7 Oktober 2010, Kamis
Hari ini aku bangun kepagian. Bangun pas sholat subuh dan gak bisa tidur lagi. Aku sudah mencoba merem dan bolak-balik di dalam selimut. Akhirnya menyerah...sudahlah aku bangun saja dan berdoa. Berdoa bukan untuk tidur lagi, tapi untuk banyak hal. Baru sadar juga kalau jaman dulu Yesus kayanya juga berdoa waktu pagi-pagi banget. Bukannya sok religius sih, tapi memang akhir-akhir ini aku jadi lebih sering berdoa. Apalagi setelah beberapa peristiwa yang tiba di hidupku.
Setelah berdoa pagi dan membaca kitab suci, aku membuka jendela. Langit masih belum terlalu terang. Udara pagi yang sejuk menyegarkan banget. AC kamarku yang memang gak terlalu dingin kalah deh oleh ademnya udara luar. Apalagi kamarku memang rada sumpek karena banyaknya barang yang tergeletak. Dari sekian banyak kamar di rumah ini, sepertinya kamar yang paling banyak isinya ya kamarku ini. Buku? Ratusan. Manik-manik? Ribuan. Baju? Puluhan. Anting-anting? Banyak juga, banyak yang gaka da pasangannya juga.
Karena kagum akan sejuknya udara pagi itu, aku juga mengamati hal lainnya, suara. Pengamatan yang lebih dari sekedar yang terlihat ini terpicu waktu aku ikut pelatihan doa hening di Parakan. Kami tidak diperkenankan bicara. Pada sebuah sesi diajarkan juga untuk menyadari segala sesuatu yang ada di sekitar kita dengan semua indra yang kita punya. Kami juga diminta sharing ke peserta yang lain. Aku sharing tentang kodok yang besar sekali. Nah, soal kodok ini mengingatkan aku kembali pada pagi ini. Di jendela kamarku yang terletak di Jakarta Pusat ini, terdengar bunyi kodok. Menakjubkan sekali! Aku gak yakin bisa melihat wujud makhluk itu. Tapi benar-benar membuat kagum. Aku sampai update status facebook atas penemuanku ini. Selain udara yang segar, ada juga cuit burung, suara kodok, bunyi keran air, suara obrolan om-om jalan pagi dan suara bajay. Orang yang tinggal di Jakarta sepertinya sudah gak perlu dikasih tau lagi apa bedanya suara bajay dengan motor biasa.
Setelah mengagumi berbagai bunyi itu. Aku langsung terpacu untuk mengetik pengalaman ini di jurnalku. Sekalian juga nambahin kenangan tentang planetarium kemaren. Sepertinya kalau aku mau memuat jurnal yang lebih berisi, harus begitu deh. Karena kalau nulisnya di hari yang sama juga, tergantung kondisi fisik juga. Kalo lagi capek, tulisannya sedikit. Kalo lagi fit, tulisannya banyak. Kalo mood, selama ini mood masih menyertai tuh. Asik² aja.
Jam 7 pagi, mataku sudah terasa lelah. Komputer aku matikan dan kemudian aku melanjutkan dengan istirahat mata alias tidur lagi. Aku tidur sampai jam 08.08. Kok bisa bangunnya pas nomor cantik? Ya bisa aja lah...kan pake alarm. Aku selalu memasang alarm di nomor cantik. Biasanya di 05.55. Kalo bangun dari tempat tidur sih gak janji di angka cantik. Di rumah, aku sudah terkenal dengan alarm terbanyak berbunyi. Tiap kali berbunyi, apalagi yang pertama, pasti aku tekan tombol ‘snoooze’. Ditunda selama 9 menit hehehe. Kok gak 10? Ya terserah gue donk mau berapa menit. Iya khan?
Hari ini niatnya aku mau anter gantungan kunci, sudah siapin tanda terimanya biar nanti cepat. Tinggal hitung dan tanda tangan aja. Masalahnya aku belum janjian, Mba Yuni juga susah dihubungi. Kalo mesti nyari dia lagi kayanya perlu waktu deh. Nanti siang aku mau ikut pelatihan menulis di senayan, lagi ada bookfair. Sebenarnya demi alasan keuangan, aku agak menghindari bookfair yang sekarang. Aku paling gak tahan kalo liat buku bagus yang didiskon. Padahal stok buku yang belum dibaca masih banyak banget, majalah juga. Aku ada beli beberapa majalah bekas, kebanyakan National Geographic dan majalah travel gitu deh. Kembali ke soal nganterin barang, jadinya aku mengurungkan niat nganter barang. Nanti aja, bikin janji dulu. Kalo dulu masih jadi buyer, aku agak sebel ama supplier yang tau-tau datang mau ketemu trus ngomong terus nawarin barang. Sekarang kan aku jadi supplier nih. Walaupun aku gak terlalu banyak ngomong tapi kan tetep aja kalo jadwal terganggu itu sudah balikin konsentrasi lagi. Aku juga gak mau bikin susah orang lah walau mungkin Mba Yuni gak sesibuk aku dulu.
