Bakso Pak Sipit adalah bakso yang ikut menyertai perjalanan hidup keluarga kami. Kehadirannya sudah berlangsung sejak lama, paling tidak selama lebih dari 34 tahun. 34 tahun adalah usia kakakku Maslu. Dia dilahirkan setelah mamahku melahap 2 mangkok bakso Pak Sipit. Rasa mules yang dirasakan kemungkinan adalah perpaduan antara kebanyakan makan dan memang waktunya sang bayi meninggalkan rahim ibunya.
Pak Sipit, yang bernama asli Trisno, tetap setia menjual bakso dengan gerobak coklatnya di seputar Cempaka Putih sampai bertahun-tahun kemudian. Bunyi “tok tok tok”nya sangat dinantikan di saat matahari sudah beranjak ke barat. Selain Pak Sipit, anggota keluarganya yang lain ada juga yang menjual bakso yaitu Pak Gianto (kakaknya), dan Pak Tejo (pamannya). Rasa bakso yang mereka jual sama, tampaknya berasal dari pabrik yang sama, pabrik keluarga bakso Pak Sipit.
Nama Pak Sipit telah melekat dalam ingatan. Dia dipanggil Pak sipit karena memang bermata sipit. Aku baru tahu kalau namanya adalah Trisno dalam kunjungan terakhir ke tempat mangkalnya beberapa hari yang lalu.
Saat ini, Pak Sipit tidak lagi berjualan bakso keliling kompleks. Dia mangkal di sebuah bangunan permanen di area jajahannya juga, di Jalan Cempaka Putih Tengah IV / 8. Pak Sipit juga membuka cabang di Jln. Cempaka Putih Tengah II. Untuk di cabang dilayani oleh anaknya. Pak Sipit dan Bu Sipit melayani di ‘kantor pusat’.
Selain karena baksonya yang enak dan kuah kaldunya yang mantap, Pak Sipit juga diingat para pelanggannya karena perhatiannya. Dia selalu menanyakan kabar pelanggan dan keluarganya. Khusus keluarga kami, dia menanyakan sampai 3 turunan. Pak Sipit juga berusaha mengenal selera pelanggannya. Kalimat sebelumnya pakai kata ‘berusaha’ karena kadang-kadang keinginan pelanggan tak terpenuhi karena keterbatasannya.

Bertahun-tahun yang lalu, saat Pak Sipit masih berkeliling menjual baksonya, pembeli yang sudah menjadi langganan tinggal memanggil dan Pak Sipit otomatis langsung menyiapkan sesuai selera. Dia sudah paham orang mana yang suka mi putih, mi kuning, gak pake bawang, pake sumsum, pake tetelan , pake sayur, dll maunya pembeli deh. Aku adalah orang yang tidak terlalu suka tetelan, apalagi yang terdiri dari lemak. Yang ini bukan hanya tidak terlalu suka, tapi memang tidak suka. Berbeda dengan adikku yang penggemar tetelan dimana mangkok bakso dengan taburan tetelan adalah kenikmatan. Saat itu, aku sudah yakin kalau Pak Sipit sudah tahu bakal menyiapkan bakso sesuai selera pelanggan dan tidak mengorder dengan cerewet seperti kuah bening, bakso doang, gak pake bawang goreng dll. Aku kaget berat ketika Pak Sipit memberikan mangkok bakso hasil racikannya yang ternyata....penuh dengan tetelan.

“Loh? Kok pake tetelan pak? Aku kan yang gak suka tetelan....” Kataku bengong menatap mangkok penuh tetelan itu. Kalau mau membayangkan, seperti nasi uduk yang ditaburi bawang goreng, nah, seperti itulah rupa tetelan yang ada di mangkok saat itu.
“Oooo....iya...abis rupane podo.” Pak sipit berkata lagi. Menurut dia aku dan adikku setelah besar ini ‘rupane podo’ alias mirip. Jadilah dia mengira kalau aku adalah anak yang suka tetelan dan memberikan bonus tambahan. Maksudnya baik khan?
Masalah itu segera dapat diselesaikan dengan mengalihkan tetelan ke mangkok Yiyi, si anak penggemar tetelan.
Minggu ini, aku dan Yiyi mampir ke kantor pusat Bakso Pak Sipit. Rasa lapar dan kengen menngiring kami ke sana. Saat bertemu, kami bertegur sapa dan menyampaikan kabar keluarga kami. Pak Sipit mengomentari beberapa kerabat yang telah berubah bentuknya, ada yang rambutnya memutih, ada yang menggemuk dll. Aku dan adikku dengan bawel mengorder semangkok bakso. “Pake toge”, “Pake sayur” adalah ucapan-ucapan yang menyelingi obrolan tentang para kerabat kami yang tidak hadir.
Kami mengambil tempat duduk di sebelah dalam, paling belakang dekat kipas angin dan TV. Di dinding tertera tulisan “BAKSO BENGAWAN BAPAK TRISNO PEACE”. Saat itulah tepatnya, kami – dua bersaudara penggemar Bakso Pak Sipit- tahu kalau nama asli bapak ramah ini adalah Trisno.
Bagi sebagian orang, cerita ini hanyalah kisah bola-bola daging dalam mangkok putih bergambar ayam merah. Bagi keluarga kami, cerita ini telah menjadi folklore. Apa itu folklore? Lebih baik adikku yang antropolog yang menjelaskan. {ST}