Ana

Jumat, 19 November 2010

Petualangan Sembilang


Ia bernama Sembilang. Ia Berbadan kecil & kurus. Dinamakan Sembilang karena waktu kecilnya pernah tergelincir dan ditemukan di lorong nomor sembilan dalam sebuah sarang semut. Sarang semut? Iya sarang semut. Sembilang adalah seekor semut hitam. Di dunia semut saja ia terlihat kecil mungil. Bayangkan saja besarnya bila dibanding dengan kita, manusia.

Sembilang termasuk semut pekerja di dalam koloni semut itu. Tugasnya mencari makanan untuk seiisi sarang, memelihara semut kecil yang baru menetas dan memperbaiki sarang. Tentu saja tugas itu tidak dilakukannya sendiri. Semut pekerja adalah jenis terbanyak dalam sebuah sarang. Dalam sebuah sarang semut hanya terdapat 1 ekor ratu semut yang menjadi induk semua semut di sarang itu, selebihnya adalah semut pekerja. Semut yang sering kita lihat di dekat gula pasti adalah semut pekerja seperti Sembilang.

Dari sekian banyak tugas semut pekerja, Sembilang paling tertantang untuk mencari makanan keluar sarang. Semangat petualang dalam diri Sembilang selalu berkobar setiap kali melangkahkah ke-6 kakinya keluar sarang. Biasanya dia keluar besama sekelompok semut lainnya untuk mengangkut makanan kembali ke sarang. Tidak seperti tugas lain yang berulang itu-itu saja, tugas mencari makanan ke luar ini selalu ke tempat yang berbeda. Pernah ke dalam stoples gula, ke dalam kotak makan siang bahkan yang paling menegangkan adalah mengambil remah biskuit di dalam mobil yang bergerak tidak lama kemudian.

 “Sempada hebat ya...dia menemukan permen rasa strawberry di taman” kata seekor semut lain kepada Sembilang.

“Ayo kita keluar ikut membawa pulang permennya” kata seekor semut lain.
“Ibu Ratu pasti senang dengan penemuan hari ini” komentar salah satu semut.

Sembilang tidak terlalu bersemangat. Kali ini pikirannya dipenuhi obsesi untuk menjadi bahan pembicaraan seperti Sempada juga. Dia juga mau terkenal seperti saudaranya itu. Sempada yang tinggi menjulang mengepalai pasukan pencari makan. Sembilang merasa sangat kecil hati bila melihat teman yang juga saudaranya ini. Dia selalu berhasil mendapatkan makanan ke manapun dia pergi. Sembilang bertekad suatu saat dia juga akan menjadi ‘bintang’ di sarangnya.

Semut selalu mencari makanan untuk seluruh keluarganya. Setelah berkali-kali bertugas mengambil makanan. Sembilang baru tahu kalau sebelumnya sudah ada semut dari sarang yang pergi duluan ke tempat itu. Semut itu kemudian kembali ke sarang dengan meninggalkan jejak berupa zat kimia. Jejak itulah yang akan menuntun mereka kembali ke tempat itu dengan beberapa semut lain yang akan gotong royong membawa bahan makanan kembali ke sarang. Sempada sering kali mendapat tugas untuk melakukan pengintaian lebih dulu.


Sembilang pernah melihat Sempada pergi sendirian meninggalkan sarang. Sembilang mengikuti jejaknya dari belakang. Saat itu Sembilang sadar, bahwa semut inilah yang mengembara sendirian untuk kemudian kembali ke sarang dengan jejak makanan.  Pada suatu malam, ia pun memutuskan untuk pergi sendiri mencari makanan. 

“Badan kecilku yang hitam pasti tidak mudah dilihat oleh yang bermaksud mencelakakan” Pikiran ini turut membuat tekad Sembilang makin kuat. Selama perjalanannya keluar sarang, ancaman terbesar adalah terinjak atau tertindih  makhluk lain yang lebih besar. Selain itu ada juga resiko terkena sapu, kemoceng, tertiup angin atau terbawa aliran air.

“Lagipula aku juga sudah beberapa kali tugas ke luar sarang, aku sudah tahu tentang dunia luar” kembali Sembilang berkata pada dirinya sendiri sambil menepuk dada.

