapundu yang telah terpasang. Tangga dari manusia pun digunakan, seorang berdiri di bahu orang lainnya untuk mencapai tujuan mereka, puncak sapundu. 

            Tahap akhir adalah mengelilingi pambak dengan sapundu yang sudah berdiri itu sebanyak 3 kali. Proses ini dipimpin oleh pisur sambil melahap. Melahap di sini artinya bukan makan, tetapi menyerukan seruan khas Dayak.

            “Uuulululululululuuuuuuu……….,” teriak Pisur memulai melahap.
            “Wuuiiiiii…,” warga menyambutnya.
            Maka selesailah sudah semua proses tiwah dan warga kembali ke kehidupannya masing-masing. Foto-foto tiwah di Tumbang Liting bisa dilihat di sini. {ST}

Baca juga:
Sandung, Tempat Tulang Leluhur
Ayam Korban dan Tangisan 

Kamis, 17 November 2011

Peralatan Anti Tenggelam


            Panas terik cuaca yang tak terkira dan tak terduga akhir-akhir ini membuat kerinduan akan kesejukan bermain air mengisi harapan dan impian beberapa orang. Bermain di air tidak hanya dengan tangan kosong, tapi juga dengan perlengkapan lucu berbentuk pelampung boneka.
Jakarta yang sering banjir membuat semua warga Jakarta mempersiapkan peralatan untuk mengatasinya. Perlengkapan seperti ember, alat pel, bahkan perahu karet menjadi daftar milik bagi banyak warga Jakarta.

            Perlengkapan seperti ini menjadi peluang bisnis tersendiri untuk sebagian orang dengan memajangnya di pinggir jalan besar yang terlihat oleh banyak orang. Boneka balon mengapung  berbentuk penguin yang berderet di pinggir jalan seakan memanggil-manggil orang yang kegerahan untuk merasakan kesejukan. {ST}

Rabu, 16 November 2011

Daun Papilak


            Pernah mendengar kulit mulus perempuan Dayak? Pernah juga terheran-heran bagaimana mungkin bisa ada kulit mulus di tengah cuaca panas terik di sekitar garis khatulistiwa? Sang Pencipta telah menciptakan tempat tinggal dan lengkap dengan perlengkapannya, termasuk juga si putih pembuat kulit mulus ini.
            Untuk menjaga kulit tetap putih dan mulus, perempuan Dayak menggunakan bedak dingin (kasai). Bedak ini bukanlah bedak bubuk atau padat dengan kemasan cantik. Cara pemakaian bedak ini hampir seperti masker. Bedak ini terbuat dari tepung beras yang dihaluskan dan dicetak menjadi bentuk bulat atau pipih. Bila akan digunakan, bedak ini dicampur dengan air secukupnya, kemudian dibalurkan ke muka hingga kering.
            Beras sebagai bahan utama bedak ini telah teruji keampuhannya untuk menjaga kesehatan kulit. Saat ini, aneka kosmetik modern menggunakan bahan yang sama dan menjadi daya jual tersendiri.
            Selain beras, dalam membuat bedak dingin dicampurkan juga beberapa bahan lain. Ada yang mencampurkan rempah-rempah, bunga dan daun-daunan. Salah satu daun yang dicampurkan di dalamnya adalah daun papilak. 
            Daun ini pada saat masih muda berwarna putih cemerlang. Warna putihnya memantulkan sinar lebih banyak dibandingkan sekitarnya yang hijau. Dengan adanya tambahan daun ini diharapkan perempuan yang memakainya juga tampil putih cemerlang. Harapan itulah yang menjadi kenyataan yang dapat dilihat pada kulit halus mulus perempuan Dayak. {ST}

Selasa, 15 November 2011

Martabak Mobil


            Martabak sebagai penganan kecil alias cemilan sudah umum di Indonesia ini. Pembeli yang mau membeli penganan ini, biasanya disodorkan dengan 2 pilihan, martabak manis atau asin. Martabak asin di beberapa tempat disebut juga martabak telor. 

Martabak yang asalnya dibuat di atas kompor ikut mengikuti perkembangan jaman. Kompor dibuat bisa mengikuti kemana pembeli ada. Jaman sekarang ini, menjual martabak juga menggunakan mobil yang sudah dimodifikasi dengan perlengkapan pembuatan martabak. Pembeli yang datang tinggal memesan dan menunggu di kursi yang disediakan. Tak lama kemudian, martabak yang dipesan pun siap. {ST}

Selasa, 01 November 2011

Portal yang Jadi Parkiran



            Di kompleks perumahan yang kami tinggali, telah beberapa tahun ini akses jalan masuknya dikurangi. Berawal dari kerusuhan di tahun 1998 yang lalu. Hampir semua portal di kompleks ditutup untuk alasan keamanan. Hanya ada 1 yang dibuka untuk akses keluar masuk penduduk.
            Dari 4 jalan sejajar yang menjadi bagian perumahan kami, kedua ujungnya ditutup portal, sampai dengan sekarang. Penghuni pun sepertinya tidak ada yang keberatan dengan kebijakan yang diperpanjang ini. Jadilah portal di semua ujung jalan itu tetap tertutup sampai saat ini, setelah lebih 10 tahun pasca kerusuhan 1998.
            Portal di ujung jalan, yang awalnya berfungsi menghadang kendaraan yang datang, saat ini telah beralih fungsi. Di beberapa tempat menjadi tempat nongkrong, tempat jualan bubur, jemuran baju dan parkiran. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini