Ana

Sabtu, 09 Oktober 2010

7 Oktober 2010, Kamis : Pelatihan Menulis


7 Oktober 2010, Kamis
Hari ini aku bangun kepagian. Bangun pas sholat subuh dan gak bisa tidur lagi. Aku sudah mencoba merem dan bolak-balik di dalam selimut. Akhirnya menyerah...sudahlah aku bangun saja dan berdoa. Berdoa bukan untuk tidur lagi, tapi untuk banyak hal. Baru sadar juga kalau jaman dulu Yesus kayanya juga berdoa waktu pagi-pagi banget. Bukannya sok religius sih, tapi memang akhir-akhir ini aku jadi lebih sering berdoa. Apalagi setelah beberapa peristiwa yang tiba di hidupku.
Setelah berdoa pagi dan membaca kitab suci, aku membuka jendela. Langit masih belum terlalu terang. Udara pagi yang sejuk menyegarkan banget. AC kamarku yang memang gak terlalu dingin kalah deh oleh ademnya udara luar. Apalagi kamarku memang rada sumpek karena banyaknya barang yang tergeletak. Dari sekian banyak kamar di rumah ini, sepertinya kamar yang paling banyak isinya ya kamarku ini. Buku? Ratusan. Manik-manik? Ribuan. Baju? Puluhan. Anting-anting? Banyak juga, banyak yang gaka da pasangannya juga.
Karena kagum akan sejuknya udara pagi itu, aku juga mengamati hal lainnya, suara. Pengamatan yang lebih dari sekedar yang terlihat ini terpicu waktu aku ikut pelatihan doa hening di Parakan. Kami tidak diperkenankan bicara. Pada sebuah sesi diajarkan juga untuk menyadari segala sesuatu yang ada di sekitar kita dengan semua indra yang kita punya. Kami juga diminta sharing ke peserta yang lain. Aku sharing tentang kodok yang besar sekali. Nah, soal kodok ini mengingatkan aku kembali pada pagi ini. Di jendela kamarku yang terletak di Jakarta Pusat ini, terdengar bunyi kodok. Menakjubkan sekali! Aku gak yakin bisa melihat wujud makhluk itu. Tapi benar-benar membuat kagum. Aku sampai update status facebook atas penemuanku ini. Selain udara yang segar, ada juga cuit burung, suara kodok, bunyi keran air, suara obrolan om-om jalan pagi dan suara bajay. Orang yang tinggal di Jakarta sepertinya sudah gak perlu dikasih tau lagi apa bedanya suara bajay dengan motor biasa.
Setelah mengagumi berbagai bunyi itu. Aku langsung terpacu untuk mengetik pengalaman ini di jurnalku. Sekalian juga nambahin kenangan tentang planetarium kemaren. Sepertinya kalau aku mau memuat jurnal yang lebih berisi, harus begitu deh. Karena kalau nulisnya di hari yang sama juga, tergantung kondisi fisik juga. Kalo lagi capek, tulisannya sedikit. Kalo lagi fit, tulisannya banyak. Kalo mood, selama ini mood masih menyertai tuh. Asik² aja.
Jam 7 pagi, mataku sudah terasa lelah. Komputer aku matikan dan kemudian aku melanjutkan dengan istirahat mata alias tidur lagi. Aku tidur sampai jam 08.08. Kok bisa bangunnya pas nomor cantik? Ya bisa aja lah...kan pake alarm. Aku selalu memasang alarm di nomor cantik. Biasanya di 05.55. Kalo bangun dari tempat tidur sih gak janji di angka cantik. Di rumah, aku sudah terkenal dengan alarm terbanyak berbunyi. Tiap kali berbunyi, apalagi yang pertama, pasti aku tekan tombol ‘snoooze’. Ditunda selama 9 menit hehehe. Kok gak 10? Ya terserah gue donk mau berapa menit. Iya khan?
Hari ini niatnya aku mau anter gantungan kunci, sudah siapin tanda terimanya biar nanti cepat. Tinggal hitung dan tanda tangan aja. Masalahnya aku belum janjian, Mba Yuni juga susah dihubungi. Kalo mesti nyari dia lagi kayanya perlu waktu deh. Nanti siang aku mau ikut pelatihan menulis di senayan, lagi ada bookfair. Sebenarnya demi alasan keuangan, aku agak menghindari bookfair yang sekarang. Aku paling gak tahan kalo liat buku bagus yang didiskon. Padahal stok buku yang belum dibaca masih banyak banget, majalah juga. Aku ada beli beberapa majalah bekas, kebanyakan National Geographic dan majalah travel gitu deh. Kembali ke soal nganterin barang, jadinya aku mengurungkan niat nganter barang. Nanti aja, bikin janji dulu. Kalo dulu masih jadi buyer, aku agak sebel ama supplier yang tau-tau datang mau ketemu trus ngomong terus nawarin barang. Sekarang kan aku jadi supplier nih. Walaupun aku gak terlalu banyak ngomong tapi kan tetep aja kalo jadwal terganggu itu sudah balikin konsentrasi lagi. Aku juga gak mau bikin susah orang lah walau mungkin Mba Yuni gak sesibuk aku dulu.
Aku kemudian mengarahkan mobilku ke Jalan Gajah Mada, lewat Istana Merdeka. Kami mau ke Lion air, ngambil tiket yang sudah dibooking adikku. Adikku aku minta turun duluan ngurus tiket. Aku cari parkir. Ini juga kemajuan loh untukku, biasanya mana mau aku jadi supir gitu. Kecuali sama ortu, gak dikasih pilihan, disuruh anter ke lobby trus sendirian ke tempat parkir huhuhu...
Baru aja aku dapat parkir di sebuah tanjakan yang memerlukan perjuangan, adikku nelpon, kasih tau kalau nomor antriannya 343, sedangkan saat itu masih nomor 200an. Kebayang gak sih bakal berapa lama. Belum lagi masih segar dalam ingatan pas booking tadi orangnya entah budek ama sambungan telpon yang kurang baik, untuk ngasih tau jam keberangkatan yang dipilih aja harus ngomong berkali-kali. Bayangin kalo petugas loketnya macam itu juga. Riskan banget, ntar telat ikutan pelatihan.
Abis dari situ, kami menuju Senayan lewat Jalan Alaydrus terus ke Cideng. Jalan ini yang sering Yiyi lalui waktu dulu dia masih berkantor di Cideng. Ada bagian jalan yang ditutup. Jadi kami mengambil jalan yang lebih jauh dan akhirnya keluar di Slipi. Abis itu udah kebaca lah mau ke Senayan lewat mana.
Sampai di Istora, masih jam 13.30 an. Di tempat parkir ada tukang palak yang diiamkan saja. Para tukang palak yang memaksa minta uang paskir. Aku pas lagi berbaik hati gak terlalu ribut walau tetap mempertanyakan pungutan itu. Tapi ya sudahlah, daripada cepat tua karena tukang palak plus mocil yang tidak aman, mending kasih aja beberapa ribu rupiah.