Dengan tekad kuat, Sembilang meninggalkan sarangnya di malam yang gelap. Dia menuju tempat terakhir kali permen ditemukan. Daerah ini juga adalah daerah luar sarang yang paling segar di ingatannya. Di kegelapan malam itu, Sembilang berjalan kesana-kemari. Ia naik turun batu dan rumput sampai pagi menjelang. Saat terang, barulah terlihat jelas kalau tempat itu adalah taman bermain untuk anak-anak manusia.

Anak-anak manusia balita berlarian  dan memainkan berbagai macam yang bisa dimainkan. Seorang anak yang berjongkok di pasir hampir menangkap Sembilang yang terlihat kontras di pasir putih. Anak itu mengaduk-aduk pasir tempat Sembilang berpijak. Sembilang tertimbun di dalam tumpukan pasir sampai sesak napas dan akhirnya pingsan. Walaupun begitu, ia tetap bersyukur karena kalau tidak tertimbun, pastilah ia sudah tak lagi berbentuk semut normal di tangan anak itu.

Setelah siuman, Sembilang kembali berjalan dengan perasaan sedih dan kesepian. Biasanya dia selalu bersama dengan saudara yang lain melakukan perjalanan. Kali ini ia sendiri dengan badan memar dan sakit. Ia juga telah kehilangan arah di tumpukan pasir putih itu. Ia menyesali perasaan irinya kepada Sempada. Ternyata modal untuk bertahan saat berjalan sendirian bukan hanya tubuh kecil yang tak terlihat. Apalagi ia juga teringat pada beberapa pendahulunya yang sampai kehilangan nyawa demi mencari makanan untuk keluarganya.

“Kepalaku sakit sekali dan aku lapar” Sembilang berkata lirih dalam hati. Ingin rasanya dia berteriak tapi tidak bisa. Semut tidak dapat bersuara, mereka berkomunikasi dengan saling menyentuhkan antena atau sungut. Dan saat ini tidak ada antena semut lain di sekitarnya.

Sembilang berjalan tak tentu arah di bak pasir itu. Matahari yang panas terik semakin membuatnya lemah dan lemas. Dia tertunduk sedih sambil memandang bayangannya yang berwarna hitam seperti tubuhnya.

“Aha! Bayangan! Aku ingat perjalanan kami di sore hari. Bayangan Sempada yang memimpin kami jatuh ke belakang. Sepertinya sekarang lebih baik aku berjalan ke arah yang sama, bayangannya di sebelah belakang.” Timbul sebuah pikiran yang membuat Sembilang lebih bersemangat.

Berjalan dengan bayangan di belakang tubuh artinya berjalan menghadap matahari sore. Sembilang berjuang untuk berjalan terus sampai akhirnya dia menemukan tepi bak pasir. Dia bertemu dengan rumput yang lembab. Sembilang melompat girang dan terus berjalan. Kali ini tujuannya hanya pulang ke sarang.

Tanpa disangka, di rerumputan yang terlihat seperti hutan di mata Sembilang, sesuatu terjatuh dari atas. Sesuatu yang hampir menindih tubuh mungil Sembilang.

“Plop” bunyi permen bulat bertongkat yang terjatuh ke tanah di sela rerumputan.
“Huaaaa....huaaaa.....pelmennya jatuh” tangis seorang anak berambut keriting sambil berjongkok tak jauh dari Sembilang.

Sembilang kaget sampai terjengkang karena kejadian yang terjadi belum lagi ditambah suara tangisan yang membahana.

“Sudah gak apa-apa. Kita buka permen yang baru aja ya...Yang itu sudah kotor” Kata seorang ibu sambil mendekati anak yang menangis keras itu. Anak itu tetap menangis sampai ibu itu menggendongnya dan memberikan permen baru.

Setelah tersadar dari kekagetannya, Sembilang menatap permen yang sudah dibuka tapi masih utuh di depannya itu. Sambil melongo ia mengucek matanya. Apakah ini mimpi? Di saat ia sudah menyerah dan mau kembali ke sarang malah menemukan permen besar tanpa sengaja. Pohon besar yang jadi penanda sarang pun terlihat makin jelas disinari matahari sore itu. Segera Sembilang berlari ke sarang sambil meninggalkan jejak berupa zat kimia yang dimiliki semua semut. 

