Ana

Kamis, 29 September 2011

Penyalur Pembantu



            Kehidupan di Jakarta yang serba sibuk, membuat keperluan akan adanya pembantu menjadi sesuatu yang umum. Hampir di semua rumah kelas menengah di ibu kota ini ada pembantunya. Untuk rumah kelas atas yang super besar, kadang kala jumlah pembantu lebih banyak dari majikannya.
            Pembantu biasanya mengerjakan urusan domestik sehari-hari seperti menyapu, mengepel, mencuci, memasak, dll. Pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri ini telah hilang dari kebiasaan banyak orang karena dikerjakan oleh para pembantu. Pembantu yang umumnya berasal dari luar Jakarta, mau dibayar murah dengan gaji di bawah UMR. Sebuah pertukaran yang tidak terlalu berat bila dibandingkan dengan tangan yang menjadi kotor dan kasar. Belum lagi kalau encok kumat.
            Saat hari raya Idul Fitri mendekat, kebanyakan pembantu memilih untuk pulang ke kampungnya seperti kebanyakan orang lain. Mereka ingin merayakan hari raya bersama keluarga. Kepulangan para pembantu ini menimbulkan masalah tersendiri bagi para majikan yang tidak terbiasa bekerja.

            Pekerjaan mengepel, menyapu, mencuci, dan menyetrika – yang sebenarnya melayani diri sendiri- menjadi beban tersendiri. Status facebok dan twitter banyak teman mencerminkan rasa terbeban dan kelelahan yang dirasakan.
            Beberapa pihak telah melihat peluang bisnis dari keperluan akan adanya pembantu ini dengan membuat usaha penyalur pembantu. Di sepanjang Jln. Letjend Suprapto dan Jln. Haji Ung, Jakarta Pusat berjejer usaha penyaluran pembantu. Daerah ini makin terlihat ramai beberapa saat menjelang Lebaran, ramai dikunjungi oleh orang-orang yang datang bermobil. Tujuannya, sudah bisa ditebak pastinya….{ST}

Rabu, 28 September 2011

Warkop Indonesia



            Mendengar kata “Warkop” beberapa orang yang tumbuh di era tahun 80-an pasti teringat akan trio pelawak Dono Kasino Indro. Dan mengapa pula mereka menyebut dirinya warkop? Maaf, penjelasannya tidak ada di sini, karena saya saat itu masih memikirkan tentang mainan, masih anak kecil.
            Warkop alias warung kopi yang benar-benar warung popularitasnya mungkin telah berkurang saat ini. Anak muda jaman sekarang, kalau ngopi tidak lagi di warung-warung kopi pinggir jalan berteman debu jalan. Kegiatan ngopi bersama telah beralih menjadi ajang ngobrol. Yang namanya “ngops” belum tentu berarti minum kopi.
            Kedai-kedai kopi modern berpendingin udara memang telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian orang. Biaya operasional yang dimasukkan sebagai komponen harga membuat harga jual kopi di tempat ini jauh lebih mahal daripada harga sebenarnya. Terbentuklah kelas tersendiri antara penikmat kopi.
            Warkop di pinggir jalan, dengan pendingin udara berupa angin cepoi-cepoi, tidak berarti kehilangan penggemar. Pengunjungnya selalu ada. Kudapan untuk menemani ngopi pun tidak kalah enak dengan kedai kopi modern. Bubur kacang hijau, bubur ketan hitam, roti dan pisang bakar akan selalu tersaji dengan cepat bila kita memesan. {ST}

Selasa, 27 September 2011

Tempat Khusus Untuk Telur Kura-kura




            Di keluarga kami, kura-kura telah menjadi hewan peliharaan secara turun temurun. Kura-kura yang sering menjadi simbol panjang umur itu memang kenyataannya lebih panjang umur dibandingkan dengan binatang peliharaan lain seperti anjing, kucing, musang, sapi atau ulat.
            Awalnya, kura-kura yang kami pelihara berasal dari toko kura-kura (beberapa orang sering menyebutnya toko ikan). Sampai beberapa tahun yang lalu, kami menemukan telur lonjong di kolam kura-kura. Telur-telur ini kami temukan di dalam pasir di pojokan kolam.
            Tidak seperti kerabatnya, si penyu yang bertelur lembek, telur kura-kura bercangkang keras seperti terlur ayam ataupun bebek. Bentuknya lonjong dengan ukuran panjang sekitar 5 cm.
            Telur-telur putih lonjong ini cukup sering kami temukan di sekitar kolam. Cukup sering juga kami temukan telah dirusak, entah retak, pecah atau bolong dengan isi kosong. Kami menuduh tikus sebagai biang keladi semuanya itu. Ternyata pada suatu kali, seekor kura-kura lain tertangkap basah sedang menggali pasir dan mencoba menggigit sang telur.
            Mamah, penguasa kolam kura-kura yang sebenarnya, segera mengambil langkah preventif. Setiap ditemukan telur kura-kura langsung ditempatkan di tempat lain, tepatnya dalam pot bunga berisi pasir. Langkah ini untuk mengamankan para telur dari para kura-kura lain, tapi belum tentu dari para tikus. {ST}

Senin, 26 September 2011

Papeda Yougwa Kelapa Gading




            Papeda adalah makanan khas dari Papua yang terbuat dari sagu dengan sop ikan yang rasanya segar. Kuahnya berwarna kuning dan agak asam berkaldu. Kalau soal yang ini mungkin sudah cukup banyak orang yang tahu, apalagi untuk yang pernah mengunjungi pulau paling timur di negeri kita itu.

            Saya pertama kali mencoba papeda pada saat di gereja mengadakan acara dengan menu makanan khas Papua yang disediakan oleh teman-teman dari Pos Cendrawasih. Teman-teman dari Pos Cendrawasih kebanyakan memang berasal dari Papua. Merekalah yang menyajikan dan juga menjelaskan cara memakan makanan yang terlihat lengket itu.


            Papeda menjadi bagian dari menu sebuah rumah makan di Kelapa Gading, Jakarta. Tempat makan ini bernama Restoran Yougwa, yang terletak di Boulevard Kelapa Gading, kalau dari arah Kayu Putih ke mall, adanya di sebelah kiri. Selain menu dari Papua, restoran ini juga menyajikan menu dari Manado.
            Sagu, sebagai makanan pokoknya, diolah menjadi bubur yang lengket. Untuk memindahkan bubur yang lengket itu, diperlukan peralatan khusus, yaitu sepasang garpu dengan kaki 3. Caranya pun unik. Bubur sagu dipintal (diputar-putar) di garpu itu untuk memindahkannya. 
Di restoran ini, interiornya juga didekorasi dengan aneka pajangan yang berasal dari Papua. Restoran berpendingin udara ini cukup nyaman untuk makan dan bersantai.{ST}