Kami langsung mencari Ruang Anggrek tempat pelatihan diadakan. Karena belum mendaftar sebelumnya, kami datang lebih cepat. Ternyata panitianya bahkan belum datang. Ada 1 orang perempuan yang duduk di meja dekat pintu. Katanya dia juga pegawai Gramedia tapi bukan panitianya. Baru belakangan aku tahu kalau mbak ini ternyata editor di penerbit Gramedia. Dia juga ikut bicara di kelas yang aku ikutin.
Di kelas itu, sepertinya kami berdua yang datang paling cepat. Di dalamnya sih ada 1 orang mas yang duduk diam dengan tas hitam. Kami sempat berpikir kali aja yang itu pengarangnya, aku lupa juga sih nama pengarangnya siapa yang ada di brosur. Ternyata mas ini adalah petugas  yang masang infocus.
Kelas dimulai agak terlambat. Mbak Esti Kinasih yang menjadi narasumber bercerita tentang dirinya. Bagaimana kedua ortunya membuat dia gemar membaca dan sangat mendukung kegiatan membaca. Beda banget ama di rumahku hehehe... Dari kesukaan membaca dia mulai membaut cerpen yang kemudian dikirimkan ke majalah. Dia juga sempat ngantor beberapa tahun sampai akhirnya sekarang profesinya adalah menjadi seorang penulis. Aku langsung tergugah, asik banget ya....kerjaannya itu hobbinya juga.
Dia juga bilang kalau dia bukanlah orang yang bisa bekerja dengan kerangka tulisan alias ngalir aja. Aku juga kadang-kadang begitu sih. Daripada aku nulis panjang lebar mending aku buat berpoin-poin aja macam catatanku yang biasa ya....Lagian ini kan catatan buat sendiri. Jadi yang perlu diingat dan diperhatikan dalam menulis:
·         Terus membuat tulisan sepanjang waktu, tidak menyerah akan celaan orang alias tak tahu malu bermuka tembok.
·         Temukan kesenangan dalam membuat tulisan
·         Temukan gaya kita sendiri dalam menulis
·         Ide tulisan bisa muncul kapan saja dan dimana saja, mending dicatat supaya gak lupa. Bawa buku catatan kecil kemana-mana.
·         Kalau ditolak oleh penenrbit, usahakan cari tau kurangnya dimana untuk kemudian diperbaiki.
·         Menjiwai karakter tokoh yang ditulis. Misalnya menulis tentang remaja, berpikirlah seperti remaja.
·         Untuk setiap tokoh yang kita tulis, buatlah rincian tentang tokoh itu. Misalnya ciri fisik, umur, hobi, sifat, ciri khas dll deh. Taro di tempat yang mudah terlihat supaya tidak lupa dan tercampur dengan tokoh lainnya.
·         Walau kita penulis yang bersifat ‘mengalir’, lebih baik kalau kita juga punya target penulisan.
·         Royalti penulisan sebesar 10% dari harga jual. Pembayaran pertama DP sebesar 25%. Royalti dibayarkan 2 kali setahun. Untuk penjualan Januari – Juni dibayar di Agustus. Untuk penjualan dari Juli – Desember dibayar Februari.
·         Penjualan novel lebih banyak dibanding kumpulan cerpen. Karena itu otakku langsung kebayang mau bikin novel dengan ide yang banyak dan bikin sesak kepala. Ini karena kambuhnya penyakit mata duitan setelah menghitung royalti dengan harga buku 30rb hehehe....
·         Kumpulan cerpen hanya laku kalo yang menulis sudah ngetop, dengan kata lain jualan nama penulisnya.
·         Untuk memancing mood atau ide, bisa lakukan kegiatan lain yang disukai seperti nonton, jalan² dll.
·         Perbanyak kosa kata supaya dalam menulis, kata-katanya gak itu-itu aja.
·         Baca juga beberapa buku yang memberi inspirasi. Mbak Esti ngasih contoh kalo buku yang selalu ada di mejanya itu bukunya Gibran, Rumi & Tagore. Aku juga pernah baca buku-buku mereka. Bener kok membangkitkan inspirasi. Tapi ada lagi kok tulisan yang lebih membangkitkan inspirasi, ditulis oleh seorang raja agung bertahun-tahun yang lalu, Raja Salomo. Tulisan bokapnya, Daud, juga keren kok. Semua tulisan penuh inspirasi itu ada dalam sebuah buku, Alkitab. Sepertinya memang sudah layak dan sepantasnya kalo buku terlaris sepanjang masa itu jadi penghuni mejaku.
·         Syarat pengiriman naskah ke penerbit Gramedia: dicetak pada kertas A4, 150 – 200 halaman, Times New Roman 12 pt (atau huruf lain yang tidak melingkar), 1,5 spasi, dijilid plus nomor halaman, ada sinopsis dan bio data, ditujukan ke redaksi fiksi / non fiksi (alamatnya liat di balik buku terbitan Gramedia.
Begitulah kira-kira yang aku dapat dari pelatihan ini, tinggal prakteknya aja. Ide awal sih sudah membayang di kepala, baru jadi beberapa baris dan coretan aja. Semoga makin lancar ya....teringat akan ucapan seseorang, kalau kita tidak menggunakan talenta yang diberikan untuk kita, berarti kita berdosa. Hiiiii.....tatutt....
            Kami mendapatkan sertifikat tanpa nama berwarna kuning. Bingung juga sih, kok gak ada namanya. Tapi bersyukur juga, kali aja ini bisa jadi referensi dalam hal tulis menulis. Iya tho?
            Mumpung masih di situ, kami jalan berkeliling melihat-lihat buku. Sepertinya sudah pernah aku ketik di jurnal ini deh kalo aku lagi mengurangi beli buku karena yang ada aja belum pada kebaca. Belum lagi yang minjem dari perpustakaan. Kayanya ada obsesi aneh untuk menandatangani setiap buku (tentu saja karena sudah jadi milikku), dan menandai setiap buku perpustakaan dengan nomorku, 928. Ini penyakit bukan ya?
            Selain buku yang dijual, ada juga buku yang dipamerkan dari beberapa perpustakaan. Aku dan Yiyi mampir di stand perpustakaan Kalbar & Kaltim untuk melihat-lihat. Yang di Kaltim sempat ngobrol sebentar pake Bahasa Banjar.
            Setelah berjalan-jalan dan membongkar-bongkar buku, kami meninggalkan tempat itu untuk menuju ke lapo di sekitar senayan juga. Walau jaraknya dekat, perjalanan menuju ke situ tersendat karena macet berat. Aku memutar balik mobilku dankami menuju lapo lain yang letaknya tidak jauh dari rumah. Lapsito di Jalan Pramuka.
            Malemnya latian nyanyi di gereja barenga ama PS Pemuda.

6 Oktober 2010, Rabu : Planetarium


Hari ini aku bangun cukup pagi, tapi ketiduran lagi hehehe...Baru bangun lagi jam 7 lewat gitu deh. Sarapan pagi dan langsung berurusan dengan komputer. Kirim cerita ke Majalah Bobo. Kirim email foto produk ke teman-teman sekalian jualan. Bikin cerita baru tentang capung, payung dan....kecoak. Yang kecoak belum kelar juga sampai sekarang. Terhenti di tengah jalan karena rada jijay hehehe...Hari ini juga niatnya aku mau bikin tulisan pendahuluan untuk Tiwah yang lagi ada di Kalimantan Tengah, buat di webnya DYC.
Setelah mata lelah, aku istirahat sebentar. Baru sadar juga kalo perut lapar. Tadi pagi cuma makan salad kentang sedikit. Lapernya itu sampe perutnya bunyi segala. Jadi malu hehehe...
Yaya kirim foto menu makan siangnya hari ini, kaledo. Kaledo itu makanan yang aku kekanl di Palu. Kaledo = kaki lembu donggala. Makanan ini memang bahannya sebagian besar dari tulangan kaki lembu dengan sedikit daging yang melekat dan sumsum di dalam tulangnya. Makanan ini berkuah asam berkaldu. Enak banget deh,,,aku suka banget. Cara makannya kalo di Palu pake singkong, pake nasi juga bisa sih. Kata Yaya, kaledo yang ini rasanya hampir sama seperti kaledo yang asli. Segar. Kami semua jadi ngiler. Mamah malah berencana mau nyobain besoknya.
Sorenya aku ke planetarium sama adikku Yiyi. Ide ini awalnya cuma dari asal ngomong yang bersambut. Senang juga ada orang lain yang punya minat sama. Kami niat banget ke sananya. Waktu berangkat, langit mendung. Tiba di sana? Hujan lebaatttt banget, udah kaya badai. Kebayang deh pasti di beberapa daerah di Jakarta ini macet berat karena hujan. Kami turundari mobil pake payung sahabat anak yang memang menghuni mocilku. Parkirnya gak terlalu jauh dari pintu masuk.
Tiba di sana, sudah banyak anak-anak kecil yang tampaknya masih SD. Seragamnya batik hijau putih dan bawahan putih. Anak-anak itu bertebaran di aneka penjuru ruang tunggu itu. Kami langsung menuju loket untuk membeli karcis. Karcis untuk dewasa harganya Rp 7000. Itu aja katanya sudah naik. Okelah kalo begitu. Antriannya pake tempat duduk berbahan logam dengan tulisan ‘planetarium jakarta’. Tulisannya dibentuk dari lobang-lobang kecil di kursi itu. Sembari menunggu kami melihat-lihat papan informasi yang dipajang di sana smabil ngobrol. Setelah papan informasi dibaca semua sedangkan pintu teater belum dibuka, kami menunggu di kursi biru bolong-bolong.
Mina An minta dikirimi foto barang dagangan. Aku baru bisa kirim yang pas barangnya kebetulan bawa dan sepertinya cocok dengan eventnya.
Kami nanya ke satpam bernama Rossy  juga mengapa pintu teaternya belum dibuka. Katanya lagi ada kunjungan dari entah siapa aku gak jelas juga, tapi mereka mau ikutan kegiatan apa gitu deh di luar negeri. Walaupun gak tau entah siapa, tapi kalau mewakili Indonesia tetap dapat restu deh....gudluck yaw.
Akhirnya tibalah waktunya masuk ke dalam teater. Aku sangat bersemangat. Mungkin mukaku sama cerianya seperti anak-anak kecil yang ikutan masuk juga. Kami memilih tempat duduk di tengah teater, kakinya bisa selonjoran. Kursi teater itu berwarna merah. Bagus dan empuk. Gak kalah ama 21 deh. Karena kagumnya, aku jadi berniat mau foto-foto pake kamera poketku. Sayangnya (atau untungnya) kameraku itu lowbat. Memotret pakai blitz ternyata tidak diperkenankan, lagian kan mengganggu orang. Tapi...tak lama kemudian, tak jauh dari situ, sekelompok cewe malah asyik foto-foto pake kamera gede, pake blitz tentunya, di dalam kan gelap. Wah mengganggu banget deh....Cewe yang bawa kamera itu mukanya rada mirip perempuan mantan pacarnya mantan pacarku (ribet amat). Berwajah agak ndeso, berkulit gelap dan sepertinya suka memotret. Perempuan gak cantik ini juga jadi model di beberapa foto bangunan tua yang malah terlihat seperti (maaf) kuntilanak. Perempuan ini juga kurang bisa menempatkan diri, sok kenal, dan sok tau suka menggurui. Padahal kenal aja nggak dan ternyata dia juga gak lebih baik dari aku. Dan sialnya, mantan pacarku itu selalu membela perempuan ini hehehe....front pembela perempuan bermulut embher hehehe...Nah, sosok di planetarium ini juga mengingatkan aku akan hal itu. Pake blitz seenaknya kan mengganggu orang. Kurang bisa menempatkan diri deh. Aku sempat ngerasa, apa ini cuma sentimen pribadiku aja kali ya karena teringat pada kenangan tidak menyenangkan. Tapi kayanya gak juga deh. Gak lama kemudian ada pengumuman juga kalo tidak diperkenankan untuk menggunakan peralatan yang mengeluarkan cahaya seperti HP apalagi kamera dengan blitz.
Daripada ngomongin orang, ngomongi kejelekannya pula, mending  ngomongin hal yang lain deh...misalnya gedung ini.
Gedung planetarium berkubah berbentuk setengah bulat. Setengah bulatan itu yang menjadi ‘layar’ untuk film yang kami tonton. Gedung ini sepertinya belum lama direnovasi. Waktu terakhir ke sana, gedung ini terlihal lebih ‘jadul’, sekarang sudah modern banget. Ac di dalam teater dingin sekali. Kubah setengah bulatan itu terdiri dar beberpaa panel yang disambung. Panel paling atas berbentuk lingkaran, kemudian melebar di bagian bawah sampai berbentuk bulat. Tempat duduk kami menghadap ke selatan, dengan petunjuk berupa huruf ‘S’ di atas pintu. Arah selatan adalah arah yang paling gampang dibaca pada pelajaran peta buta, atau dalam peta manapun. Singkatannya sama aja dalam Bahasa Indonesia maupun Inggris, S. Pintu timur di samping kanan kami.
Setelah kami semua duduk, langit menjadi gelap dan bintang-bintang bermunculan. Walaupun hanya penampakan, bintang-bintang itu membuat aku sangat tersentuh. Selama di Jakarta ini rasanya gak pernah liat bintang sebanyak itu, padahal katanya bintang seperti itu adalah posisi tepat di atas langit Jakarta. Mas yang membawakan acara bilang kalo di Jakarta sudah kebanyakan polusi, polusi udara dan cahaya yang membuat bintang nun jauh di sana makin pudar cahayanya.Terakhir aku melihat bintang-bintang bertaburan banyak sekali pas pulang ke Palangkaraya bulan lalu. Waktu  itu aku baru pulang dari kaka pembuat kecapi di rumahnya yang berjalan gelap itu. Waktu melihat ke langit....wooowwww.....keren banget. Jadi teringat waktu kecil dulu.