Sesampai di sarang, Sembilang segera memberitahukan ke sesama semut pekerja yang lain. Semirang, seekor semut yang jarang Sembilang temui memimpin pasukan itu. Sempada sedang bertugas keluar sarang. Semirang memimpin pasukan itu menuju tempat permen ditemukan dengan Sembilang sebagai penunjuk jalan yang tentu saja berjalan di depan. Sembilang sangat bangga dengan posisinya kali ini, dia berbaris di barisan depan.

“Wowww....besar sekali permennya. Kita perlu tambahan pasukan untuk membawanya ke sarang sebelum gelap” Semirang berakata dengan kagum dari barisan paling depan.

Tak jauh dari situ, sekelompok semut yang berasal dari sarang yang sama melintas dalam perjalanan kembali ke sarang. Kelompok itu dipimpin oleh Sempada. Kelompok semut yang berisi teman-teman Sembilang sehari-hari. Mereka bertemu dengan seekor semut yang dikirimkan kembali ke sarang untuk meminta tambahan semut. Kelompok ini langsung menuju tempat penemuan permen dan bergotong-royong membawa permen itu ke sarang sebelum gelap.

“Horeee....horeee....” seisi sarang bersorak senang karena datangnya makanan dan kembalinya Sembilang.

“Selamat ya atas penemuan makanannya” Sempada memberikan selamat ke Sembilang. Sembilang merasa senang tapi juga sedih. Selama ini dia tidak pernah memberikan ucapan selamat pada Sempada karena rasa iri. Tapi kali ini Sempada memberikan ucapan selamat dengan muka yang tulus dan sikap rendah hati.
Sembilang akhirnya menghampiri Sempada dan berterus terang tentang rasa iri juga kekagumannya pada Sempada. Sempada tertawa terkekeh mendengarnya. Ternyata dia juga pernah bersikap seperti itu saat masih muda. Sikap rendah hati dan menghargai semut lain didapat karena pernah hampir mati tertiup angin kemudian hanyut terbawa aliran air.

“Kita bangsa semut tidak bisa hidup sendiri. Untuk mengerjakan segala sesuatu harus bergotong-royong bersama. Kalaupun aku pernah terlihat pergi sendiri keluar sarang, sebenarnya aku tidak sendiri. Ada teman-teman lain yang sudah menunggu di luar sana” Sempada menjelaskan pada Sembilang.

“Jadi, jangan pernah lagi pergi sendiri untuk menunjukkan kehebatan kita. Segala pujian dan sanjungan tidak ada gunanya kalau kita membahayakan diri sendiri dan sarang” Sempada melanjutkan.

Sembilang menatap kagum ke kakaknya itu dan berjanji dalam hati untuk tidak lagi melakukan sesuatu yang tujuannya menyombongkan diri sendiri.

“O iya, 1 lagi yang harus diingat. Sikap gotong-royong kita itu juga ditiru oleh manusia lho...Kalau untuk yang 1 ini bolehlah kita berbangga” Sempada berkata sembari melangkah masuk ke lorong sarang.

Wise

Copas dari emailnya Kak Daniel Kristanto (&&) Sesuatu yang baik, belum tentu benar. Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga/berguna, belum tentu bagus. Jika Anda tidak bisa menjadi orang pandai, jadilah orang baik. (22nya paling bagus) Jika berbuat baik, kebaikan pula yang akan kita terima kelak. Iri hati yang ditunjukan kepada seseorang akan melukai diri sendiri. Yang penting bukan berapa lama kita hidup dan sudah melayani, tetapi bagaimana kita menggunakan hidup ini bernilai sesuai dengan kehendkNya. Orang bijaksana selalu melengkapi kehidupannya dengan banyak persahabatan. Jika kejahatan di balas kejahatan, maka itu adalah dendam. Jika kebaikan dibalas kebaikan itu adalah perkara biasa. Jika kebaikan dibalas kejahatan, itu adalah zalim. Tapi jika kejahatan dibalas kebaikan, itu adalah mulia dan terpuji. Persahabatan sejati layaknya kesehatan, nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangan. Namun kita tidak akan pernah memiliki seorang teman, jika kita mengharapkan seseorang tanpa kesalahan, karena semua manusia itu baik, kalau kita bisa melihat kebaikannya dan menyenangkan kalau kita bisa melihat keunikannya. Tetapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan, kalau kita tidak bisa melihat keduanya. Sesungguhnya hati adalah ladang, maka tanamlah ia dengan perkataan yang baik, dan perbuatan yang baik. "Kalau hari ini kita masih bernafas, itu berarti rencana Tuhan dalam hidup kita belum selesai" Mari berlomba-lomba makin serupa dengan Dia, Kristus yang adalah Tuhan, Juruselamat dan teladan kita. Selamat menjalani hidup. GBU All. Love, &&