Pasar Yang Boleh Nawar





            Dalam beberapa kali kunjungan ke pasar tradisional akhir-akhir ini, begitu banyak kejadian menarik yang ditemui. Mungkin kejadian ini biasa saja bagi orang yang memang sehari-harinya ke pasar, tapi bagi saya melihat hal-hal seperti itu membuat bertambah banyak hal yang perlu dicatat. Otomatis pula isi blog ini bertambah banyak dengan hal-hal yang berhubungan dengan pasar.
            Sepertinya ini adalah hikmah dari mudiknya staf rumah tangga dan orang tua yang biasanya mengurusi soal belanja ke pasar. Bahan makanan yang menipis memaksa kami harus membeli ke pasar.
            Dalam sebuah percakapan dengan seorang teman yang punya teman seorang fotografer yang sering memotret pasar, suatu saat nanti pasar tradisional mungkin akan hilang, dan foto temannya teman saya yang fotografer itu akan menjadi sangat bernilai. Foto itu akan menjadi sejarah, bahwa di bumi ini pernah ada pasar tradisional. (Mengapa rasanya alinea ini agak lebay ya?)
            Pasar tradisional, dalam percakapan sehari-hari sering disandingkan dengan pasar modern. Pasar modern bukan sebagai kawannya, tetapi sebagai lawannya. Pasar modern yang tingkatannya mulai dari mini, midi, super sampai hyper itu telah menjadi bagian gaya hidup sebagian orang, termasuk saya. Ditambah lagi pengalaman bekerja bertahun-tahun di perusahaan retail yang memiliki semua tipe toko tadi. Pengalaman yang membuat saya jauh lebih tahu tentang pasar modern, mulai dari beli barang, jual barang dan buang barang. Diskon tambahan saat menunjukkan id card juga ikut menunjang perilaku belanja di pasar modern.

Berikut ini beberapa hal menarik dari pasar tradisional:
Penjual Ikan si Penggebuk Ikan
Ancaman di Tengah Pasar 
Dapat Bonus Kok Ditolak?


Sepertinya masih akan banyak cerita lainnya......
Bersambung

Kursi Bakso




            Kursi plastik tanpa sandaran telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Tanpa disadari kursi-kursi jenis ini ikut melengkapi kegiatan kita sehari-hari. Mungkin tidak semua rumah memilikinya, tapi kursi semacam ini ada hampir di setiap tempat berdagang makanan.
            Untuk pedagang yang menjual dagangannya dengan gerobak dan menyediakan fasilitas untuk makan di tempat, kursi plastik tanpa sandaran ini sering juga mengikuti kemanapun si gerobak menuju.
            Menjadi suatu persoalan sendiri ketika kita mau membeli kursi seperti ini. Tahu bentuk tapi tak tahu nama. Biasanya penjelasan singkat kita langsung segera dijawab oleh penjual dengan nama si kursi, kursi bakso.
            Kursi bakso sepertinya adalah nama yang telah disepakati untuk kursi plastik tanpa sandaran ini. Penjual kursi di toko kecil dan besar semua menggunakan bahasa yang sama untuk kursi ini. Kemungkinan berawal dari banyaknya penjual bakso yang menggunakannya sebagai kelengkapan berdagang. Tentu saja kita tidak dilarang kalau mendudukinya saat menikmati makanan lain. {ST}

Senin, 19 September 2011

Ancaman di Tengah Pasar


            Memelihara burung dalam sangkar adalah suatu kegemaran yang umum di Indonesia. Tidak hanya dilakukan di rumah, tetapi juga di tempat bekerja, seperti di pasar. Atau mungkin juga yang punya si burung dalam sangkar memang tinggalnya di situ.
            Sang pemilik umumnya juga menjamin kebutuhan dasar si burung. Setiap hari diberi makan dan minum, diberi tempat tinggal (ya sangkar itu) dan juga keamanan. Keamanan diberikan dengan meletakkan sangkar jauh dari jangkauan pemangsanya, misalnya digantung. Sangkar yang digantung juga lebih memudahkan pemilik untuk “menikmati” rupa atau kicauan burungnya itu.
            Tempat yang dikira aman itu belum tentu bisa menghilangkan intimidasi dari pemangsa. Lihat saja dalam foto ini, tampak jelas si kucing bergerak mengancam burung kecil di dalam sangkar itu. {ST}