Waktu kecil dulu, di Palangkaraya, aku dan kakakku Heru sering keluar di malam hari dan berbaring di meja pingpong. Kami sama-sama melihat langit. Entah apa yang menjadi awal kami sering berbuat macam itu. Waktu liburan ke Jakarta, kami ada membeli peta rasi bintang di langit. Peta itulah yang ikut menemani petualangan kami. Kami sering mencocokkan dengan yang kami lihat. Kalau ketemu yang cocok, wah rasanya senang sekali. Yang aku ingat paling gampang nemuinnya, 3 bintang berderet itu loh. Kalo gak salah namanya waluku ato orion. Ntar cari tau lagi deh.
Minat akan astronomi makin terpendam dengan bertambahnya umur. Apalagi aku pindah ke Jakarta waktu SMA. Makin gak ada penyaluran, aku juga gak mencari tau lagi. Selama tinggal di kota ini, aku baru 3 kali ke planetarium. Pertama waktu kecil dulu. Kedua sudah agak gede sama adikku. Ketiga ya hari ini. Ynag paling niat yang hari ini. Dulu sama teman-teman kuliah juga pernah mau ke planetarium tapi gak jadi terus sampai akhirnya kami lulus dan jarang ketemu lagi.
Minat itu sepertinya agak tersalurkan dengan kesukaanku nonton film tentang luar angkasa. Walau banyak yang gak suka di rumah dan sering diganti oleh orang lain yang menguasai remote TV. Aku suka nonton Startrek & Starwars. Kalo Startrek, karena film seri, aku sering kalah set dengan yang lain. Kalo Starwars, aku bisa nonton sendiri pake VCD ato DVD. Aku malah punya VCD Starwars 3, 4, 5. Waktu itu sepertinya belum jaman DVD. Gak seperti para perempuan pada umumnya, aku gak cuman tertarik dengan petualangan Putri Amidala dan brondong gantengnya, anakin. Aku suka imajinasi tentang negeri dan makhluk lain di luar bumi. Hebat sekali. Juga dengan para ksatria Jedinya. Salut untuk Om George Lucas.
Kembali ke planetarium. Tayangan berlanjut tentang galaksi dan planet. Dari dulu aku selalu hapal nama ke-9 planet di tatat surya kita. Baru-baru ini aja si Pluto dipecat dari keluarga, jadi planet kerdil. Entah apakah dia punya teman ato nggak. Kebayang gak sih, tinggal di planet lain yang bulannya gak cuman 1. Misalnya Jupiter yang punya 63 bulan. Apakah langit malamnya terang benderang atau malah buram karena udara berkabut terus? Makin dipikir makin penasaran deh yang kaya gitu. Itu baru 1 planet. Kayanya semua planet beda-beda. Terus di semesta ini banyak sekali tata surya seperti matahari dan planet-planetnya. Jadi berasa makin kecil karena taunya cuman sebatas gini.
Yang seru, waktu ceritanya kami semua jadi astronot, naik ke pesawat luar angkasa dan terbang ke angkasa. Layar setengah bulat bergerak seakan kamilah yang bergerak. Anak-anak kecil pada bertepuk tangan senang, aku juga sih hehehe.....senang sekali rasanya. Dan tibalah kami di luar angkasa. Kami melihat tata surya dari sudut pandang yang lain. Diceritakanlah tentang matahari danplanet-planetnya itu. Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto. Diceritakan juga tentang komet. Menarik deh pokoknya pertunjukannya. Aku suka. Kalo lagi suntuk ke sini aja dah, cocok banget. Keluar dari situ bawaannya senang. Mbak bertampang ndeso yang nenteng kamera gede dan memotret pake blitz itu tak kuasa merampas rasa senangku.
Keluar dari teater, langit masih menumpahkan banyak air hujan alias hujan lebat. Aku langsung pingin mencari kehangatan sebelum melanjutkan perjalanan. Aku mengajak adikku untuk nongkrong di dekat situ. Di TIM banyak juga yang menjual makanan. Dulu sih seingatku jual gerobakan gitu tapi sekarang bangunannya sudah permanen. Terbayang olehku kuah bakso yang panas akan menemani sore itu nyam nyam nyam.....yummy.
Kami melintasi lapangan parkir dengan sebuah payung bertuliskan ‘sahabat anak’. Payung ini adalah payung cadangan di mobilku. Kami berjalan sambil bercerita tentang semut dan keponakan kami Azarel yang lucu. Azarel ternyata punya hobby memencet semut yang lewat. Sadis juga itu anak. Habis memencet semut, mukanya terlihat sangat bahagia hehehe...
Setiba di ‘pulau seberang’ (kami kan bagaikan 2 orang raksasa yang melintasi lautan kalau dilihat dari mata semut), kami langsung berjalan perlahan membaca menu makanan dan minuman dari ujung ke ujung. Akhirnya kami menentukan pilihan juga di sebuah warung yang menjual bakso dan soto. Aku langsung berubah pikiran begitu melihat wedang jahe tertulis di menu. Aku jadinya pesan wedang jahe. Memang yang aku cari dari tadi bukan menyembuhkan lapar, tapi cari kehangatan. Yiyi pesan soto dan wedang jahe. Wedang jahenya unik, pake jahe beneran yang dikeprek, ditaro dalam gelas trus dikasih gula merah.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Kwitang. Aku ada rapat ngurusin acara lingkungan 1. Yiyi sebenarnya gak ikutan, tapi kalo nganterin dia pulang dulu  bakal telat nyampe gereja. Mau disuruh pulang sendiri kasian juga. Pasti jalanan macet. Naik bis basah, naik taksi bakal mahal. Banyakan ngebayar ‘parkir’nya aja.
Setiba di gereja, teman yang lain belum pada datang. Kami ke toko buku dekat situ dulu, BPK Gunung Mulia. Toko ini lagi ada promo diskon cukup besar. Yang didiskon hampir semua barang. Aku sih numpang baca aja, udah kebanyakan beli buku, belum pada kebaca. Buku yang didapat dari promo gramedia aja belum semuanya aku baca. Belum lagi buku pinjeman perpus. Lagian mesti ngirit juga, masih ada keperluan yang lebih penting dari ini. Akhirnya aku beli juga sih, beli majalah, signagenya Rp 5000. Pas nyampe kasir harganya cuman 3000 hehehe....
Rapatnya gak terlau lama. Aku sudah kirim laporan sebelumnya ke Pak Ketua. Kali ini aku jadi koordinator seksi acara. Yang dibahas sudah tinggal dikit, karena mau bahas lagi harus menunggu hasil survey. Surveynya hari sabtu ntar. Ngumpulnya di rumahku pagi-pagi.

5 Oktober 2010, Selasa : Awal Cerita Serangga

5 Oktober 2010, Selasa Bangun pagi aku sudah punya niat mau bikin cerita anak tentang belalang daun. Entah mengapa datang kesadaran kalau serangga itu sebenarnya banyak sekali di sekitar kita. Apa karena abis digigit nyamuk juga kali ya...Kebayang gak sih kalo gmana pikiran mereka yang kecil-kecil itu kalo ktemu makhluk besar kaya kita. Kalo mereka punya akal yang sama seperti kita, bisa jadi ada film Jurassic Park juga di teater² kecil. Hari ini juga hari TNI di Indonesia. Dulu-dulu aku cukup antusias pingin tau apa yang dipamerkan prajurit TNI tiap ultah. Aku paling suka atraksi di udara, pesawat dan terjun payung. Kayanya asik banget. Sampai sekarang aku masih bercita-cita untuk terbang. Tapi akhir-akhir ini aku agak jarang ngikutin. Apalagi hal-hal tentang perlengkapan militer itu hanya mengingatkanku pada seseorang yang.... (gak usah ditulis ahh). Hari ini juga ternyata adalah hari guru sedunia. Wow...ada juga ya hari guru. Aku taunya dari twitter. Aku orang yang punya penghargaan cukup tinggi untuk guru. Mungkin karena aku suka baca kali ya....Aku masih ingat siapa yang mengajari aku membaca, namanya Bu Abel di SD Katolik Sampit. Kalau anak-anak jaman sekarang atau yang aku temui diajari membaca oleh orang tuanya, aku tidak. Gak tau deh kenapa. Mereka sibuk kali ya.....Duluuuu banget, aku pernah bercita-cita jadi guru. Teman-teman lain biasa deh, pingin jadi insinyur dan dokter. Aku juga pernah pingin jadi pilot karena suka terbang. Tapi jadi guru itu masih pingin juga sampai sekarang. Kadang-kadang aku ikut ngajar anak jalanan di Senen juga untuk menyalurkannya. Memang sih kalo punya cita-cita jadi orang kaya, jadi guru bukanlah jalan yang tepat, apalagi di Indonesia ini. Guru juga sering demo untuk minta kenaikan penghasilan. Sebenarnya aku jarang mau baca berita tentang demo lagi, tapi kalo tentang guru seringkali tetap terbaca. Prihatin. Hari ini rencana mau fotoin produk tertunda lagi. Aku nyari jadwal pameran dulu. Kebanyakan yang kasih info malah bikin bingung. Ada yang sms, nelpon, email, pake facebook. Mau kasih jawaban juga bingung kan? Ntar kasih jawaban oke di tempat lain, yang lain juga oke. Jadi semuanya aku rekap dulu, baru dipilih-pilih. Follow up jual gantungan kunci di kolportase gereja lanjut lagi. Kalo yang ini aku gak mau menyerah hanya karena yang tugas di sana jarang hadir dan gak serius ngurusi. Itu kan gerejaku juga. Kalo bisa dibuat lebih baik kenapa harus bertahan ama yang gak baik? Sore, dapat kabar kalo Yaya gak enak badan. Meriang agak demam. Aku yang lagi suntuk dengan jadwal dan tagihan langsung inisiatif mau pergi jemput. Sekalian menyegarkan mata yang seharian di depan layar komputer dengan cerita dan angka. Aku pergi sama Yiyi naik mocil. Perjalanan ke kantor Yaya di Tebet agak tersendat di Saharjo. Di saat macet gini, aku liat-liat situs berita. Pak Beye presiden kita yang bertubuh besar itu gak jadi pergi ke Belanda. Alasannya waktu itu aku blum tau. Kayanya aku cuman baca judulnya aja deh. Dan ternyata sang mantan jendral itu takut mau ditangkap RMS? Berita ini sudah gak aku cari tau lagi ujung pangkalnya. Yang tadi itu juga taunya dari orang. Halah...takut nih critanya? Sangat menyebalkan berurusan dengan pria penakut. Rasanya kenal 1 orang saja sudah lebih dari cukup. Mendingan aku gak usah sengaja cari tau deh tentang bapak bertubuh besar yang hari ini ke Halim itu. Yaya keluar kantor dengan tampang lemas, pake syal. Dia duduk di bagian belakang mocil. Adikku yang 1nya berbadan lebih besar dan agak susah bergerak. Lagian kalo Yaya emang kurang fit, emang mending duduk di belakang, bisa tiduran. Kami mampir di roti cane Kubang dulu, beli cemilan. Kami mau ke rumah Mamah Hawun di Pulomas. Adikku Yiyi mau pinjem internet. Internet di rumah lemot berat, sampe mau pingsan rasanya kalo nungguin. Biasanya kalo mau buka email aja aku sambil ngetik yang lain biar waktunya gak kebuang. Apalagi kalo ide cerita kepenuhan di kepala. Tiba di rumah Mamah Hawun, kami langsung naik ke kamar atas, udah kaya rumah sendiri. Ngemil roti cane dilanjutkan segera. Aku pake internet duluan, ngupdate webnya DYC. Udah cukup lama gak diupdate. Aku juga nyari info NGI. Sebel juga tuh. Baru tau ada lowongan penulis freelance baru tau hari ini, padahal penutupannya kemaren. Huhuhu.....sayang banget. Padahal aku suka banget ama NG. Kalopun jarang beli majalahnya, bukan karena gak suka, tapi karena mahal. Kalo nonton NG di TV? Sering banget. Sepertinya hampir selalu nonton itu kalo di depan TV. Apalagi kalo tv lokal isinya gosip semua. Kalo dari persyaratannya, umurnya doank sih yang gak cocok. Ada 1 lagi sih, bisa memotret. Aku pernah ngerasa gak bisa memotret waktu lagi dekat dengan seseorang yang bisa memotret. Rasanya pengetahuanku cemen banget. Tapi langsung pulih setelah baca tulisan seorang fotografer ngetop, Arbain Rambey di Kompas. Memotret itu tidak harus dengan kamera canggih, kalau untuk nilai berita bisa dengan kamera apa saja, pake kamera HP pun oke. Okelah kalo begitu om. O iya 1 lagi yang aku ingat, gak perlu mementingkan teknik seperti yang selalu dikejar para fotografer pemula. Kayanya ini waktu si om itu ngomentarin foto-foto jugun ianfu yang kebanyakan kaya pas foto para perempuan sepuh. Teringat kejadian lalu waktu ada komentar sok tau dari seorang yang....ah sudahlah. Makin sebal kalo ingat peristiwa itu. Yang jelas dia fotografer amatiran yang sothoy. O iya, di rumah Mamah Hawun aku gak lama-lama. Setelah melahap salad kentang dan minum teh botol kotak, aku meluncur ke gereja. Ada rapat semuger. Aku gak mau telat karena aku yang mengundang. Rapat kali ini mau biacarain acara tgl 10 nanti. Senang juga ngeliat teman-teman cukup bersemangat ngurusin event ini. Sayangnya ada beberapa orang yang kesannya tidak peduli padahal sangat diperlukan. Susah juga kalo kerja di gereja, sepenuhnya mengandalkan komitmen. Padahal gak semua orang punya komitmen yang sama. Malamnya aku ngetik beberapa hal yang perlu diketik. Bikin event di facebook, mengundang utk datang tanggal 10. Ada yang langsung confirm 2 orang. Lumayanlah....