Kamis, 18 November 2010

Catatan Harian Setiap Hari yang Tak Sampai

Bulan lalu aku bertekad mau bikin catatan harian setiap hari. Namun apa jadinya di Bulan Oktober itu? Banyak kejadian menarik yang patut dicatat, tapi banyak pula kejadian yang membuatku kehabisan tenaga. Aku sempat ada job yang mengharuskan ngantor setiap hari. Setelah sekian lama bebas merdeka, berjam-jam duduk di kantor membautku cepat lelah dan bosan. Alhasil setelah ngantor malah main-main ketemu teman atau ngapain aja yah? Bingung juga kalo diingat. Yang jelas sempat kena tilang aja pas pulang malam-malam sendirian. Aku juga sempat kena demam berhari-hari. Ternyata aku kena demam berdarah. Baru gejalanya aja sih, sudah tes lab, virusnya ada di darahku. Untungnya trombositku normal jadi gak perlu opname di rumah sakit. Asli aku paling males harus opname. Paling males ditusuk jarumnya itu loh. Selebihnya? Aku gunakan waktu untuk menulis buku perdanaku yang sekarang baru jadi 50 halaman. Semoga cepat kelar ya...Targetnya sih bulan November ini kelar. Jadi kalo ada ide langsung dicatat biar gak ilang. Bulan Desember tinggal mikirin Natal

Blog Sempat Hilang

Blogku sempat hilang beberapa hari. Huuuuuhuhuhu....aku panik banget. Di situ sudah cukup banyak tulisanku yang memang sengaja aku buat untuk dibaca orang lain. Untuk latihan jadi penulis ceritanya. Dalam saat panik kemaren, kepikir juga untuk nanya seorang mantan pacar yang suka ngeblog. Tapi malu ah...lagian aku bukan orang yang mau dikasihani. Dari kemaren udah coba berkali-kali sambil berharap semoga lagi error doang, baru beberapa hari berhasil. Lega banget rasanya. Bukan bermaksud selingkuh atau gak setia kalau akhirnya aku buat account blog yang lain, masih belum diisi sih. Belum sepmat bikin tulisan yang layak baca lagi.

Petualangan Belalang Daun di Atas Daun Kering



            Namaku Doni. Kesukaanku bermain di dalam hutan. Aku bercita-cita untuk keliling dunia kalau sudah besar nanti. Orang tuaku sangat tidak mendukung keinginanku ini karena tidak semua bagian dari dunia ini ada daunnya, dimana kami tidak bisa menyamarkan diri dari penglihatan musuh.
            Keluarga kami adalah penghuni hutan yang selalu terlihat tenang. Terlalu banyak bergerak akan membuat kami mudah terlihat oleh musuh yang akan segera memangsa kami. Kami hanya bergerak seperlunya di saat dunia sekitar cukup aman.
            Kami adalah keluarga belalang daun. Seperti juga orang tuaku, dari jauh tubuhku terlihat seperti daun. Sayapku yang hijau muda terlihat seperti daun singkong muda lengkap dengan guratan khas daun. Orang tuaku seringkali mengingatkan untuk tidak bermain di pucuk daun singkong.
             Ibu penghuni rumah kayu sederhana di tepi hutan ini sering memetik daun singkong untuk makanan keluarganya. Bisa saja dia juga ikut memetik aku kalau aku berada di situ. Yang Maha Kuasa menganugerahkan kami beberapa bagian tubuh yang mirip daun untuk menyamarkan diri dari pemangsa.
            Beberapa generasi keluarga kami telah bertahan hanya dengan berdiam diri di dekat dedaunan. Penampilan kami yang terlihat sama dengan sekitarnya membuat pemangsa tidak terlalu sadar akan keberadaan kami. Tidak cuma pemangsa, manusia juga perlu kejelian untuk bisa menemukan kami.
           Selain keluarga kami, belalang daun, di sekitar sini juga tinggal belalang jenis lain yang juga berteman dengan keluarga kami. Kata ibuku, kami berasal dari nenek moyang yang sama. Dalam perkembangannya, kami tinggal di tempat yang sedikit berbeda yang membuat bentuk tubuh kami juga berbeda.
Belly temanku adalah belalang sawah. Dia berwarna coklat kehijauan. Belly mempunyai banyak sekali saudara.