Minggu, 18 September 2011

Bonus yang Ditolak

ulat


            Mendapat bonus biasanya membuat orang senang, riang, gembira. Biasanya bonus diberikan atas kemurahan hati sang empunya dengan pertimbangan tertentu untuk yang diberikan bonus. Misalnya bonus akhir tahun, bonus mencapai target, bonus menjadi pelanggan setia, dll.
            Bonus menjadi suatu daya tarik sendiri bagi dunia penjualan. Kadang-kadang bonusnya malah lebih “dijual” dibanding produknya sendiri. Seperti bank yang iklannya penuh dengan deretan kendaraan bermotor itu misalnya.
            Belanja di pasar tradisional dimana pembeli berinteraksi langsung dengan penjualnya, juga mengenal bonus. Kadang-kadang bonusnya digunakan sebagai sogokan untuk diam kalau pembelinya kelewat bawel. Selain bonus yang diterima pembeli dengan senang hati, ada juga bonus yang akan ditolak mentah-mentah oleh pembeli, seperti ulat di wortel ini. {ST}

Sabtu, 17 September 2011

Dan Akhirnya Menjadi Santan....



            Santan kelapa telah menjadi bagian penting dari masakan Indonesia. Aneka masakan menjadi bertambah lengkap dengan tambahan santan kelapa. Di hari raya Idul Fitri yang belum lama berlalu, menu masakan dengan santan ikut meramaikan suasana bersama si ketupat.
            Selama ini, saya memang tahu yang namanya santan dari kelapa yang diparut, dikasih sedikit air, kemudian diperas dengan jempol ke bawah. Saya juga tahu ada santan siap pakai dalam kotak kecil seperti kotak susu. Ada juga santan yang bubuk.
            Ketika mau membeli santan di pasar, kami mengarah ke lapak dengan tumpukan buah kelapa yang kulitnya sudah dibuang. Di lapak yang tak terlalu luas itu ada beberapa mesin. Tebakan saya, mesin-mesin itu pasti adalah mesin pemarut kelapa. Benar memang, ada mesin pemarut kelapa. Tapi, ada mesin satunya lagi, mesin pemeras santan kelapa.

Bagaimana tahap-tahapnya?

1. Pilih kelapa yang mau kita jadikan santan, kelapa yang tua adalah yang berwarna tua.


2. Kelapa diparut di mesin pemarut




3. Kelapa yang sudah diparut dimasukkan dalam kain kasa


4. Parutan kelapa diberi air dan sedikit dikucek

5. Parutan kelapa digencet sampai gepeng di mesin khusus. Santan dialirkan melalui saluran.








6. Dan inilah santan kelapanya.....



7. Dibungkus, dibayar, dan dibawa pulang.

Jumat, 16 September 2011

Penjual Ikan Juga Adalah Penggebuk Ikan




            Dalam setiap pasar, pasti ada juga penjual ikan. Ikan bisa disusun rapi di atas meja, diletakkan berantakan dengan beberapa bongkah es, atau di kolam kecil dan masih hidup. Kolam-kolam ini menjamin ikan yang dibeli oleh pembeli masih dalam keadaan segar dan hidup. Kolam-kolam ini pula yang ikut membuat reputasi sebuah pasar menjadi pasar becek.
            Di suatu kesempatan ke pasar, kami memutuskan membeli ikan lele. Lele yang mau kami beli diletakkan dalam kolam yang dulunya adalah bak air. Kami diminta memilih sendiri lele mana yang kami beli. Akhirnya kami menyerahkan pemilihan lele kepada mas penjual karena malas terkena amis ikan. Si mas penjual meraup lele-lele di kolam dengan embernya dan segera menimbangnya.

            Lele-lele malang itu segera dimasukkan ke dalam kantong dan kemudian digebukin sampai tidak bergerak lagi. Sempat gak tega juga melihatnya. Setelah yakin semua lele digebukin, mas penjual ikan dengan tangkas membersihkan semua ikan. Sungut dipotong, perut dibersihkan, dan tak lama kemudian diserahkan kepada pembelinya yang malah asik jepret-jepret. {ST}

Kamis, 15 September 2011

Left To Tell oleh Immaculee Ilibagiza



            Buku ini ditulis oleh Immaculee yang seluruh keluarganya dibantai dalam kerusuhan etnis di Rwanda. Terlihat seperti berita yang umumnya ada di Koran? Tentu tidak, kalau hanya menceritakan kabar buruk, maka saya tidak akan mencatatnya di blog ini.
            Immaculee awalnya hidup tentram, aman dan damai di negaranya tanpa ada prasangka. Orang tuanya pun mengajarkannya untuk selalu berprasangka baik. Dia tidak memahami kalau tidak semua orang di sekitarnya berpikiran sama. Perbedaan suku menjadi isu besar dengan diskriminasi terjadi dimana-mana. Perlakuan yang sangat membedakan juga terjadi di sekolah, dan dilakukan oleh guru.
            Ketika perselisihan antara Suku Tutsi dan Hutu makin meruncing dan berbuah konflik, terjadilah pembantaian besar-besaran terhadap Suku Tutsi. Immaculee yang adalah seorang gadis Suku Tutsi, ikut menjadi sasaran. Hampir seluruh keluarganya dibunuh satu persatu. Yang paling menyedihkan adalah saudara yang paling dekat dengannya dibunuh dengan juga dipermalukan. Para pembunuhnya menelanjanginya, memotong tangannya, dan membelah kepalanya. Kepala seorang sarjana.
            Immaculee dan beberapa perempuan lainnya, ditolong oleh seorang pendeta. Sang pendeta yang berbeda suku itu mengambil resiko dengan menyembunyikan mereka di kamar mandi sempit yang ada di kamarnya. Dalam kamar mandi itu mereka hidup berbulan-bulan dalam diam. Dalam keheningan itu Immaculee lebih mendekatkan dirinya pada pencipta-Nya. Doa yang diucapkan terus menerus membuatnya tetap hidup dan memiliki harapan.
            Yang paling menarik dari buku ini, adalah pengampunan yang mampu dilakukan oleh Immaculee. Mungkin cukup mudah untuk mengampuni orang yang menyerobot jalan kita, tapi pastilah tidak mudah mengampuni orang-orang yang telah mengambil bagian terpenting dari hidup kita. Immaculee kehilangan banyak keluarga dan sahabatnya. Ada yang hilang karena dibunuh, ada juga yang hilang karena perbedaan pandangan.
            Bisa dibayangkan, saat keaadaan sudah membaik dan Immaculee kembali ke tempat tinggalnya. Rumahnya sudah hancur. Ibu dan ayahnya dibunuh dan dikhianati oleh orang yang mereka kenal. Dan dia bertemu dengan pembunuh saudaranya. Sebagai manusia, godaan untuk mengganti mata dengan mata dan gigi dengan gigi pasti ada. Begitu juga dengan Immaculee.
Dalam hubungan yang makin kuat dengan Tuhan, Immaculee dimampukan untuk memberi pengampunan. Pengampunan yang ternyata membebaskannya dari beban kesedihan dan trauma di masa lalu.
Buku ini sangat menginspirasi. Alur cerita juga mudah dicerna. Dengan membaca buku ini, pasti kita lebih menghargai dan mensyukuri kehidupan kita sekarang.{ST}

Rabu, 14 September 2011

Tumpukan Kepala Terpenggal di Pasar Itu



Tumpukan kepala ayam

            Ayam adalah unggas paling terkenal dalam dunia makanan. Ayam dikonsumsi hampir di seluruh dunia. Setahu saya, belum ada agama, kepercayaan, aliran ataupun golongan yang menyatakan kalau daging ayam haram. Maka, hampir di seluruh pasar di dunia ini juga ada yang menjual ayam.
            Di beberapa pasar, ayam hanya dijual per ekor. Pembeli tidak boleh memilih hanya membeli pahanya saja, sayapnya saja, atau dadanya saja. Di beberapa pasar lain, penjualan ayam disesuaikan dengan kebutuhan pembeli. Pembeli boleh membeli hanya 1 bagian saja. Prinsip ini diadopsi oleh pasar modern. Selain menjual ayam dalam bentuk utuh, juga menjual ayam dalam bagian-bagian yang sudah dipotong-potong.
            Bagian ayam yang paling populer adalah paha ayam. Aneka iklan ayam goreng sepertinya juga ikut ambil bagian dalam mempopulerkan sang paha. Peringkat selanjutnya sering terjadi persaingan ketat antara dada dan paha. Begitu pula untuk peringkat paling bontot, biasanya diduduki oleh kepala atau ceker ayam.
            Dalam sebuah kunjungan ke pasar dekat rumah, sepertinya kepala ayamlah yang menjadi juara bontotnya. Tumpukan kepala ayam yang terpenggal masih menghiasi lapak penjual ayam yang dagangannya hampir habis itu. {ST}

Selasa, 13 September 2011

Jangan Suap Aparat Kami





            Di negeri kita ini suap menyuap aparat sudah menjadi rahasia umum. Dimulai dari level jalanan, sudah bukan rahasia lagi kalau ada kendaraan yang melanggar rambu lalu lintas dan tertangkap, akhirnya akan bisa lepas tanpa sanksi. Kecuali uang damai bisa disebut sanksi.
            Aparat yang menerima suap (dan ketahuan) pasti akan mendapat kecaman dari masyarakat sekitar. Masyarakat pasti akan langsung menghakimi moral si aparat. Yang sering terlupakan adalah orang yang menyuap, orang di balik layar yang juga ikut berperan dalam proses penyuapan.
            Adanya aparat yang bisa dibeli, pasti dipicu juga dengan adanya pembeli. Adanya masyarakat yang membutuhkan penyelewengan prosedur supaya tetap aman dan terlindung. Tidak salah pula apabila ada masyarakat yang peduli dan memasang poster bertuliskan “JANGAN SUAP APARAT KAMI”. {ST}

Mumpung Gak Ada yang Punya



            Jalur transjakarta yang sering disebut busway itu memang dirancang hanya untuk 1 jenis kendaraan itu, transjakarta. Jalur paling kanan di beberapa jalan utama Jakarta itu  diberi batas dan petunjuk untuk menunjukkan siapa yang berhak menggunakannya. Jalur yang (seharusnya) lowong dan steril dari kendaraan lain. Pasti tujuan awalnya sangat mulia, untuk mengantarkan para penumpang transjakarta untuk tiba dengan cepat di tujuan. Jarak tempuh yang cepat dan jalur yang lancar memang menjadi daya tarik tersendiri untuk sebagian pengguna transjakarta. Yang lainnya, mungkin lebih karena alasan ekonomis. 

            Di tengah kemacetan Jakarta, jalur paling kanan yang kosong dan lowong itu memang sangat menarik hati. Bayangkan bila kita naik kendaraan pirbadi, atau kendaraan umum lainnya. Impian cepat tiba di tujuan kadang-kadang harus mengeluarkan banyak stok kesabaran. Kemacetan yang bergerak pelan sering menimbulkan niat untuk menggunakan jalur khusus itu. Niat itu akan menjadi semakin besar bila kita melihat banyak orang lain melakukan seperti apa yang kita pikirkan. Tidak hanya orang biasa, tetapi juga yang luar biasa, seperti rombongan pejabat bermobil hitam dan juga aparat berseragam.

            Selama ini saya berupaya sekuat tenaga untuk tetap taat aturan dan tidak menyerobot jalur paling kanan itu. Namanya juga usaha, kadang-kadang ada gagalnya, apalagi kalau tidak ada batas yang jelas antara kedua jalur. Naluri nyembil dengan mobil kecil kadang-kadang sangat susah dilawan.