Rabu, 06 Oktober 2010

4 Oktober 2010, Senin : Batik, Cawan & Teko

4 Oktober 2010, Senin Hari ini aku mau melanjutkan usaha menjual batik dan gantungan kunciku. Sepertinya lebih baik aku juga jual di internet. Beberapa waktu yang lalu waktu ke Smesco, juga ada yang nawarin penjualan online, plasa.com. Mau foto-foto barang trus ntar register. Selain itu kalo mau nawarin ke perorangan juga jaman sekarang sepertinya lebih praktis pake internet. Banyak orang jaman sekarang yang sudah kecanduan internet. Tiada hari tanpa internet, dibantu pula dengan gadget bernama buah itu. Sebelumnya aku cuman jualan di facebook dan kaskus. Yang kaskus sudah lama gak keurus, aku kayanya lupa passwordnya juga. Yang facebook? Kalo ini alasannya agak sentimental. Rasanya masih agak sedih waktu tau kalo aku diblock oleh orang yang dulu pernah dekat. Diblock di facebook ama twitter. Walaupun aku selalu berkata pada diri sendiri kalau eksis di facebook atau twitter itu gak penting, tapi tetep aja rasanya gimana gitu.... Untuk foto-foto, aku terbatas oleh kamera jadulku yang kualitasnya gak bagus dan sering mati sendiri. Belum lagi oleh rasa malasku karena badan sudah lelah kemarin itu. Huff...Hari ini pun proses pemotretan terpaksa aku tunda karena kameraku lowbat terus. Aku ke bank sebentar bayar kartu kredit. Langsung ke bank penerbitnya biar cepet. Kalau lewat atm konon kabarnya perlu proses 2 atau 3 hari. Habis dari situ rencananya aku mau membereskan urusan sarung yang aku titipkan jual ke teman-temanku. Waktu itu memang aku memberi kelonggaran untuk dibereskan setelah lebaran, sampai sekarang belum beres. Bahkan ada yang gak bisa dihubungi. Dari dulu aku memang agak segan berbisnis dengan teman, takutnya hubungan kami jadi komersil. Belum lagi kalau gak beres malah merusak hubungan baik. Semoga yang kali ini baik-baik saja deh.... Urusan sarung belum bisa dibereskan. Kedua temanku itu hanya 1 yang memberi kabar. Itupun dia lagi di luar kota. Yang 1nya entah dimana dan bagaimana. Bener deh jadi segan juga rasanya kok kaya tukang tagih, tapi kalau nggak kan mandek duitnya. Adikku Yiyi lagi mau mencari perlengkapan perjamuan kudus di beberapa toko rohani Kristen. Aku bersedia nemenin dan nganterin, sekalian cek harga. Kalo bisa juga nanya² cara supply ke sana. Aku beneran emang harus memperluas bisnis ke toko besar supaya tidak diremehkan dan gak dipaksa jadi PNS lagi. Wish me luck.... Toko pertama yang kami kunjungi adalah Immanuel. Toko di pojokan Jalan Proklamasi dan Tambak itu kami capai dalam waktu cepat. Sempat ragu untuk jalan masuknya. Setelah diingat-ingat, sepertinya kalau lagi macet di Jalan Tambak sering ada mobil yang keluar dari Immanuel. Teringat karena bikin macet nambah parah. Di Immanuel, parkir mocil yang kecil cukup gampang, nyempil dekat dinding. Perlengkapan yang kami cari langsung terlihat. Yiyi langsung menuju ke sana dan cek harganya. Wowww.....mahal sekali. Kami melanjutkan dengan melihat-lihat yang lain. Aku tentu saja melihat-lihat buku. Dengan beberapa buku yang aku beli di Gramedia dan belum terbaca, aku mengurungkan niat untuk emembeli beberapa buah buku. Aku melihat pernak-pernik saja untuk bandingin harga. Dari situ, kami menuju toko rohani Kristen lainnya, Obor. Untuk menuju toko yang ada di Jalan Gunung Sahari itu, kami melewati sekolah adikku dulu, St Ursula. Sebenarnya baru mendekati sih, tepatnya kami melewati Lapangan Banteng yang kemudian mengambil jalan di depan Hotel Borobudur. Dari situ baru menuju Jalan Gunung Sahari. Yang terkenal dari Toko Obor adalah bakso yang dijual di depannya. Bakso ini sepertinya mengandung sesuatu yang tidak dinyatakan halal oleh umat beragama lain. Toko Obor terdiri dari 3 lantai. Lantai 1 buku. Lantai 2 perlengkapan rohani. Lantai 3 peralatan misa. Kami menuju lantai 3 karena kami berdua berpikir kalau cawan dan tekonya itu adalah perlengkapan Ekaristi di misa Katolik. Sampai di sana, kami langsung ditanyai mau cari apa. Aku langsung menjawab “cawan”. Setelah mengamati, ternyata benda yang kami cari tidak ditemukan di lantai itu. Barulah kami tersadar, di misa Katolik sepertinya tidak ada penuangan anggur dari teko. Kami menuju lantai 2 di bawahnya. Yiyi memencet lift. Aku turun pakai tangga. Yiyi akhirnya ikut pakai tangga juga. Di lantai 2 dijual rosario, patung dan salib. Di lantai ini kami juga tidak menemukan apa yang kami cari. Kami turun lagi ke lantai 1 menggunakan tangga. Lantai ini berisi buku-buku. Di lantai ini kami beredar cukup lama. Seorang bapak menegurku. “Cari apa dek?” tanyanya ramah. “Liat-liat aja kok pak...” Jawabku tak kalah ramah. “Adik sekolah di mana?” tanya bapak itu lagi. Mungkin dia pberpikir aku anak sekolah di sekitar situ. “Saya sudah lulus sekolah kok pak” Jawab saya lagi sambil berlalu dan mengangguk ke bapaknya. Hikmahnya, adalah dikira lebih muda dari umurnya hehehe....Bapak ramah ini mengalihkan perhatiannya ke ibu yang lain. Sebagai orang yang pernah bekerja di toko retail, kita memang wajib ramah kepada semua pelanggan. Kadang ini adalah perjuangan karena ada kalanya kita merasa kesal atau bete, dimana bersikap ramah sangat susah. Tapi ternyata itu bisa dilatih kok. Kalau gak bisa akting macam aku ini, yang dilatih adalah reaksi menghadapi segala sesuatu. Segala sesuatu bisa mmebuat kita bete kalau memang kita ijinkan. Kalau gak diijinkan, ya jadinya seperti angin lalu saja...alias biasa saja dlaam menghadapi masalah. Aku yang dulu sepertinya lebih jago dibanding aku yang sekarang ini, malah sering terbawa emosi, terutama emosi sedih. Kembali tentang bapak yang tadi, beberapa orang yang aku kenal malah menganggap orang yang terlalu ramah seperti itu rese. Dulunya aku juga beranggapan kaya gitu. Mungkin karena aku sering diabaikan kali ya, jadi kalau ke dept store ada pramuniaga super ramah yang kebanyakan ngoceh malah gak jadi beli. Tapi, setelah bertahun-tahun di retail, justru penjualan paling banyak kalo pelanggan disapa ramah gitu. Apalagi kalo jual barang elektronik. Jual peralatan dapur yang targetnya ibu-ibu, memang harus kita duluan yang ngoceh. Jual auvi gitu juga, kalo ini ke bapak-bapaknya. Di luar itu semua, aku tetap salut dengan bapak di Obor itu. Dari Obor, kami ke BPK Gunung Mulia. Toko ini memasang spanduk sangat besar di depannya. Sale 70%. Aku dan adikku Yiyi pernah datang ke toko itu sebelum tanggal mulai promosi. Alhasil, buku yang kami beli gak ada diskonnya. Waktu itu aku beli Alkitab saku bersampul jins. Sengaja aku beli untuk kalau lagi jalan-jalan keluar kota. Gak terlalu makan space dan gak terlalu berat. Kami melihat-lihat buku lain di toko itu beberapa jenak. Memang semuanya ada diskon. Yang paling murah 70%, dipajang di pelataran. Habis dari situ kami ke Cempaka Mas, bernniat mau cari taplak meja. Kami menuju bagian kain meteran karena gak tau tempat jual taplak di seblah mana. Di antara toko-toko kain itu kami tidak menemukan 1 pun toko yang menjual taplak meja. Aku menyarankan adikku ke hypermarket di lantai bawah saja. Di tempatku bekerja dulu, kami juga menjual taplak meja, 1 departemen dengan bantal, guling dan kasur. Malamnya rapat dengan bidang persekutuan di gereja. Aku mewakili semuger. Aku sudah datang tepat waktu, tapi banyak yang telat. Yang gak datang banyak juga sih. Di rapat ini dirayakan juga ultahnya Pak Guruh, pake potong kue, Breadtalk, enak juga. Abis itu pulang duluan. Rapatnya melelahkan walaupun gak ngapa-ngapain. Jubir semuger juga si Om Harry, bukan aku. Mungkin karena ngomongin banyak hal yang menurutku gak perlu diomongin kali ye....

Selasa, 05 Oktober 2010

1 Oktober 2010, Jumat : Memulai Kembali

1 Oktober 2010, Jumat Aku baru memulai kembali menuliskan jurnalku yang telah lama terlupa. Sepertinya aku mulai absen menulis sejak sering kali keluar malam waktu jadi panita paskah trus langsung main dengan pacarku. Memang saat itu waktu tidak terasa samapai akhirnya baru sadar kalau sudah hampir tengah malam dan harus pulang. Sampai di rumah sudah kelelahan, apalagi sudah ganti tanggal. Gak afdol rasanya kalau menuliskan tanggal tapi sudah ganti tanggal. Aku mulai menulis lagi setelah pulang dari perjalanan ke Kalimantan. Kampung halamanku yang sangatt kaya sekali tapi sedikit terdokumentasi. Mungkin karena orang Dayak tidak punya aksara kali ya....Buku-buku juga tidak terlalu banyak. Beberapa buku informasi tentang Kalimantan ditulis oleh keluargaku juga, oleh Bue dan Mama Igak. Yang artinya aku juga sudah tau beberapa isinya dan itu rasanya masih kurang untuk mendeskripsikan Kalimantan yang luas itu. Beberapa buku lain ditulis oleh bule. Banyak sekali orang yang menyayangkan mengapa buku-bukunya malah ditulis oleh bule. Mengapa Orang Dayak tidak ada? Tapi yang mempertanyakan hal itu juga kebanyakan cuman bisa nanya doang, tidak berbuat sesuatu juga. Aku sendiri bertekad mau menulis tentang tempat kelahiranku itu. Menulis dalam bentuk apa saja. Entah cerita, entah essay. Kebanyakan mikir malah gak jadi-jadi. Seharusnya...semestinya....kenapa gak begini....kenapa gak begitu.....Jalan pikiran para tukang kritik yang biasanya justru tidak bisa menghasilkan apa-apa. Asli deh, secara sadar aku gak mau jadi orang yang kaya gitu. Kalo secara gak sadar, gak tau deh. Aku jadi makin terpacu untuk nulis setelah baca buku yang aku pinjem di perpustakaan gereja. Ada 2 buku. Yang pertama cerita anak-anak. Yang kedua kumpulan tulisan harian di blog Pdt Ayub Yahya. Jadi tersadar juga kalau aku sendiri sebenarnya bisa berbuat untuk membuat seperti kedua buku itu. Aku suka membuat cerita anak dan (pernah) membuat catatan harian setiap hari. Klop kan? Kalau membuat cerita anak, itu sebenarnya bukan hal yang disengaja. Masa kecil di Kalimantan dengan adik yang gak mau tidur kalau kakaknya gak cerita membuat aku harus memaksa diri membuat cerita dengan tokoh yang ada. Adikku itu suka dengan gambar ilustrasi dari sebuah buku tentang penghuni hutan dan tiap hari minta kakaknya untuk cerita. Walah...kakaknya sampe bosan dan akhirnya kreativitas datang berkunjung dan tak mau pergi. Sejak aku punya adik, aku jadi merasa jadi anak besar. Aku jadi suka anak kecil sampai sekarang. Sayangnya Tuhan belum mengijinkan aku punya anak padahal teman-teman seumuranku sekarang hampir semua sudah punya anak, bahkan ada yang sudah punya anak 3. Lagian gimana mau punya anak, punya suami aja belum. Untuk catatan harian? Aku memang sering buat dari dulu. Jaman dulu banget pake tulisan tangan beneran di diary itu. Tulisanku yang besar-besar sering membuat diary bagus nan wangi itu tidak indah, jadilah aku memakai buku tulis biasa yang kucel. Apalagi dulu itu yang aku tulis sering tentang yang jelek-jelek. Bertahun-tahun aku sering merasa hidup ini tidak adil. Bahkan aku merasa orang tuaku pun tidak adil pada anak keduanya yang perempuan ini. Tapi itu dulu. Sudah beberapa tahun ini aku mengubah caa pandangku yang membuat aku masih bisa tersenyum atas semua kejadian. Bahkan macetnya Jakarta pun tidak berhasil membuatku frustasi seperti jaman dulu. Pdt Ayub Yahya adalah seorang pendeta GKI. Aku tau kok kalo dia sudah nulis beberapa buku. Ini buku pertamanya yang aku baca. Aku memang suka membaca dan rasanya baru setahun belakangan ini aku mulai mmebaca tulisan para pendeta. Kalau dulu kebayang kalau tulisan para pendeta pasti isinya serius dan berat. Kurang cocok untuk bacaan sambil menunggu di ruang tunggu. Tapi ternyata salah. Awalnya dulu dari membaca buku khotbahnya Pdt Raprap, gokil abis. Sama kaya blognya Pdt Ayub ini, isinya rinagn dan manusia biasa banget. Pendeta yang sering kena flu ini juga menulis kegiatan hariannya sama seperti aku. Lewat buku ini juga aku tergugah untuk memulai menulis yang memang pantas dibaca oleh orang lain. Biasanya jurnalku isinya betul-betul rahasia yang jarang aku bagi ke orang lain kecuali memang yang terlibat di dalamnya. Hari ini aku awali juga dengan semangat baru dalam usaha dagangku. Aku mau fokus di gantungan kunci bentuk salib dan keperluan Natal, pernak-perniknya. Sempat agak merasa bersalah juga tadi pagi, kok Natal dijadikan komoditas bisnis. Selama aku kerja di perusahaan retail itu, Natal juga telah lama masuk dalam kalender promosi kami. Untuk kategori barang yang aku pegang, imbas Natal tidak terlalu besar. Mungkin malah lebih besar di tahun baru. Sepertinya hal itu cukup mengurangi rasa bersalahku menggarap tema Natal mengingat Natal yang pertama kali di dunia