“Doni, kita main ke dalam hutan yuk...” ajak Belly pada suatu pagi yang cerah. “Yukkk....” Doni menjawab dengan antusias.
Selama ini ia hanya sesekali main ke dalam hutan. Itu pun dia lakukan sendiri. Saudara-saudara lain tidak berminat apalagi banyak cerita misterius yang beredar di pemukiman belalang daun itu.
 “Kita kan belum pernah ke dalam sana, kita bawa bekal makan siang dan air minum juga kali ya...” Kata Doni ke teman yang mengajaknya itu.
“Boleh aja, tapi gak usah banyak-banyak. Nanti kita susah melompat” Kata Belly lagi. “Kita ketemu lagi di pinggir hutan ya...” Kata Doni sambil berbalik menuju rumahnya.

            Kedua belalang yang bersahabat itu tiba di tepi hutan tak lama kemudian. Mereka hanya membawa buntelan kecil yang diletakkan di bawah sayap. Keduanya berlompatan dengan senang menuju dalam hutan yang makin lama makin lebat. Pohon-pohon berukuran besar terlewati satu per satu. Mereka berhenti di tiap pohon besar yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tanah pun sudah tidak lagi dihias rumput. Gantinya adalah dedaunan yang telah jatuh dan sebagian telah membusuk, warnanya coklat kehitaman.
            Mereka menghentikan perjalanan mereka saat sudah kelaparan dan kehausan. Berdua mereka bertengger di akar pohon besar. Sambil tertawa ceria mereka saling berbagi makanan. Makanan yang mereka bawa langsung ludes dengan cepat. Sambil beristirahat mereka melihat ke atas pohon. Ada seekor monyet abu-abu yang sepertinya masih anak-anak. Anak monyet itu juga lagi makan.

 “Ini sebelah mananya hutan ya?” Doni baru menyadari kalau mereka tidak mengenal hutan itu dengan cukup baik.
 “Lho? Kamu gak tau ya? Aku pikir kamu tau. Kamu kan tinggalnya lebih dekat dengan hutan daripada aku.” Kata Belly lagi sambil menatap sahabatnya.
 “Aku gak pernah main sejauh ini. Orang tuaku selalu melarang. Saudara-saudara lain juga gak ada yang mau” Jawab Doni dengan suara memelas.
 “Plokkkk” suara sebuah kulit pisang yang jatuh terdengar.
            Kulit pisang itu sepertinya dijatuhkan oleh anak monyet warna abu-abu di atas pohon itu. Suara keras itu membuat kedua anak belalang itu terlompat karena kagetnya. Belly yang memang terbiasa melompat di sawah langsung melompat cukup jauh dari sahabatnya itu. Doni dengan sayap daunnya membuat tubuhnya jauh lebih berat dari Belly walaupun mereka seumuran.
            ‘Daun’ itu juga membuat Doni tidak selincah sahabatnya. Dia tertinggal di akar pohon besar itu. Sementara kedua belalang itu panik di permukaan tanah. Seekor anak monyet memperhatikan kulit pisang yang dijatuhkannya. Kulit itu menghantam akar besar yang kemudian memantul ke tanah berlapis daun berwarna coklat kehitaman itu.