            Di lain waktu, ada juga saatnya harus pasrah terperangkap dalam antrian. Daripada ngomel-ngomel sampai monyong tapi tetap tidak bisa mengubah keadaan, mendingan jepret sana-sini. Inilah dia hasilnya…{ST}

Jumat, 09 September 2011

Tape Ketan Kuning



          Tape ketan adalah salah satu makanan favorit di rumah kami. Makanan ini adalah makanan kesukaan mamahku. Setiap kali ada yang pergi ke daerah Garut, Kuningan dan sekitarnya, Mamah selalu nitip minta dibelikan tape ketan. Tape ketan khas daerah sana dijual dalam bungkusan kecil daun jati dengan ketannya berwarna hijau. Untuk yang sudah paham kesukaan Mamah, akan membelikannya dengan kemasan ember yang isinya banyak sekali.
            Bentuk lain dari tape ketan yang biasa dijumpai adalah dibentuk seperti bola yang tidak lebih besar dari genggaman tangan. Bentuk ini lebih umum terlihat di pasar jajajan Jakarta.
               Selain penikmat tape ketan, Mamah juga sesekali membuatnya. Tape yang dibuat tentu saja semirip mungkin dengan yang biasa dijual di pasaran, warna hijau. Suatu kali, pewarna makanan warna hijau di rumah kami habis. Jadilah mamah bereksperimen dengan warna lain, kuning.
        Ternyata warna memang mempengaruhi selera makan orang. Tape ketan kuning buatan mamah mengingatkan kami akan beras kuning. Dalam kepercayaan Dayak Ngaju, beras kuning sering digunakan untuk ritual, tidak untuk dimakan. Mungkin hal ini sedikit mempengaruhi mengapa tape kuning itu terpajang di meja jauh lebih lama dibandingkan tape hijau. Padahal kalau soal rasa, sama saja. {ST}

Selasa, 06 September 2011

Penjaja Uang Kecil


Penjaja uang kecil lengkap dengan atributnya

            Lebaran tahun ini telah berlalu. Lebaran sebagai perayaan saat kemenangan, tentu sangat berkesan bagi yang merayakannya. Saya bukanlah orang yang merayakan Lebaran. Bukan berarti saya tidak peduli dengan Lebaran. Kegitan menyambut Lebaran telah menjadi bagian dari hidup di Indonesia.
            Di negeri kita ini, pulang ke kampung halaman alias mudik telah menjadi tradisi. Ibu kota negara yang biasanya penuh dengan jalanan yang macet, menjadi sepi di saat Lebaran tiba. Warganya yang ternyata kebanyakan kaum urban itu, pergi sejenak meninggalkan tempat mencari nafkah untuk berkumpul bersama keluarga.
            Warga yang pergi merantau mencari nafkah ke Jakarta, umumnya juga ingin membagikan rejeki yang mereka dapatkan. Rejeki yang disisihkan dapat pula berbentuk pembagian uang kepada orang-orang yang lebih muda. Saya juga pernah mendapatkan rejeki semacam ini dari beberapa orang yang sudah lebih dulu mapan.
Transaksi uang kecil di pinggir jalan

            Tentu saja untuk memberi kita harus lebih dulu memiliki. Untuk memberikan uang kecil, kita juga harus punya uang kecil. Nilai uang yang kita miliki, bias jadi dalam bentuk pecahan uang besar. Yang kalau dibagikan, mungkin akan terjadi ketidakadilan. Dengan uang pecahan besar, hanya bias berbagi ke sedikit orang. Dengan uang pecahan kecil, bias berbagi ke banyak orang.
            Bank, sebagai lembaga resmi yang mengurusi peredaran uang, dalam masa menjelang Lebaran, tidaklah terlalu membantu dalam proses penukaran uang. Umumnya di semua bank terjadi antrian yang meliuk-liuk. Antrian yang memerlukan waktu lebih lama dari biasanya. Belum lagi kadang-kadang ada bank yang kehabisan stok uang kecil. Hanya segelintir orang yang bias mengandalkan ATM. Orang-orang yang menganggap pecahan Rp. 50.000,- dan Rp.100.000,- adalah uang kecil.
            Kebutuhan akan uang kecil ini membuka peluang untuk jasa penukaran uang. Jasa penukaran uang ini tidak dilakukan di ruangan yang adem berpendingin udara. Penukaran uang ini dilakukan di pinggir jalan, di tengah terik panas matahari dan debu-debu beterbangan. Di Jakarta, penjaja uang kecil ini beroperasi di sepanjang jalan menuju Stasiun Kota. Mereka sudah terlihat di Jalan Gajah Mada dan mangkal hampir setiap 5 meter. Makin mendekat ke stasiun jaraknya makin dekat. Seperti kerak telor dan PRJ. Makin dekat ke pusatnya, makin padat.
            Tidak seperti penukaran uang biasanya yang berimbalan ucapan “terima kasih”, untuk penukaran uang yang ini ada biaya tambahan. Namanya juga jualan jasa. Untuk setiap transaksi biasanya penukar harus mengeluarkan biaya 10% lebih banyak. Misalnya mau menukarkan pecahan Rp. 100.000,-, maka yang dibayarkan Rp. 110.000,-. Harga ini bisa dinegosiasikan. Seperti rumus dagang umum di dunia, beli banyak lebih murah. Harga juga tergantung stok uang yang beredar. Kalau stok makin susah didapat, makin mahal harganya. Umumnya pembeli tidak terlalu ngotot menawar harga karena harga yang ditetapkan sepanjang jalan itu sama.
            Tempat jualan yang panas berdebu, membuat beberapa penjual harus menyesuaikan diri dengan pakaiannya. Topi, kerudung, masker, handuk dan tentu saja pecahan uang kecil yang disodor-sodorkan menjadi pemandangan umum saat itu. {ST}

Senangnya Bisa Ngeblog Lagiiii…….


Setelah sekian lama gak bisa ngeblog karena terkalahkan oleh virus, akhirnya benda dengan keyboard QWERTY ini bisa berfungsi kembali dengan normal. Semoga bisa awet untuk seterusnya. Atau kalaupun tidak awet, sudah punya penggantinya yang lebih canggih.
Membuat tulisan dengan ketikan sudah menjadi bagian dari keseharian. Kehilangan kebiasaan mengetik karena kerusakan teknis adalah hal yang sangat menggemaskan. Apalagi hari- hari yang dilalui penuh dengan kejadian menarik yang sayang kalau tidak dituliskan dan akan segera dilupakan. Maklum deh, kapasitas otak terbatas.
Perangkat yang akhirnya terpulihkan ini, memang menunjang niat untuk update blog setiap hari, seperti yang diniatkan semula. Tapi….lagi-lagi ada alasan lain, entah (sok) sibuk karena tidak ada pembantu dan supir, pergi ke luar kota atau alasan lain yang sebenarnya bisa diartikan sebagai malas. Nah itu dia musuh utamanya.
Selama tidak mengetik dengan keyboard dan layar besar, kegiatan membuat catatan tetap dilakukan. Membuat catatan dengan cara menulis dengan bolpen. Menulisnya bisa dimana saja sesuka hati, bisa di struk belanja, kertas bekas, buku kecil, buku besar, telapak tangan, pergelangan tangan, dinding, dll deh.
Membuat catatan dengan mengetik juga dilakukan dengan jempol di perangkat bernama buah yang sering dibilang smartphone itu. Kebanyakan orang, aplikasi paling sering dibuka adalah messenger, email atau jejaring sosial. Di hp saya, aplikasi yang cukup sering digunakan adalah memopad. Memopad ini berisi catatan macam-macam yang belum tentu penting tapi menarik.
Intinya, mulai sekarang mau memulai lagi setiap hari ngupdate blog. Melanjutkan apa yang sudah dimulai. Membuat sesuatu untuk dibaca. Syukur-syukur kalau ada yang baca. Buat teman-teman sekalian yang sudah terlanjur baca, terima kasih yaaaa….{ST}

Popular Posts

Isi blog ini