justru dalam suasana sederhana dan merana. Tapi di sisi lain, keriaan Natal telah berjalan bertahun-tahun. Aksesoris Natal yang mahal membuat tidak semua orang bisa ikut merasakan. Selain pikiran (sok) mulia, otak bisnis juga berputar tanpa disuruh bekerja. Mulailah aku menawarkan barang ke kolportase gereja kami dan bebrapa teman yang potensial untuk menjual. Hari ini ultah Mamah Ida, aku kirim sms aja ngucapinnya. Awalnya aku pake nomor yang XL tapi kok kayanya gak nyampe-nyampe ya....ternyata pulsanya abis. Jadi kirim pake yang matrix. Sorenya, Mamahku mulai lagi dengan penyakit lamanya....meminta aku menjadi pegawai negeri karena menurutnya apa yang aku lakukan sekarang bukan kerja. Memang sih kondisi bisnisku kembang kempis apalagi modal dana juga tidak besar, sering mentok di promosi dan produksi. Saat-saat habis lebaran seperti sekarang adalah saat kempisnya. Jadi pegawai negeri? Waduh...gimana ya? Aku gak mau. Banyak pegawai negeri yang aku kenal bekerja seenaknya saja, datang dan pulang semaunya, apalagi gajinya kecil. Aku sadar hidup hanya sekali dan rasanya akan terasa sia-sia kalau digunakan untuk gak ngapa-ngapain (jobdesc pegawai negeri yang aku dapat dari beberapa kenalan). Sudah kebayang deh kalau aku ada di lingkungan orang yang kaya gitu, entah ketularan jadi kaya gitu atau malah dimusuhi karena gak kaya gitu. Dengan sadar aku pilih gak mau. Apalagi kalau mau dapat jabatan harus ada koneksi. Halah...males banget. Kalau di tempat asalku, koneksiku mungkin akan membantu. Tapi apa artinya? Aku sangat jarang bersyukur kalau mendapatkan sesuatu karena koneksi. Makanya aku juga kurang respek dengan pejabat yang menggunakan nama besar ortunya. Masalah permintaan jadi pegawai negeri ini sangat mengganggu kali ini, karena pake urut-urutan tertulis segala. Agak maksa. Aku gak mau. Tapi gak tega rasanya bilang ‘gak mau’ tanpa basa-basi. Aku sampai nelpon sahabatku dan sepupuku, 2 orang itu seringkali mendukungku dalam kehidupan ini. Tentu saja aku juga mendukung mereka. Kami saling mendukung. Waktu di Palangkaraya dan Kapuas, semua keluarga yang kami temui menyarankan jadi pegawai negeri, mumpung pejabatnya masih saudara katanya. Mamahku sampai sempat agak terganggu dengan perkataan sepupu dan jadi sensitif mau pulang cepat aja. Kalo aku sih cuek ajah....semua orang bebas berpendapat. Aku gak harus setuju dengan pendapat kebanyakan orang dan orang lain juga gak harus setuju dengan pendapatku. Bukan begitu? Setelah curhat, aku merangkai gantungan kunci bentuk salib di kamar sampai akhirnya tiba waktu untuk latihan nyanyi. Kalau mandi dan makan dulu sepertinya aku telat, jadilah aku tak mandi. Ganti baju sebentar terus turun ke bawah, makan pisang goreng, lanjut ke gereja. Sampai tepat waktu di gereja. Aku minta dianterin Slamet. Rasanya agak kurang fit kali ini. Mungkin karena gondok soal PNS itu deh. Gak bisa mengeluarkan pendapat demi jaga perasaan. Di gereja belum banyak yang datang. Yang datang baru Mas Indra, Kak Ridma dan Thyna. Cewe-cewe yang datang semuanya bersuara alto. Satu lagi yang rajin datang, Kak Sondang, juga bersuara alto. Yaya adikku belum ada, padahal dia bilang mau datang. Gak kebayang deh kalo yang latihan alto semua. Kali ini yang ngelatih Elly K. Pelatih biasanya, Rani, lagi ada tugas kantor ke Tapanuli. Alisa yang biasa gantiin Rani sudah bilang beberapa waktu lalu kalau gak bisa. Kami memulai latihan tanpa vokalisis, langsung ke lagu. Lagu berlembar-lembar yang ditulis dengan not balok itu ternyata jadinya tidak terlalu banyak. Panjangnya hampir gak beda dengan lagu 1 lembar yang ditulis dengan not angka. Thyna niat banget, dia merekam tiap latihan kami dan sesekali didengar untuk belajar. Selama latihan, teman-teman lain yang terlambat berdatangan sampai semua suara ada isinya, sopran alto tenor bas. Yaya datang telat, ada meeting mendadak. Dia datang bawa pizza. Latihan ditutup dengan doa dan kami menikmati hidangan yang disajikan. Hidangannya adalah makanan kecil yang terbungkus dalam kulit pisang alias lemper dan pizza bawaan Yaya dari meeting sebelumnya. Kelar latihan, lanjut ke tongkrongan di pinggir jalan Cikini, bakmi Roxy. Aku pesen es teler. Devi dan Yaya juga. Kak Sondnag pesen pangsit kuah. Dek Rio pesen mia ayam. Kami ngobrol ngalor ngidul sampai akhirnya tiba waktu pulang. Kami semua nebeng Devi dan dianterin 1 per 1. Urutan pertama Dek Rio ke Benhil, Kak Sondang di Tanah Tinggi dan akhirnya aku dan Yaya di Cempaka Putih. Kami turun di Alfmidi dekat rumah. Yaya mau beli mie instan. Katanya beliin untuk Yiyi, dia lagi pingin makan mie. Aku takjub juga kok itu anak belum tidur sampai jam 11 malam gini. Aku gak beli apa-apa, ngantuk juga sih. Kami jalan kaki pulang ke rumah. Yaya dan Yiyi lanjut masak & makan mie. Aku langsung tidur, capek dan rasanya agak pusing.

Popular Posts

Isi blog ini