Aku kemudian mengarahkan mobilku ke Jalan Gajah Mada, lewat Istana Merdeka. Kami mau ke Lion air, ngambil tiket yang sudah dibooking adikku. Adikku aku minta turun duluan ngurus tiket. Aku cari parkir. Ini juga kemajuan loh untukku, biasanya mana mau aku jadi supir gitu. Kecuali sama ortu, gak dikasih pilihan, disuruh anter ke lobby trus sendirian ke tempat parkir huhuhu...
Baru aja aku dapat parkir di sebuah tanjakan yang memerlukan perjuangan, adikku nelpon, kasih tau kalau nomor antriannya 343, sedangkan saat itu masih nomor 200an. Kebayang gak sih bakal berapa lama. Belum lagi masih segar dalam ingatan pas booking tadi orangnya entah budek ama sambungan telpon yang kurang baik, untuk ngasih tau jam keberangkatan yang dipilih aja harus ngomong berkali-kali. Bayangin kalo petugas loketnya macam itu juga. Riskan banget, ntar telat ikutan pelatihan.
Abis dari situ, kami menuju Senayan lewat Jalan Alaydrus terus ke Cideng. Jalan ini yang sering Yiyi lalui waktu dulu dia masih berkantor di Cideng. Ada bagian jalan yang ditutup. Jadi kami mengambil jalan yang lebih jauh dan akhirnya keluar di Slipi. Abis itu udah kebaca lah mau ke Senayan lewat mana.
Sampai di Istora, masih jam 13.30 an. Di tempat parkir ada tukang palak yang diiamkan saja. Para tukang palak yang memaksa minta uang paskir. Aku pas lagi berbaik hati gak terlalu ribut walau tetap mempertanyakan pungutan itu. Tapi ya sudahlah, daripada cepat tua karena tukang palak plus mocil yang tidak aman, mending kasih aja beberapa ribu rupiah.
Kami langsung mencari Ruang Anggrek tempat pelatihan diadakan. Karena belum mendaftar sebelumnya, kami datang lebih cepat. Ternyata panitianya bahkan belum datang. Ada 1 orang perempuan yang duduk di meja dekat pintu. Katanya dia juga pegawai Gramedia tapi bukan panitianya. Baru belakangan aku tahu kalau mbak ini ternyata editor di penerbit Gramedia. Dia juga ikut bicara di kelas yang aku ikutin.
Di kelas itu, sepertinya kami berdua yang datang paling cepat. Di dalamnya sih ada 1 orang mas yang duduk diam dengan tas hitam. Kami sempat berpikir kali aja yang itu pengarangnya, aku lupa juga sih nama pengarangnya siapa yang ada di brosur. Ternyata mas ini adalah petugas yang masang infocus.
Kelas dimulai agak terlambat. Mbak Esti Kinasih yang menjadi narasumber bercerita tentang dirinya. Bagaimana kedua ortunya membuat dia gemar membaca dan sangat mendukung kegiatan membaca. Beda banget ama di rumahku hehehe... Dari kesukaan membaca dia mulai membaut cerpen yang kemudian dikirimkan ke majalah. Dia juga sempat ngantor beberapa tahun sampai akhirnya sekarang profesinya adalah menjadi seorang penulis. Aku langsung tergugah, asik banget ya....kerjaannya itu hobbinya juga.
Dia juga bilang kalau dia bukanlah orang yang bisa bekerja dengan kerangka tulisan alias ngalir aja. Aku juga kadang-kadang begitu sih. Daripada aku nulis panjang lebar mending aku buat berpoin-poin aja macam catatanku yang biasa ya....Lagian ini kan catatan buat sendiri. Jadi yang perlu diingat dan diperhatikan dalam menulis:
· Terus membuat tulisan sepanjang waktu, tidak menyerah akan celaan orang alias tak tahu malu bermuka tembok.
· Temukan kesenangan dalam membuat tulisan
· Temukan gaya kita sendiri dalam menulis
· Ide tulisan bisa muncul kapan saja dan dimana saja, mending dicatat supaya gak lupa. Bawa buku catatan kecil kemana-mana.
· Kalau ditolak oleh penenrbit, usahakan cari tau kurangnya dimana untuk kemudian diperbaiki.
· Menjiwai karakter tokoh yang ditulis. Misalnya menulis tentang remaja, berpikirlah seperti remaja.
· Untuk setiap tokoh yang kita tulis, buatlah rincian tentang tokoh itu. Misalnya ciri fisik, umur, hobi, sifat, ciri khas dll deh. Taro di tempat yang mudah terlihat supaya tidak lupa dan tercampur dengan tokoh lainnya.
· Walau kita penulis yang bersifat ‘mengalir’, lebih baik kalau kita juga punya target penulisan.
· Royalti penulisan sebesar 10% dari harga jual. Pembayaran pertama DP sebesar 25%. Royalti dibayarkan 2 kali setahun. Untuk penjualan Januari – Juni dibayar di Agustus. Untuk penjualan dari Juli – Desember dibayar Februari.
· Penjualan novel lebih banyak dibanding kumpulan cerpen. Karena itu otakku langsung kebayang mau bikin novel dengan ide yang banyak dan bikin sesak kepala. Ini karena kambuhnya penyakit mata duitan setelah menghitung royalti dengan harga buku 30rb hehehe....
· Kumpulan cerpen hanya laku kalo yang menulis sudah ngetop, dengan kata lain jualan nama penulisnya.
· Untuk memancing mood atau ide, bisa lakukan kegiatan lain yang disukai seperti nonton, jalan² dll.
· Perbanyak kosa kata supaya dalam menulis, kata-katanya gak itu-itu aja.
· Baca juga beberapa buku yang memberi inspirasi. Mbak Esti ngasih contoh kalo buku yang selalu ada di mejanya itu bukunya Gibran, Rumi & Tagore. Aku juga pernah baca buku-buku mereka. Bener kok membangkitkan inspirasi. Tapi ada lagi kok tulisan yang lebih membangkitkan inspirasi, ditulis oleh seorang raja agung bertahun-tahun yang lalu, Raja Salomo. Tulisan bokapnya, Daud, juga keren kok. Semua tulisan penuh inspirasi itu ada dalam sebuah buku, Alkitab. Sepertinya memang sudah layak dan sepantasnya kalo buku terlaris sepanjang masa itu jadi penghuni mejaku.
· Syarat pengiriman naskah ke penerbit Gramedia: dicetak pada kertas A4, 150 – 200 halaman, Times New Roman 12 pt (atau huruf lain yang tidak melingkar), 1,5 spasi, dijilid plus nomor halaman, ada sinopsis dan bio data, ditujukan ke redaksi fiksi / non fiksi (alamatnya liat di balik buku terbitan Gramedia.
Begitulah kira-kira yang aku dapat dari pelatihan ini, tinggal prakteknya aja. Ide awal sih sudah membayang di kepala, baru jadi beberapa baris dan coretan aja. Semoga makin lancar ya....teringat akan ucapan seseorang, kalau kita tidak menggunakan talenta yang diberikan untuk kita, berarti kita berdosa. Hiiiii.....tatutt....
Kami mendapatkan sertifikat tanpa nama berwarna kuning. Bingung juga sih, kok gak ada namanya. Tapi bersyukur juga, kali aja ini bisa jadi referensi dalam hal tulis menulis. Iya tho?
Mumpung masih di situ, kami jalan berkeliling melihat-lihat buku. Sepertinya sudah pernah aku ketik di jurnal ini deh kalo aku lagi mengurangi beli buku karena yang ada aja belum pada kebaca. Belum lagi yang minjem dari perpustakaan. Kayanya ada obsesi aneh untuk menandatangani setiap buku (tentu saja karena sudah jadi milikku), dan menandai setiap buku perpustakaan dengan nomorku, 928. Ini penyakit bukan ya?
Selain buku yang dijual, ada juga buku yang dipamerkan dari beberapa perpustakaan. Aku dan Yiyi mampir di stand perpustakaan Kalbar & Kaltim untuk melihat-lihat. Yang di Kaltim sempat ngobrol sebentar pake Bahasa Banjar.
Setelah berjalan-jalan dan membongkar-bongkar buku, kami meninggalkan tempat itu untuk menuju ke lapo di sekitar senayan juga. Walau jaraknya dekat, perjalanan menuju ke situ tersendat karena macet berat. Aku memutar balik mobilku dankami menuju lapo lain yang letaknya tidak jauh dari rumah. Lapsito di Jalan Pramuka.
Malemnya latian nyanyi di gereja barenga ama PS Pemuda.