“Horeee....” anak monyet itu berteriak senang sambil bertepuk tangan. Kembali ia menoleh ke bawah memperhatikan kulit pisang berwarna kuning terang di atas warna coklat hitam dedaunan busuk itu. Tak jauh dari situ, dia juga melihat sebuah benda berwarna hijau muda.
“Lho? Kok ada daun warna hijau di akar ya? Biasanya kan yang jatuh daun yang sudah tua. Aku kan tadi cuman makan pisang, gak petik-petik daun.” Kata anak monyet itu.
Anak monyet itu segera melangkahkan keempat kakinya menuju bawah pohon. Dia berhenti di dekat kulit pisangnya dan mengamati ‘daun’ di akar pohon itu. Dia memandang heran dengan mulut sedikit terbuka.
 “WAAAAA.......” Anak monyet itu berteriak keras karena kaget.
             ‘Daun’ itu bergerak padahal tidak ada angin. Setelah pulih dari kekagetannya, anak monyet kelabu itu kembali mengamati Doni yang membeku ketakutan. Doni sedang mempraktekkan nasehat orang tuanya untuk berdiam diri saja kalau ada musuh mendekat. Sayangnya ada bagian yang terlupa diingat Doni. Berdiam dirilah di dekat daun yang berwarna hijau. Dengan keberadaannya di atas daun coklat kehitaman itu. Dia justru sangat terlihat bedanya. Anak monyet itu mengambil daun yang bisa bergerak itu.
             Doni ketakutan setengah mati berada di tangan anak monyet yang di matanya terlihat seperti raksasa itu. Dia mengepak-ngepakkan sayapnya, tapi tidak bisa bergerak. Dia tidak menyerah sampai akhirnya...dia terlepas dan berhasil terbang. Tak jauh dari situ, dia melihat sahabatnya Belly baru saja turun dari hidung si anak monyet. Doni bergerak ke arah cahaya yang segera diikuti oleh Belly yang melompat di tanah lembab itu. Mereka terus bergerak menjauhi anak monyet yang sedang menggaruk hidung itu, sampai akhirnya terdengarlah suara.....

“Doniiiiiiii.....” Terdengar suara ibu Doni dari atas pohon.
“Ibuuuuu.....” Doni balas menjawab.
              Doni kemudian hinggap di dahan tempat seekor belalang daun lain bertengger. Belalang daun itu berbentuk mirip Doni tapi warna sayapnya lebih tua. Tak lama kemudian datang pula seekor belalang daun yang sayapnya sedikit bolong, ayah Doni. Ibu Doni menangis sejadi-jadinya. Doni malu untuk menangis di depan banyak belalang lain yang berkumpul tak lama kemudian.

“KKKkrrrkkkk....kkkrrrrkkkkk.....” bunyi gesekan sayap belalang sawah dari sebelah bawah.

           Doni melihat keluarga sahabatnya Belly juga sudah berkumpul di atas tanah. Anggota keluarga Belly sangat banyak. Kalau sudah terbang bersama mereka bisa membuat langit tampak gelap. Yang berkumpul di bawah sana tampaknya belum ada setengah dari isi perkampungannya. Tapi jumlah itu sudah melebihi jumlah seluruh keluarga Doni. Kedua keluarga belalang itu bergerak bersama menuju tepi hutan. Ada yang terbang, ada yang melompat.
            Setibanya di tepi hutan, Doni dan Belly berteriak senang tapi juga terdiam tak lama kemudian. Mereka berdua telah selamat dari ancaman si anak monyet. Mereka melangkah tertunduk menuju keluarganya yang telah berkumpul. Ayah Belly yang bertubuh besar bergerak mendekat. Kedua sahabat itu makin takut menghadapi kemarahan belalang daun gagah itu.
“Kalian tahu apa akibatnya kalau tidak menurut kata orang tua? Kami menasihatkan kalian untuk tidak ke sana karena kalian belum siap menghadapi dunia itu” Kata ayah Doni.
           Doni yang mendengar ayahnya tidak marah dan berkata dengan lembut berkata kalau dia juga sudah mempraktekkan nasehat kalau ada musuh harus berdiam diri. “Sayangnya kamu lupa. Tubuh kita ini berwarna hijau untuk menyamar di antara dedaunan hijau, bukan dedaunan coklat yang busuk. Kamu berdiam diri di situ malah mengundang perhatian” kata ayahnya lagi.
“Huahahahaha......” Suara tawa terdengar membahana dari kumpulan 2 jenis belalang itu. Doni dan Belly malu sekali. Sepertinya lebih baik dimarahi dari pada ditertawakan oleh belalang 2 kampung.
“Pantesan anak monyet itu malah tambah tertarik ngeliat kamu” kata Belly menimpali.
“Suatu saat nanti, kalian akan sanggup mempertahankan diri. Anggaplah hari ini sebuah pelajaran hidup untuk kalian.” Kata ayah Doni dengan bijaksana.
 “Ayo sekarang kalian beristirahat dan jangan diulang lagi” lanjut belalang daun berukuran besar itu dengan berwibawa. Kedua anak belalang itu pulang ke rumah masing-masing dengan sebuah pelajaran yang tak terlupakan seumur hidup mereka. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini