Kamis, 23 September 2010
Pasar Tradisional yang Modern di Kalimantan
Pasar tradisional mulai terancam keberadaannya oleh pasar modern. Demikian isu yang paling top di dunia pasar-pasaran beberapa tahun ini. Pasar modern yang mematok harga cukup murah dengan fasilitas jauh lebih nyaman, punya alasan kuat untuk memenangkan persaingan. Interaksi tawar menawar yang memungkinkan dapat harga lebih murah tidak lagi menarik perhatian pembeli. Di pasar modern, kadang harga sudah murah tanpa ditawar, apalagi untuk produk-produk yang diiklankan di media massa.
Pasar tradisional yang (biasanya) terkenal berlantai becek dan sering menguarkan bau kurang sedap langsung turun pamornya karena makin pesatnya perkembangan pasar/toko modern. Di Jakarta, toko swalayan aneka ukuran bertebaran dimana-mana, mulai dari mini, midi, super dan hyper (silahkan cek sendiri dan temukan bedanya...). Di toko modern, walau harus melayani diri sendiri, pelanggan diberi pilihan untuk menggunakan alat bantu berupa keranjang maupun troli. Trolinya pun ada yang dilengkapi dengan tempat duduk anak kecil dengan desain yang disukai anak-anak. Sesuatu yang cukup membantu mengurangi kerepotan ibu-ibu yang punya anak balita.
Apakah hal yang sama juga melanda seluruh bumi?
Dalam harian Kompas yang terbit hari Rabu tgl 22 September 2010 diberitakan tentang Paddy’s Market di Sidney, Australia, menjadi bukti daya tahan pasar tradisional menghadapi arus pasar modern. Pasar tradisional yang tidak becek dan juga dikunjungi para turis mancanegara (Orang Indonesia ada juga) untuk mencari oleh-oleh. Di pasar ini, pembeli dan penjual tetap melakukan tawar-menawar dan transaksi seperti kegiatan berniaga sepanjang masa. Paddy’s market ditunjang pula oleh sarana transportasi publik seperti monorail dan bus. Keseriusan pengembangan pasar tradisional yang ditunjang dengan akses transportasi membuat pasar ini mampu bertahan ratusan tahun bahkan tumbuh menjadi ikon kota Sidney. Di akhir tulisan itu, BM Lukita Grahadyarini memberikan sebuah pernyataan dan pertanyaan yang akan segera terjawab. Keberadaan pasar modern tidak perlu menggilas pasar tradisional. Sebaliknya pasar tradisional bisa tumbuh dan menyaingi pasar modern. Pertanyaannya, siapkah Indonesia memulai itu? Jawabannya: tentu saja siap!!!
Di sebuah pasar di tepi Sungai Kahayan di Palangkaraya terdapat sebuah pasar bernama Pasar Kahayan. Asal-usul mengapa nama pasarnya Kahayan sepertinya tidak perlu lagi dibicarakan. Di pasar yang pernah terbakar ini sekarang telah menjelma menjadi pasar tradisional yang modern. Bangunan baru pasar itu luas, berlantai warna terang dan plafon tinggi. Gang di antara kios lebih dari cukup untuk 2 orang yang berpapasan tanpa harus memiringkan tubuh. Cat warna terang membuat suasana cerah dan tidak kusam. Ini didukung pula oleh atap tinggi yang memberikan penerangan alami dari sinar matahari. Plafon yang tinggi serta ventilasi yang cukup membuat udara di pasar ini tidak pengap walau aroma ‘pasar’ tetap ada.
Di Pasar Kahayan, kita bisa berbelanja menggunakan troli dengan ukuran yang sama seperti di supermarket, bedanya di sini troli disewakan dengan harga yang cukup murah. Troli besar Rp 2000, troli kecil Rp.1000. Terjangkau kan? Harga sewa ini dijamin lebih murah dibanding harga minuman kemasan dalam botol yang selalu menemani orang untuk makan apa saja itu.
Transaksi di Pasar Kahayan seperti umumnya pasar tradisional, langsung antara penjual dan pembeli. Tawar menawar dilakukan dalam Bahasa Banjar, Dayak dan Jawa. Kalau untuk bahasa tampaknya semua orang yang sering berkunjung ke situ saling menyesuaikan.
“Tomat berapaan bu ai?” tanya seorang pembeli.
“Tege singkah, lah?”
“Iki pinten?”
“Lima ribuan ja amun yang itu, handak berapa?”
Demikianlah kutipan beberapa suara pasar yang terdengar....selebihnya silahkan dengarkan siaran langsung dari TKP.
Barang yang dijual di situ adalah keperluan sehari-hari seperti makanan, minuman, pakaian, sepatu dll. Untuk memudahkan pembeli, barang dagangan sudah ditempatkan secara berkelompok. Misalnya daerah penjual ikan, daging, sayur. Pengelompokan seperti ini juga dilakukan pada pasar modern. Tempat berjualan juga dibagi menjadi lapak tanpa dinding pemisah dan ruko.
Ada kendaraan umum berupa angkot warna merah dengan ongkos Rp 3000 untuk menuju pasar itu. Untuk yang punya kenalan Orang Palangkaraya yang punya kendaraan, bisa juga minta tolong diantarkan. Orang-orang yang saya temui umumnya tidak keberatan karena perjalanan keliling kota itu pun tidak boros waktu dan bahan bakar. Bagi yang terbiasa menggunakan kaki sebagai alat transportasi, kadang-kadang ada kendaraan yang menghampiri menawarkan jasa tumpangan, tentu saja dengan bayaran. Berjalan kaki kesana-kemari tidak umum di kota yang panas terik di siang hari ini.
Untuk mengunjungi pasar tradisional yang modern, kita tidak perlu ngantri visa di sebuah kedutaan di daerah Kuningan, di Kalimantan juga ada. Sebuah pasar yang juga bisa dibanggakan. Tanpa bermaksud untuk ikut-ikutan, ada pula pertanyaan, akankah kita juga peduli tentang keberadaannya? Will you be there? {ST}
Rabu, 22 September 2010
Hati Yang Penuh Syukur Akan Terima Kasih
Lukas 17 : 15 " Salah seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring "
Saat itu Yesus sedang dalam perjalanan ke Yerusalem ketika sepuluh orang kusta mendekati Dia. Sambil berdiri jauh-jauh, sebagaimana yang seharusnya dilakukan penderita kusta, mereka berseru kepada-Nya: "Yesus, Guru, kasihanilah kami!" (Lukas 17:13). Namun ketika Yesus melihat mereka, Dia memberikan perintah, "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam" Dan dalam perjalanan, mereka sembuh.
Salah seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali, tersungkur di kaki Yesus, dan bersyukur kepada-Nya. "Di manakah yang sembilan orang itu?" tanya Yesus. Pertanyaan yang bagus.
Yesus menunjuk pria yang penuh ucapan syukur itu sebagai seorang Samaria orang luar mungkin untuk menekankan perkataan-Nya bahwa "anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang" Kata "cerdik" dalam bahasa aslinya berarti "penuh perhatian". Kadang kala orang-orang dunia memiliki tata krama yang lebih baik daripada para pengikut Yesus.
Saudaraku yang terkasih, Dalam kesibukan hidup, kita mungkin lupa untuk mengucapkan terima kasih. Seseorang telah melakukan sesuatu bagi kita memberi hadiah, melakukan suatu tugas, menyampaikan khotbah yang tepat, memberikan perkataan nasihat atau penghiburan. Namun, kita lalai untuk memberikan penghargaan, penghormatan dan berterima kasih.
Apakah ada seseorang yang telah melakukan sesuatu untuk Anda minggu ini? Teleponlah teman Anda itu atau kirimkan sebuah SMS ucapan terima kasih. Lagi pula, kasih "tidak melakukan yang tidak sopan" (1Korintus 13:5) Karena sesungguhnya kita tidak membutuhkan banyak hal lain untuk dapat berterima kasih, karena kata terima kasih terucap dari hati yang selalu bersyukur. Bersyukurlah dan Berterima Kasihlah.
Dari: Renungan Harian
Dibebaskan dan Hidup Bebas
Roma 8 : 2 " Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut "
Saudara yang terkasih dalam Yesus Kristus, pernahkah anda berpikir bahwa kebebasan itu mahal harganya ? coba anda renungakan kalimat berikut ini " Hidup dalam Kristus Yesus akan memberikan kebebasan sejati dalam kehidupan anda "Suatu hari setelah diculik dan disandera selama 13 hari, lalu akhirnya dilepaskan, juru kamera berita dari Selandia Baru, Olaf Wiig, sambil tersenyum lebar berkata,
" Kini saya merasa lebih hidup dibandingkan sepanjang hidup saya yang lalu " Untuk beberapa alasan yang sulit dimengerti, dibebaskan ternyata lebih menggembirakan daripada hidup bebas.
Atau mungkin itu mempunyai arti yang berbeda dalam setiap individu yang merasakannya.Dalam hal ini, untuk mereka yang menikmati kebebasan setiap hari, sukacita merupakan peringatan yang baik tentang bagaimana kita begitu mudah melupakan betapa kita sangat diberkati. Hal ini juga berlaku dalam hidup rohani. Siapa pun di antara kita yang sudah lama menjadi orang kristiani sering lupa bagaimana rasanya menjadi hamba dosa. Kita dapat berpuas diri dan bahkan kurang bersyukur. Namun, Allah mengirimkan peringatan melalui seseorang yang baru bertobat. Ia dengan sukacita memberi kesaksian yang menggugah tentang apa yang sudah Allah lakukan di dalam hidupnya. Dan, kesaksian itu sekali lagi mengingatkan kita tentang sukacita yang kita rasakan saat kita dimerdekakan dari hukum dosa dan hukum maut. Dan itu tertulis jelas dalam Kitab.Apabila kebebasan telah menjadi hal yang biasa bagi Anda, atau bila Anda cenderung memusatkan perhatian pada apa yang tidak dapat Anda lakukan, pikirkanlah hal ini: Anda bukan hanya tidak lagi menjadi hamba dosa, tetapi Anda juga dibebaskan agar menjadi kudus dan menikmati hidup kekal di dalam Kristus Yesus (Roma 6 : 22)
Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal)Anda telah dibebaskan dan mendapakan kehidupan yang bebas dari Allah, jadi rayakanlah kebebasan Anda di dalam Kristus dengan menyediakan waktu untuk mengucapkan syukur kepada Allah atas hal-hal yang dapat dan bebas Anda lakukan sebagai pelayan Anda kepada-Nya.
Perumpamaan kura-kura
Di tepi sungai ada seorang anak yang menemukan seekor kura-kura, anak itu dengan riangnya membawa jalan-jalan kura-kura yang ditemukannya itu, tetapi sang anak berpikir... mengapa dari tadi kura-kura itu tidak mengeluarkan kepala,kaki,dan ekornya itu. Sang anak mencongkel kepalanya, kakinya dan ekornya, tetapi kura-kura itu tetap berdiam di dalam. Sudah setengah hari dia berusaha untuk mengeluarkan kura-kura tersebut, dan akhirnya dia menyerah. Saat itu datanglah laki-laki tua dan menepuk pundaknya, laki-laki itu berkata " Anak muda, ikutlah bersamaku,bawalah kura-kura itu serta", karena anak itu terlalu lelah, akhirnya dia tak berpikir panjang dan langsung menurut.
Sampai di rumah si Tua itu, dia duduk di bangku dan ditemani kura-kura yang tidak mau keluar itu. Si Tua berkata "Bolehkah aku meminjam sebentar kura-kura mu ?", si Anak menjawab
"lakukanlah apa yang kamu bisa terhadap kura-kura yang keras kepala itu !", dengan kecewa bercampur marah si Anak memberi kura-kura itu. Si Tua mengambil kura-kura itu dengan lembut dan menaruhnya di depan perapian yang sedang menyala, dan MUNCULAH KEAJAIBAN kura-kura itu keluar dari cangkangnya yang keras dan mulai berjalan. Si Anak melihat kejadian itu tak berkedip, dan si Tua berkata " Inilah apa yang terjadi jika kekerasan kita luluhkan dengan kehangatan yang tulus".
by: alda albert
Betang 70 Tiang : Titik-titik Hitam Melayang di Langit Senja
Dua orang pria gagah tegap menemaniku sore itu. Kami bersama menghadap ke sisi barat menanti detik-detik akhir jatuhnya sinar mentari ke bumi ini. Memandang ke arah yang sama beberapa waktu sampai ribuan makhluk lain menemani.
“Woooowwww” kata pertama yang terucap dari mulutku ketika melihat jutaan makhluk terbang dari rumah tetangga.
Titik-titik hitam kecil bergerak terbang dari sebuah rumah panggung. Titik-titik yang makin lama makin jelas terlihat menjadi kelelawar kecil.
“Eh…kampret!” kata temanku yang latah. Omongan yang mengundang banyak orang untuk tertawa sekaligus juga semacam proklamasi kalau teman itu latah.
Makhluk-makhluk kecil yang awalnya berupa titik-titik hitam itu memang kampret, kelelawar kecil pemakan buah yang bertempat tinggal di sebuah rumah panggung besar berbau menyengat. Seperti layaknya para kampret di seluruh dunia, mereka baru mulai beraktifitas menjelang malam hari. Fakta yang sepertinya menimbulkan imaji banyak orang akan vampire penghisap darah dengan jubah hitam.
Gerombolan yang entah siapa pemimpinnya itu memenuhi seluruh penjuru langit…timur barat selatan utara, semua dinominasi oleh pasukan pemakan buah bersayap hitam. Senja jingga yang indah itu tidaklah ternoda oleh titik-titik hitam itu. Para kelelawar malah menambah indahnya langit. Suatu pemandangan & pengalaman baru yang pantas dicatat.
Aku terus memandangi para kelelawar itu tanpa terasa malam sudah mulai menguasai bumi, tibalah waktu untuk pulang dan meninggalkan kedua patung pria gagah tegap penjaga betang itu.
Tidung
Mendengar kata ‘Tidung’ pasti kita semua berpikiran tentang pulau kecil tempat nyebur dan bermain air di Kepulauan Seribu. Apalagi untuk para anak muda yang tinggal di Jakarta, kalau belum pernah main ke Tidung artinya gak gaul. Tidung yang konon kabarnya memiliki pesona yang menghipnotis ini sudah menawan hati banyak orang. Ditambah lagi dengan kecanggihan jaman sekarang yang membuat pesona Pulau Tidung makin menancap di hati, cerita dan foto-foto keindahannya wara-wiri di berbagai situs internet.
Untuk sebagian yang tidak berminat akan wisata yang membuat kulit legam, kata ini mungkin mengingatkan pada indra penciuman penyangga kacamata atau bahkan pada lagu yang dinyanyikan dengan merdu oleh Om Chrisye Rahadi.
Di antara kita, Komunitas Muda Dayak ini, adakah yang sadar bahwa Tidung ada juga di Kalimantan. Suku Tidung adalah suku yang mendiami Kalimantan Timur bagian utara. Suku Tidung bersama Suku Dayak Bulusu bersama mendiami Kabupaten Tana Tidung.
“Suku Tidung kebanyakan memeluk agama Islam, kebudayaannya dipengaruhi oleh Kebudayaan Melayu” demikian penjelasan dari Bpk Drs. Mochsin Achkam, M.Si, sekretaris kabupaten Tana Tidung. Hal ini sangat terlihat dari kesenian yang disajikan pada acara di Taman Mini tanggal 18 Juli 2010 yang lalu. Pakaian, tarian dan musik yang disajikan terlihat jelas pengaruhnya.
“Ayo datang ke Tidung, banyak tempat wisatanya juga….ada air terjun 7 tingkat” ajak model pakaian pengantin di acara fashion show setelah acaranya selesai.
“Memang perjalanannya agak susah, harus naik speedboat dari Balikpapan. Kalau penginapan, nginap sajalah di rumah kami.” Kali ini seorang ibu yang anggota tim sukses jalannya acara itu menawarkan keramahan dengan logat Melayu yang kental.
Adakah dari kita yang lebih mengenal Tidung di Kalimantan dibandingkan dengan yang di Kepulauan Seribu?
Perjalanan Ke Kapuas
Perjalanan ke Kapuas ini awalnya dari obrolan menanyakan kabar beberapa sepupu yang tinggal di Kapuas. Apalagi salah seorang sepupu kami merayakan Lebaran. Jadilah kami menetapkan pergi ke Kapuas naik mobil pada hari Minggu, 12 September 2010 pagi.
Di hari minggu yang cerah itu, aku, Mamah & Yiyi menjemput sepupuku yang juga bisa nyetir ke rumahnya di Jalan Tjilik Riwut, samping Gereja Sion, belakang ruko (ini alamat yang tercantum pada jadwal kebaktian yang tertempel di dinding rumahnya. Beneran pake ‘belakang ruko’). Kakak Ocep sepupu kami sudah siap sedia mau pergi. Untuk bekal di jalan, kami mengcopy beberapa lagu di flashdisk plus tidak lupa pinjem playernya (biar gak mati gaya). Mobil Nissan Terano yang dipinjamkan ke kami sudah lebih dari cukup fasilitasnya kecuali audio, hanya bisa kaset & radio.
Di rumah samping gereja belakang ruko itu, tinggal pula 3 orang keponakan kami yang lucu. Elmo, Geci & Geca yang disingkat MoCiCa. Mereka anak sepupuku Sesi Toemon yang menikah dengan Vontas Nahan. Ketiga anak ini benar-benar membuat lebih meriah dengan suara maupun dengan berbagai macam ‘lukisan’ dinding. Sesi pemotreatan oleh para mina berlanjut menjadi sesi nangis-nangis sambil menarik celemek bapaknya. Sampai akhirnya tibalah waktunya kami harus pergi.
Perjalanan menuju Kapuas bersama Edward Joseph sebagai pilot kami lalui dengan santai. Dataran rawa yang ditumbuhi kelakai, karamunting dan mesisin menjadi pandangan utama di perjalanan ini. Lagit biru dengan hiasan awan putihnya juga melengkapi hari itu. Langit benar-benar cerah dan indah, sangat berbeda dengan langit Jakarta. Berulang kali aku dan adikku Yiyi memotret langit di berbagai tempat di kampung halaman kami ini.
Jalan menuju Kapuas cukup mulus dan lancar. Pengemudi lain lebih banyak menuju arah sebaliknya. Kaka O, panggilan akrab kami untuk sepupu kami yang bernama Edward Joseph Toemon itu mengemudi dengan kecepatan sedang. Dia juga menjelaskan kalau sisi jalan menuju Kapuas memang kondisinya lebih bagus. Sisi jalan sebaliknya lebih banyak kerusakan karena kendaraan yang melewati jalan itu umumnya berbobot lebih berat.
Dalam perjalanan itu kami singgah sejenak di Pulang Pisau, ibu kota Kabupaten Pulang Pisau. Kota kecil yang saat itu terlihat cukup sepi. Rumah-rumah di pinggir kota umumnya berhalaman besar dengan pohon-pohon yang juga besar. Jalan utama di pusat kota bersih dan rapi, tanpa sampah dan tanpa orang juga. Jalan utama itu sedikit mengingatkan pada Surakarta, mungkin karena desain lampu jalannya.
“Kita foto-foto di situ yokkk” kata adikku yang narsis demi melihat sebuah sungai. Sebelumnya adikku ini juga sempat berteriak sangat antusias begitu diberi tahu kalau aliran air di sisi kiri kami itu adalah Sungai Kahayan.
“Yokkk.....” kalo ini aku yang ikutan antusias hehehe....
Kami mampir dan parkir di depan kantor DPRD Pulang Pisau dan berfoto-foto ria. Aku tentu saja tetap melanjutkan hobby mengumpulkan daun-daun lucu di sekitar situ. Saat sesi pemotretan itu, cuaca sangat panas, terik sekali.
Kami segera mengakhiri kunjungan singkat kami di Pulang Pisau dan melanjutkan perjalanan menuju Kapuas. Dalam perjalanan itu kami mampir sejenak di SPBU. SPBU yang menjual premium dan solar ini memajang 2 tulisan : “Premium belum datang” dan “Solar habis”. Bisa diartikan juga untuk sementara SPBU ini hanya melayani yang mau ke toilet.
Memasuki Kabupaten Kapuas, di kiri kanan terlihat sawah. Sawah yang menanam padi. Ini adalah kali pertama aku melihat tanaman padi di Kalimantan Tengah, takjub juga. Selama hidup di daerah itu, tidak pernah sekalipun aku melihat tanaman padi. Pemandangan menakjubkan ini langsung cepat-cepat aku catat di HP supaya tidak terlupa dan tertukar dengan pengalaman mengitari Jawa Tengah di trip ebelumnya.
“Di sini tempat makan yang enak dimana ya?” aku bertanya lewat sms ke Diana, temanku yang orang tuanya tinggal di Kapuas.
“Tempat makan yang enak gak ada kak, semua biasa” jawab Diana via sms pula.
“Tempat makan yang enak gak ada!” aku memberi pengumuman pada orang semobil yang kelaparan.
“Kita maja² helu ih” ini entah kata siapa.
Kunjungan pertama ke rumah Kak Merry, sepupu kami yang merayakan Lebaran. Rumahnya di Komplek Patih Rumbih. Kami disambut oleh Ado, anak keduanya yang bertubuh bongsor. Anak itu lagi makan sekotak es krim di teras rumah. Kelaparan kami seakan menemukan jawabannya di rumah ini, open house yang berlimpah makanan, pas banget hehehe...
Setelah bertemu kangen dengan Kak Merry, kami mengunjungi sepupu yang lain, Kak Latty. Perjalanan ke rumah Kak Latty ditempuh dengan waktu kurang lebih 3 menit. Rumah di dalam sebuah jalan kecil dengan patokan sebuah rumah berpagar tanaman itu langsung dapat kami temukan tanpa kesulitan. Kak Latty sedang tidak ada di rumah. Kami diterima oleh suaminya, Bapa Ricky dan Ayu. Setelah menghabiskan teh panas yang disuguhkan, kami kembali lagi ke rumah Kak Merry.
Sesampai di rumah Kak Merry, mamah langsung beristirahat di kamar yang adem ber –AC. Lala dan Diana datang tak lama kemudian. Mereka berdua memandu kami untuk mengelilingi kota air ini. Perhentian pertama kami adalah sebuah dermaga di tepi Sungai Kapuas tak jauh dari gedung pertemuan berbahan kayu warna coklat. Angin bertiup sangat kencang saat kami tiba di dermaga ini. Rambut kami berkibar di semua sesi foto. Awan mendung terlihat tak jauh dari tempat itu. Aku dan Yiyi berfoto-foto ria di berbagai penjuru tempat ini. Diana dan Lala asyik ngobrol, sepertinya kurang tertarik karena ini pasti bukan kunjungan pertama mereka ke sini.
Setelah puas melihat-lihat tempat itu, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil keliling kota. Tidak lama setelah kami masuk ke mobil, kota air itu mulai diguyur air, makin lama makin deras. Perjalanan keliling kota hanya dilakukan selama beberapa menit. Kami melewati pasar, hotel di pinggir sungai, SMA 1 tempat sekolah Lala & Diana, gedung pertemuan yang 1 nya lagi, taman kota, bundaran, dan akhirnya kembali ke rumah sepupuku di Komplek Patih Rumbih.
Di rumah sepupuku ini, kami disuguhi mie ayam yang dijual tak jauh dari situ, delivery service. Pemesanan dilakukan tidak dengan sambungan telpon seperti di kota besar, tetapi lewat teriakan Kak Merry ke rumah tetangganya yang menjual mie ayam itu. Kami menikmati mie ayam di ruang belakang sambil lesehan nonton tv. Kak Latty yang rumahnya kami datangi sebelumnya, datang ke rumah Kak Merry beserta 2 orang anaknya.
Obrolan berlanjut sampai hujan berhenti dan waktu telah beranjak sore. Lala dan Diana lebih dulu pamitan mau ke rumah teman yang lain. Kami pamitan sekitar jam 5 sore. Perjalanan kembali ke Palangkaraya akan dipiloti oleh aku. Ini adalah perjalanan menyetir terjauhku di Kalimantan. Kami berjalan dengan kecepatan sedang nyaris pelan terutama di tempat yang gelap.
Di perjalanan, kami juga membeli nanas kekuningan yang diidamkan mamahku sejak keberangkatan. Kios-kios penjual nanas di pinggir jalan kebanyakan sudah gelap dan tidak ada penerangan sama sekali. Setelah itu kami juga mampir untuk beli jagung di Kalampangan. Seikat jagung seharga Rp 18.000.
Perjalanan yang sesekali diiringi hujan itu bertemu dengan langit serah di jembatan panjang Tumbang Nusa. Ingin sekali rasanya aku mampir sejenak untuk mengistirahatkan mata dan otak yang lelah berkonsentrasi tapi urung karena mamah sudah mau pulang. Setiba di Palangkaraya, kami mencoba jalan baru yang besar dan mulus, sebuah ruas jalan yang bisa dikatakan sebagai ‘outer ring road’ Kota Palangkaraya.
Walaupun kelelahan, perjalanan ini sangat berkesan. Kesannya jauh melebihi yang bisa dituliskan di sini, lebih pula dari beberapa jepretan foto. Terima kasih untuk Kaka Ocep Toemon, Lala dan Diana yang turut membuat kesan pada perjalanan ini.
Tarian Adalah (juga) Jati Diri Kita
Di suatu siang yang terik segerombolan bule melakukan kudeta pada sebuah panggung kecil di Taman Mini Indonesia Indah. Mereka mengambil alih organ tunggal yang sebelumnya menyanyikan lagu dangdut merana. Ada yang memainkan musiknya, ada yang menyanyi dan ada yang menari. Mereka menarikan tarian salsa.
“Pasti mereka dari Amerika Latin” kata seorang ibu kepada keponakannya.
“Iya keliatan banget dari salsanya” kata keponakan yang diajak ngomong.
“Dari body ama mukanya lagi...miss universe banget” kata seorang pria ikut menimpali.
Para turis bule itu sudah ketahuan darimana asalnya tanpa harus menunjukkan kartu identitas atau paspor. Mereka dengan bangga menari dan menyanyi tanpa kenal malu. Tarian itu juga menjadi identitas mereka selain wajah. Identitas yang diakui dengan suatu kebanggaan.
Bagaimana dengan kita sebagai Komunitas Muda Dayak? Apakah yang bisa kita tunjukkan sebagai identitas kita? Identitas yang bisa kita tunjukkan dengan bangga?
Sebagai Orang Dayak (atau keturunan Dayak) yang telah lama tinggal di Jakarta dan sekitarnya, mungkin pengetahuan kita tentang Kalimantan sebagai pulau asal Orang Dayak sangat minim. Bertutur kata pun tampaknya lebih banyak menggunakan bahasa gaul dan Bahasa Inggris daripada Bahasa Dayak. Menari? Lebih gak tau lagi. Hal ini terjadi karena banyaknya keterbatasan untuk lebih mengenal Budaya Dayak.
Perlu lebih diperhatikan oleh kita sebagai kalangan muda, Suku Dayak tidak hanya terdapat di Kalimantan yang menjadi bagian dari Indonesia. Sebagian kecil ada juga di negeri tetangga kita, Malaysia. Sebagian kecil yang mungkin berdampak lebih besar pada dunia karena perhatian yang lebih besar. Relakah kita bila budaya kita diakui oleh negara lain?
Apakah kita hanya bisa bereaksi dengan menyumpah dan marah? Tunjukkan juga kalau kita juga berperan serta dalam pelestarian budaya kita, misalnya dengan mempelajari kesenian Dayak. Beberapa anjungan Kalimantan di Taman Mini Indonesia Indah membuka sanggar yang dibuka untuk siapa saja yang mau belajar. Informasinya ada di bawah ini.
Anjungan Kalimantan Tengah
Nama Sanggar: Namuei
Yang dilatih dan diajarkan: tari, musik (perkusi & kecapi), teater.
Latihan rutin: Rabu & Jumat pukul 15.00 WIB
Kontribusi: Iuran Rp 10.000/ bulan, kaos Rp 30.000
Contact person: Aat (081383658469) & Febby (085880079858)
Anjungan Kalimantan Barat
Nama Sanggar: Borneo Khatulistiwa
Yang dilatih dan diajarkan: tarian
Latihan rutin: Kamis & Minggu pukul 15.00 WIB
Sanggar ini juga menyediakan kostum dengan mengganti biaya perawatan.
Contact person: Juki (085880498984)
Anjungan Kalimantan Timur
Untuk sementara belum ada sanggar di Anjungan Kalimantan Timur. Ada beberapa sanggar yang berlatih di luar anjungan. Informasinya akan diberitahukan kemudian.
Tarian Dayak di Jalan Jaksa
Jakarta, 30 Juli 2010
Jalan Jaksa yang sehari-hari sebagai tempat wisata turis mancanegara malam itu juga dipenuhi turis lokal. Sepanjang jalan ditutup untuk sebuah acara berjudul Festival Jalan Jaksa. Acara yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta ini berlangsung selama 3 hari mulai dari 29 Juli sampai dengan 1 Agustus 2010.
Di tengah keramaian dan kumpulan orang berbusana ala Betawi, tampak terlihat bulu-bulu burung enggang yang bergerak menuju panggung utama. Penampilan yang berbeda itu menarik kebanyakan orang baik dekat maupun jauh. Para pengunjung yang datang sebagian mengikuti para penari dari Sanggar Borneo Khatulistiwa itu menuju panggung.
“Ini pasti Dayak, kita liat yok” kata seorang pengunjung yang lagi menunggu kerak telur kepada pasangannya.
Para penari dari Sanggar Borneo Khatulistiwa itu menarikan tarian kreasi yang menceritakan kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Tarian yang dinamis itu tidak membuat pengunjung bosan. Hal ini ditandai dengan pengunjung yang makin lama makin penuh walaupun tarian cukup lama. Sayangnya ketertarikan masyarakat tidak diimbangi dengan pengetahuan MC yang memberi penjelasan kurang tepat tentang tarian yang dibawakan.
Tarian ini menceritakan tentang bercocok tanam ,memanen, berburu dan kehidupan sehari-hari. Kegiatan berburu menggunakan sumpit ditunjukkan dengan menyumpit balon yang membuat beberapa orang terkejut. Begitu pula dengan teriakan khas Suku Dayak yang disambut dengan latah oleh beberapa orang.
Senyuman
Senyuman
Senyuman adalah garis lengkung yang dapat meluruskan masalah
Senyuman adalah bahasa yang dimengerti semua orang di dunia
Senyuman akan meluruhkan hati yang dipenuhi amarah
Senyuman adalah kado terindah dari seorang sahabat
Hormati orang lain untuk meraih senyuman
Jarak dapat memisahkan, namun senyuman melekatkan
Senyuman adalah cermin gembira dan suka cita
Bergembiralah karena Tuhan, maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.
Senyuman terbaik yang sama akan selalu kuberikan pada dunia sekitar
Akankah aku mendapatkan senyum terbaikmu juga, teman?
Akankah senyumku akan menular padamu?
Semoga...
Paskah Warga GKE di Jakarta & Sekitarnya : Acara Hari Kedua, 16 Mei 2010
Acara diawali dengan bangun pagi, mandi dan bersiap-siap. Untuk seseorang yang harus memantau persiapan sarapan, mandi urutannya agak berbeda dari yang lain, belakangan. Para peserta yang sudah siap segera menuju ruang makan tanpa komando. Semua peserta telah menerima rundown acara.
Tak jauh dari kolam renang, di sebuah vila berlantai 2, 3 orang gadis bersaudara sedang berjuang membuka pintu hampir dengan paksaan. Rampok? Mungkin saja kalau yang dibuka dari arah luar ke dalam. Mereka bertiga berusaha membuka dari arah sebaliknya, dari dalam ke luar. Mereka terkurung di dalam vila indah itu.
“krusak...krusuk....” bunyi dari berbagai macam usaha, mulai dari menggoyang handle pintu sampai nelpon orang-orang yang menginap di situ juga.
Akhirnya sang kakak tertua menemukan cara efektif yang terinspirasi dari para maling, lewat jendela. Kami bertiga menaikkan puji syukur kepada Tuhan Yesus atas tubuh langsing kami yang tidak nyangkut di jendela tinggi berbukaan sempit itu.
Setiba di tempat makan, sarapan telah dimulai. Para angels yang terkurung itu segera mencari oknum yang mengunci mereka dan makan bersama sambil saling cela.
Acara dilanjutkan dengan ibadah hari minggu yang dipimpin oleh Pdt Yoesiana Bahan. Kali ini kebanyakan peserta telah siap dengan senjata perangnya, Alkitab. Pdt Yoesi membawakan khotbahnya dengan baik dan mudah dimengerti. Ibadah berlangsung dengan hikmat bersama lagu merdu dan musik indah.
Saat ibadah berlangsung, seksi perlengkapan telah menyebarkan telur rebus dan telur-teluran di sebuah taman bermain dengan pendopo kayu yang nyaman. Para peserta tua dan muda sangat bersemangat dengan kegiatan ini. Musikpun sejenak terhenti karena sang pemusik lebih tertarik pada kegiatan mencari telur. Para peserta kembali ke aula dengan cerita seru masing-masing.
Via Renata bertambah meriah dengan kedatangan beberapa peserta lagi yang memang mengabarkan baru bisa bergabung di hari kedua.
Acara berlanjut lagi dengan sesi yang dibawakan oleh Bpk Sabaruddin Napitupulu. Bpk sabaruddin Napitupulu adalah seorang yang telah menerima dan merasakan kasih sayang Tuhan Yesus dalam hidupnya dan berkomitmen membagikannya pada sesama. Warga GKE sebagian sudah cukup akrab dengannya karena pernah diundang juga untuk acara sebelumnya. Sesi yang dibawakannya melibatkan semua peserta secara aktif dam memberikan pengajaran yang mudah diingat.
(Walaupun mudah diingat, pelajaran itu tidak dituliskan di lembar ini. Penulis yang juga seksi acara tidak sepenuhnya mengikuti sesi ini karena (sok) sibuk mengurusi acara berikutnya beserta perlengkapannya).
Acara dilanjutkan lagi dengan pengumuman pemenang, pembagian hadiah dan yang ditunggu-tunggu banyak orang....doorprize. Untuk menentukan pemenang lomba manasai, kelompok Samson & Musa diadu lagi. Kehebohan terjadi lagi sampai ditemukan pemenangnya adalah Kelompok Musa. Selamat kepada para pemenang. Panitia menyediakan hadiah untuk kedua kelompok ini.
Hadiah demi hadiah berpindah tangan sampai tibalah hadiah utama berupa dinner set dan TV. Kedua hadiah utama ini ikut pulang bersama pasangan Napitupulu yang namanya juga tertulis dalam kertas kecil untuk diundi itu. Bpk Sabaruddin kembali menyampaikan beberapa kata dan kesan untuk menutup acara doorprize ini.
Acara dilanjutkan dengan foto-foto di bawah koordinasi Othe Sutar, fotografer sekaligus penata gaya. Ada yang berdiri, ada yang duduk. Tege ji mendeng, tege ji munduk. Tege ji sila sambil, tege ji sila gantau. Ada yang tertawa, ada yang senyum. Ada yang (katanya) manyun, ada yang nyengir lebar. Ada baju warna gelap, ada baju warna terang. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang minta difoto lagi, ada yang minta udahan aja karena giginya kering.
Koordinasi acara berikutnya menggunakan bahasa isyarat. Seksi acara memandang seksi konsumsi dengan mengangkat alis, seksi acara mengacungkan jempol. MC langsung mengarahkan peserta untuk makan siang bersama. Setelah makan siang, acara bebas yang dilanjutkan dengan persiapan kembali ke Jakarta.
Peserta yang telah siap dengan barang bawaannya, masuk ke bis yang membawa kembali ke ibu kota. Perjalanan agak tersendat dan beberapa kali mampir ke toilet. Rombongan tiba kembali di Mess GKE di Cawang dekitar pukul 18.00.
Paskah Warga GKE di Jakarta & Sekitarnya : Acara Hari Pertama, 15 Mei 2010
Acara dimulai dengan registrasi dan berangkat ke puncak tentunya. Rombongan menggunakan 1 buah bis besar dengan kapasitas 54 tempat duduk. Bapak Tuhas Saloh & Nina Ugang saling berkoordinasi untuk persiapan keberangkatan.
Rombongan berangkat tepat seperti yang dijadwalkan, pukul 8 pagi. Perjalanan agak tersendat setelah keluar dari tol Jagorawi. Panitia yang sudah lebih dulu berangkat menantikan para peserta sampai terkantuk-kantuk teriring oleh angin sepoi yang sejuk.
Peserta tiba sekitar pukul 11.00 yang dilanjutkan dengan doa pembukaan. Para peserta disambut oleh Ketua Panitia, Ibu Lely Hendrawati Mustamu. Acara kemudian sedikit dimodifikasi menjadi makan siang, yang sudah pasti disetujui oleh banyak pihak yang punya ternak dalam perutnya. Para peserta makan di ruang makan tanpa dinding yang sejuk.
Setelah makan, acara dilanjutkan dengan pembagian kelompok. Peserta dibagi menjadi 4 kelompok yaitu: Petrus, Samson, Yunus, Musa. Nama kelompok ini dipilih dari nama-nama yang terpilih di dalam Alkitab. Nama kelompok yang dipilih oleh seksi acara yang orangnya tidak banyak itu. Mekanisme pembagian kelompok cukup sederhana, cukup membuat kumpulan berisi 10 – 12 orang. Pembagian sederhana yang menghebohkan. Setelah gerombolan orang itu mengelompok, Devi sang MC meminta setiap kelompok berbaris berurutan sesuai dengan tanggal kelahirannya.
“Tanggal brapa?....Tanggal pire?....casciscuscasciscus” begitulah kira-kira bunyi yang tertangkap dari para peserta.
Ada pula peserta yang lahir di tanggal 5 dengan PD langsung menuju baris depan tanpa bertanya dulu adakah yang ultah di tanggal 1 -4.
Acara dilanjutkan dengan pembagian kamar dan game, diselingi pula oleh lagu-lagu yang diiringi oleh Timmy pada keyboard dan Frans pada biola.
“Jika padaku ditanyakan apa akan kubritakan pada dunia yang penuh penderitaan, kan kusampaikan kabar baik pada orang-orang miskin, pembebasan bagi orang yang ditawan; yang buta dapat penglihatan, yang tertindas dibebaskan; sungguh tahun rahmat Tuhan sudah tiba. Krajaan Allah penuh kurnia itu berita bagi isi dunia.” Peserta menyanyikan lagu tema yang penuh arti itu.
Sekali lagi jadwal acara harus dimodifikasi karena kamar tempat peserta menginap belum siap. Petugas Via Renata memberitahukan kalau kamar baru siap pukul 14.00, sedangkan rencana seksi acara (yang sudah dimodifikasi juga) paling lambat pukul 13.00 peserta sudah di kamar. Seksi acara yang Cuma 2 orang itu melakukan berbagai upaya sampai hampir mati gaya. Yang 1 bertugas sebagai MC membuat acara perkenalan keluarga. Yang 1nya lagi sibuk nguber-nguber orang front office menanyakan kesiapan kamar.
“Nit...nit...nit...nit...” bunyi telpon hitam yang berkali-kali dipencet angka 1112 menuju front office.
Permintaan kunci kamar di pukul 13.00 tidak dikabulkan.
Permintaan kunci kamar di pukul 13.10 tidak dikabulkan juga.
“Kalo beda 10 menit kan sama aja mbak” kata si mbak nun jauh di front office sana.
Permintaan kunci kamar di pukul 13.20 tidak dikabulkan juga.
“Sabar ya mbak, lagi dibersihkan kamarnya” kali ini suara cowok dari extension 1112.
Permintaan kunci kamar di pukul 13.30?
“Kami tidak bisa menjanjikan siap semuanya, tapi nanti kuncinya diantarkan, kalau jam 2 pasti bisa” jawab si mas yang tadi.
“Okelah kalau begitu” jawab si Ana yang langsung update info ke MC yang hampir kehabisan orang untuk diperkenalkan.
Setelah menekan tombol 1112 untuk ke-7 kalinya, didapatlah jawaban yang dinantikan....kamar telah siap. Informasi yang segera disampaikan ke MC dengan berloncat girang. Para peserta menuju ke kamar masing-masing dengan barang bawaannya. Selanjutnya adalah acara bebas yang oleh kebanyakan peserta digunakan untuk tidur siang, termasuk oleh orang yang menuliskan cerita ini.
Acara dilanjutkan lagi dengan makan malam pada jam 6 sore. Makan malam berjalan lancar dengan koordinasi oleh Yiyi, seksi konsumsi yang berpengalaman 3 tahun dan punya hobi makan itu. Dari seksi acara tinggal menunggu isyarat jempol dari Yiyi untuk memulai doa makan. Sementaa itu, hadiah-hadiah mulai berpindah tangan ke orang yang namanya tertulis pada kertas kecil.
Setelah makan malam, acara dilanjutkan dengan lomba manasai. Manasai adalah tarian rakyat masyarakat Dayak dalam suatu perayaan. Lomba ini dibuat untuk mengingatkan kita sebagai manusia perantauan akan kampung halaman dan kebersamaan para pendahulu kita di tanah leluhur. Lomba ini juga untuk meningkatkan kekompakan para peserta di kelompok masing-masing. Banyak peserta yang tidak tahu gerakan manasai. Ada pula yang langsung sigap mengajarkan. Ada yang menjadi koreografer dadakan. Ada yang berimprovisasi dengan selendang dan selimut. Semua saling melengkapi. Ada juga yang foto-foto.
Lomba ini dinilai oleh 3 orang juri : Bpk Victor Phaing, Bpk Riwung Toemon, Indu Lola (maaf mina, nama lengkapnya tidak tahu ---> dari penulis). Tiga orang yang duduk di kursi kehormatan ini memberikan penilaian untuk tarian para peserta. Score akhir lomba ini menghasilkan 2 kelompok bernilai sama, yaitu Kelompok Samson & Musa. Kedua kelompok itu akan kembali bertarung memperebutkan kedudukan sebagai juara dan hadiah biskuit keesokan harinya.
Setelah lomba yang penuh semangat, canda dan tawa itu, tibalah waktunya renungan malam yang dibawakan oleh Pdt Wuwungan dimana para peserta diingatkan lagi akan kasih besar dari Tuhan Yesus. Diingatkan pula untuk peserta yang tidak membawa Alkitab artinya tidak siap untuk berperang. Peringatan yang membuat beberapa orang saling melirik nyontek buku tebal yang dipangku orang di sebelahnya.
Dengan berakhirnya renungan malam ini, berakhir pula acara resmi di hari pertama. Peserta bebas melakukan kegiatan berikutnya. Sebagian besar mengunjungi pulau kapuk. Sebagian kecil yang berjiwa muda melanjutkan kegiatan lain.
Pasukan Pembeli Telur
Membeli telur sebenarnya adalah tanggung jawab seksi acara yang membuat rencana permainan cari telur untuk hari kedua. Pekerjaan yang sebenarnya hanya memerlukan 2 tangan itu ternyata peminatnya cukup banyak, berkembang jadi 2 mobil yang terisi penuh. Pasukan kecil yang terbentuk dengan cepat ini tidak hanya dari panitia dan peserta, ada juga dari teman yang mampir setelah ada kegiatan lain tidak jauh dari situ.
Devi & Mas Bram yang bertindak sebagai pilot segera mengarahkan mobil ke toko kecil serba ada tidak jauh dari situ. Ana si penanggung jawab telur segera turun dan memborong hampir semua benda oval itu. Yiyi si seksi konsumsi ikut membantu memilih telur. Hendy dan Indra dari seksi perlengkapan ikut pula membantu. Setelah para telur ditimbang dan dibayar, kami kembali lagi ke penginapan.
“Segini doang perginya?” suara tanya terdengar dari bangku belakang.
“Nggak kok, ini bentar doang nganter telur, abis ini jalan lagi makan sate yang dipromosiin si Yiyi dari siang tadi” kata si Ana tanpa menoleh ke belakang di tengah kantong plastik berisi telur.
Telur kemudian diserahkan ke Ibu Laura Tundang dan Ibu Betsy Saloh untuk direbus. Panitia mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan kedua ibu ini merebus telur.
Pasukan pembeli telur melanjutkan perjalanan ke sate Maringi (?), sate daging yang tusukannya berselang-seling lemak dan daging. Sate ini sangat direkomendasikan oleh seksi konsumsi yang doyan makan itu. Mobil Mas Bram sudah berangkat lebih dulu. Mobil yang berisi pengurus telur paskah menyusul dengan petunjuk seadanya dan keyakinan pasti bisa menemukan. Ternyata keadaan agak berbeda, mobil kedua terlewat terlalu jauh dan harus memutar arah.
Rombongan mobil kedua langsung mengambil posisi untuk makan sate yang tersaji dengan cepat itu. Sate itu disajikan dengan ketan bakar dan sambel oncom juga. Asap putih bearoma daging bakar melengkapi suasana. Setelah semua selesai makan, dilanjutkan dengan quick count alias hitung-hitungan. Dengan total harga yang menurut ibu seksi konsumsi tidak terlalu mahal, maka ditraktirlah kami semua. Sedikit tersirat pandangan sesal di mata beberapa orang, tau gitu makan banyak-banyak aja hehehe....
Perjalanan kuliner ini masih berlanjut dengan minum sekoteng di Cipanas yang dingin. Si abang sekoteng ini diingat karena caranya menawarkan menu sekotengnya dengan kalimat “pake nenen neng?”. Kalimat yang sangat berkesan untuk si tukang makan yang bertugas di tempat yang tepat yaitu mengurusi konsumsi itu. Sesi sekoteng ini dilengkapi dengan foto-foto dengan kamera sakit mata. Seksi dokumentasi lebih memilih tinggal di penginapan. Sesi ini berakhir dengan kudeta yang dilakukan pasukan itu atas gerobak si sekoteng nenen.
Dua mobil itu akhirnya beriringan kembali ke Via Renata. Beberapa orang harus mempersiapkan hari esok yang penuh harapan (nyontek dari lagu) dan tanggung jawab. Di dalam rombongan itu ada orang-orang yang bertanggung jawab sebagai seksi acara, seksi konsumsi, seksi perlengkapan dan pemusik. Orang-orang yang wajib bangun pagi.
Pasukan dibubarkan oleh gelapnya malam....balik kanan grakk!!!
Paskah Warga GKE di Jakarta & Sekitarnya : Keberangkatan Tim Advance
Tempat : Via Renata, Cimacan
Sabtu 15 Mei 2010
Tim Advance yang terdiri dari Devi, Ana, Hendy, Indra, Timmy dan Frans kali ini cukup luar biasa. Mengapa luar biasa? Karena yang biasa pasti berangkat sehari sebelumnya. Mereka berangkat pas di hari kegiatan, sabtu dini hari.
Kegiatan di pagi hari itu dimulai dengan Ana yang bangun lebih pagi karena berniat fotokopi lagu untuk acara. Persiapan ini seharusnya dilakukan malam sebelumnya. Dengan dalih agak pusing dan susah nyetir, didukung pula ada fotokopian 24 jam, jadilah pekerjaan itu tertunda sampai menjelang keberangkatan. Dan ternyata fotokopian di dekat rumah tutup. Problem sederhana dengan solusi sederhana pula, tapi perlu waktu.
Devi, sang koordinator acara yang sudah lebih dulu menjemput para pemusik sudah tiba di rumah. Para jagoan perlengkapan belum muncul dan ditunggu dulu beberapa jenak.
Setelah semua lengkap, mampir ke Rawamangun. Di sini fotokopian dan percetakannya memang buka 24 jam. Tidak lama kemudian, kami sudah meluncur di tol dalam kota, lanjut ke jagorawi. Perjalanan lancar skalee...Tiba di Puncak kurang dari 1 jam.
Timmy tidur hampir sepanjang perjalanan. Hendy sibuk mengunyah cemilan bawaan Timmy. Yang lain menikmati musik dari ‘The Back Street Boys’. ---> Sebenernya ada musik lain juga sih, tapi ingetnya yang ini, boyband idola adikku yang jadi seksi konsumsi.
Setelah meninjau lokasi sejenak, kami mampir dulu untuk nyarap bubur di sebuah tempat makan bertulisan ‘Lesehan’ tetapi lebih banyak meja & kursinya. Menu yang ada pagi itu Cuma 1 macam: bubur ayam, bisa kombinasi pakai ati atau ampela.
Setelah sarapan, kami kembali ke Via Renata, menuju front office.
“O...semua sudah diatur oleh Ibu Lely” kata si mbak front office seraya menyebut nama ketua panitia yang memang jagonya ngurusin urusan macam gini.
“Kalo gitu kami liat ruangannya aja” kata Devi.
Bermobil bersama dengan formasi sama menuju ruang meeting Dahlia. Cek sound system, listrik, layout dll dilakukan dengan cepat. Cek taplak meja, gelas & toilet dilakukan sendiri oleh satu²nya anggota tim yang cewek.
Penantian kami baru saja dimulai saat terkirim kabar kalau rombongan terkena macet saat keluar tol. Kami menuju taman bermain yang ada gazebonya. Sebagian besar mencoba untuk tidur demi menebus waktu tidur yang telah terpangkas. Tapi apa daya, jadinya malah foto bersama.
Dari Betang 70 Tiang: Here, There & Everywhere
“Kiblat kemana ya?” Tanya seorang perempuan berjilbab kepadaku.
“Wah kurang tau ya....” Jawabku dengan ramah. Jawaban ini bukan berarti aku tidak peduli dengan keyakinan lain, tapi karena memang benar kurang tahu, apalagi saat ini beredar berita kalau kiblat di Indonesia ini telah bergeser.
Seorang bule mendekat ke meja itu untuk mengisi buku tamu. Seorang bule londo yang lebih bisa berbahasa Indonesia daripada Bahasa Inggris.
“Ini buat apa? Depok” Si bule bertanya dan menjawab sendiri sambil menunjuk kolom pada buku tamu.
“Itu buat alamat” jawabku dalam Bahasa Indonesia juga. “Address” kataku lagi begitu melihat kerutan di jidat si bule berbaju orange itu. Sepertinya kosa katanya belum nyampe kata ‘alamat’
“Home address or email address?” Si bule nanya lagi.
“Up to you” jawabku sambil beralih melakukan kegiatan lain.
“Kiblatnya kemana ya?” Kali ini sepasang manusia bertanya bersamaan.
“Maaf saya kurang tau” jawabku lagi.
Betang di anjungan Kalteng Taman Mini ini sangat luas dan cukup sepi di siang hari. Beberapa orang yang mau menunaikan ibadah sholat terkadang melakukannya di sini karena tidak ada mushola.
“Apa kiblat?” Si bule nanya lagi.
“Astaga, ini bule gak nanya arah kiblat juga kan yah...” kalo yang ini hanya perkataan dalam hati.
“Kiblat is the direction to pray for Moslem” Nah yang ini jawaban yang aku ucapkan pake Bahasa Inggris sebelum sadar kalo bule yang 1 ini diomongin pake Bahasa Indonesia juga ngerti kok.
“I think you don’t know” si bule berkata sok akrab sambil agak berbisik.
“It’s true. I don’t know. I’m a christian, I can pray everywhere” Jawabku lagi.
“I’m a christian too, we can pray here, there & everywhere. God bless you. God bless Indonesia” Kata si bule lagi sambil keluar dari betang itu.
Catatan:
Untuk teman-teman bernama Chris / Kris
Doa dari Dekat Jendela
Telah 2 kali aku menemani dan menjaga 2 orang dari keluargaku di rumah sakit yang sama dengan kelas kamar yang sama. Yang pertama menemani mamah yang kena stroke ringan bulan Agustus 2009. Sekarang, Januari 2010, aku menemani adikku Yiyi. Kedua orang itu menempati kamar dengan 3 orang pasien.
Pada kedua kejadian itu, tempat tidur paling ujung dekat jendela selalu ditempati seorang ibu yang ditemani oleh suaminya. Ibu-ibu yang berusia sekitar 40-an. Trus apa istimewanya? Mengapa cerita ini harus ada?
Tadi malam, saat aku menjaga Yiyi, di tengah malam buta saat aku sedang membaca, si Om suami tante di tempat tidur sebelah menghampiri istrinya dan mereka berdoa bersama. Di pagi hari sebelumnya, aku juga melihat mereka membaca Alkitab bersama dan membaca renungannya. Hal yang nyaris tidak pernah terjadi di rumahku. Kalaupun ada doa bersama, itu hanya terjadi pas lagi ada acara khusus dan kalau ada tamu. Munafik? No comment deh. Tapi itulah kenyataannya dan kalau makin dipikirkan hanya akan membuat kecewa.
Peristiwa di tahun lalu, selama 13 malam mamah ada di rumah sakit. Pasangan suami istri setengah baya di tempat tidur dekat jendela juga selalu berdoa bersama. Sang suami dengan setia menjaga istrinya yang demam dan merintih kesakitan. Si Om juga dengan sabar mengompres dan menyuapi istrinya. Melihatnya, membuatku berdoa untuk kesembuhan tante itu dan berdoa semoga mereka berdua selalu hidup bahagia.
Sangat berbeda dengan seorang ibu di tempat tidur dekat tembok, mamahku. Suaminya hampir tidak pernah terlihat memimpinnya berdoa, tidak pernah menjaga saat sakit. Menyuapi? Kata mamahku pada saat sakit kali inilah dia disuapi lagi sejak hari pernikahannya. Itu pun berantakan dan tidak nyaman yang membuat mamah merasa lebih baik menyuap dirinya sendiri. Lagi pula pada zaman itu yang ketahuan saling menyuap akan ditangkap KPK (?).
Aku merasa terharu banget melihat para suami di tempat tidur dekat jendela itu. Iri? Mungkin. Pingin suami kaya gitu? Pastilah...Seperti itulah kepala keluarga yang aku bayangkan. Yang sekarang? Yah...sebagai anak kan gak bisa milih mau dilahirkan di keluarga mana.
Lebih mudah bagi seorang ayah untuk memiliki anak-anak dibandingkan dengan anak-anak memiliki seorang ayah sejati.
2009
Tahun dua ribu sembilan
Tahun penuh kenangan dan perjuangan
Meninggalkan yang nyaman
Meninggalkan yang mapan
Meninggalkan yang tampan
Tahun dengan banyak teman
Tahun dengan banyak dukungan
Tahun dengan banyak arisan
Tahun dengan keponakan
Tahun dengan kesedihan
Tahun dengan kehampaan
Tahun dengan kesukaan
Tahun dengan kebebasan
Tahun dengan keceriaan
Tahun dengan pemaknaan
Bagian dari masa depan
Wayangan
13 Feb 2010
Di suatu malam minggu yang cerah, aku dan seorang ‘mas’ melintasi sekitar Monas. Si mas itu langsung menginjak pedal rem demi melihat sebuah layar lengkap dengan wayang kulit dan gamelannya. Susah juga dia menolak panggilan darah leluhur. Sayangnya mobil telah melintasi lokasinya. Tapi si mas jangkung bermata besar itu tidak menyerah. Dia mengambil jalan memutar menuju ke lokasi semula. Dan akhirnya tibalah kami di halaman depan RRI di Jalan Merdeka Barat.
Di emperan jalan sampai halaman gedung itu sudah banyak orang menggelar dagangan yang ‘Jowo banget’ dan ‘begadang banget’. Ada blangkon, batik aneka rupa, kopi instan aneka merk yang langsung diseduh saat dipesan, cemilan dan jasa membersihkan karang gigi. Nah, yang terakhir itu masih belum nemu juga dimana sambungannya ama wayang kulit.
Kami nyempil di antara orang-orang mencari tempat paling strategis untuk melihat aksi pak dalang. Mas Jowo yang ngakunya bertubuh langsing itu membawaku menyusup ke bagian kanan panggung, agak ke depan. Kami berdiri beberapa saat di situ sampai akhirnya si mas menyadari sesuatu...
“Kamu gak cocok banget yah di sini” kata si mas ke perempuan sipit di dekatnya.
“Masa sih?” aku malah nanya karena bingung. Mau dibahas kok kayanya gak penting-penting amat. Mengingat malam itu adalah malam tahun baru imlek, mungkin maksudnya orang yang punya mata sesipit aku lebih cocok makan malam bersama keluarga besar bukannya nonton wayang. Atau karena di sisi panggung sebelah situ semuanya ‘mas-mas’? Mboh ya...
“Kita ke seberang sana aja” kata si mas sambil mendorongku nyebrang ke sisi panggung yang lain.
“Permisi...permisi...permisi” kataku sambil melewati orang-orang yang duduk di bawah dengan sikap agak membungkuk sesuai ajaran Almarhumah Eyangku yang Wong Jowo.
Sesampainya di seberang, kami berdiri lagi karena memang tidak ada tempat duduk yang tersedia. Kami berdiri membelakangi beberapa orang yang duduk di teras gedung.
“Pluk” Seseorang menimpukiku dengan kacang.
(Sebutan paling tepat untuk kacang itu apa ya? Sebutir? Gak juga, kan di dalam kacangnya bisa jadi ada 2 atau 3 butir. Sebuah? Itu kan bukan buah. Karena dianggap gak penting, kalimat di atas cukup dengan kacang saja. Coba deh, kalo tulisan di dalam tanda kurung ini gak dibuat, pasti gak ‘ngeh’. Iya tho?)
Aku langsung mencari-cari siapakah oknum yang bertanggung jawab menimpuk tapi tau donk akhir ceritanya. Mana ada yang mau ngaku. Sempat mau ngomel juga sebelum tersadar kalau mereka memang punya nasib apes karena mesti liat bagian belakang, so dimulailah cara untuk menarik perhatian supaya bisa melihat wajah yang ditimpukin yang tentunya lebih manis. GR bin narsis sih judulnya, daripada bete sendiri. Blom lagi mesti menerjemahkan omongan sang dalang. O iya, mas yang mengajakku itu tampangnya doang yang ‘Wong Jowo’, kalo ngomong kok jadi ‘Uluh Kapuas’. Masih mendingan aku deh....Walau bertampang merayakan imlek dan berambut kribo ala Indonesia Timur, sebagi putune Wong Jowo aku masih ngerti sedikit.
Setelah kepindahan kami ke sisi seberang, beberapa orang ‘penting’ yang duduk di kursi melambaikan tangan berpamitan pulang. Jam tangan bundar di tangan kiriku menunjukkan pukul 12 tengah malam (kelewatan sedikit sih...jam tanganku memang selalu lebih cepat dari normal supaya gak telat kalo janjian). Apakah mereka ini cinderella versi dunia wayang? Kira-kira bakal berubah jadi apa ya pakaiannya?
Yati Pesek, artis terkenal yang kurang kukenal menyanyikan sebuah lagu, nyinden. Lagunya gak tau deh judul apalagi artinya. Yang pasti, setelah belajar sedikit olah vokal, menyanyi seperti itu perlu kemampuan khusus dan perlu latihan. Kalo untuk event macam ini masih perlu tambahan kesabaran, muka ramah dan kemampuan begadang yang tinggi. Belum lagi dengan dandanan kebaya bersanggul bulatnya. Salut....
Malam itu, sepertinya pak dalang melakonkan cerita Mahabharata. Bisa tertebak dari tokohnya yang sedang berantem, Duryudana, salah satu pentolan Kurawa. Sebenarnya selama hampir 1 jam kami di situ, ceritanya tidak terlalu berjalan cepat, hanya seputar berantem antar tokoh wayang. Yang membuat seru adalah celotehan dalangnya plus musik gamelan yang mengiringinya. Rasanya pas banget mengiringi tokoh wayang yang terpukul, terpelanting, tertusuk, ketakutan dll.
“Walah, keabotan” salah satu komentar dalang waktu salah satu wayang tertimpa lawannya. Halaman RRI itu menggemuruh dengan tawa. Mas jangkung di belakangku malah nanya “apaan sih?” hehehe... Jowo ne blasteran sih.... Si mas jangkung itu akhirnya foto-foto aja sambil sesekali ngomel tentang lensa dan kasih tau niatnya mau bikin sirik beberapa orang teman.
Kami meninggalkan area wayangan mendekati 00.30 dini hari. Dengan kemampuan begadang di bawah sang dalang mendingan pulang aja, ngantuk. Melangkah kembali melintasi orang-orang yang menatap ke layar dan berbagai macam dagangan. Sekali lagi penjual jasa membersihkan karang gigi mengusik hati.
Kura-kura dan Keluarga
Yang tercatat sudah 3 generasi keluarga kami memelihara kura-kura. Dimulai dari kakek kami, yang dipanggil Bue. Dia memelihara kura-kura di dalam ember di kamar mandi. Di masa lalu, dia juga memelihara kura-kura di bawah sebuah rumah panggung. Rumah besar bernama LMAXI.
Saat ini di kolam belakang rumah keluarga kami, ada 8 ekor kura-kura:
1. Obesitas 1
2. Obesitas 2
3. Obesitas 3
4. Obesitas 4
5. Obe 2 Wing (Obe Tuwing)
6. Frank
7. Klin
8. Kuku (titipan sepupu)
Empat nama pertama, biasanya dipanggil dengan Obe. Untuk urutannya, hanya nyonya rumah yang tahu. Seorang ibu yang juga merupakan anak pertama si Bue.
Sebelum Obe 2 Wing, kura-kura yang dipelihara dari masih dalam telur itu, ada juga seekor yang berhasil hidup setelah menetas. Dia bernama Quando Obe1 Kenobi, yang menghirup udara dunia ini hanya 3 hari. Diduga oleh banyak orang, Quando meninggalkan dunia ini karena keberatan nama. Nama itu diberikan oleh 2 orang bersaudara, sang kakak suka film Starwars, sang adik lagi suka melantunkan lagu Quando dengan gaya ngantuk.
Di urutan 6 &7, diduduki sepasang kura-kura Brazil berwarna hijau yang dipelihara dari masih sebesar koin sampai hampir menyamai ukuran Obe. Pemilik kura-kura ini adalah anak ketiga di rumah kami yang jarang ngurusin piaraannya.
Kuku adalah kura-kura playboy titipan sepupu kami. Kura berwarna hitam yang sering mengejar-ngejar para Obe. Hewan yang konon kabarnya bergerak lambat itu sampai terbirit-birit dengan kecepatan di atas normal. Menurut seorang nenek dari seorang ‘koko’, kura-kura itu melambangkan kebijaksanaan. Teringat pada sang guru di film kungfu panda yang berbentuk kura-kura. Guru yang bijaksana itu, Master Oogway (bener gak yah tulisannya? Tadi nanyain temen yang katanya suka nonton tapi dia lupa) bergerak agak lamban tapi sakti dan bijaksana. Begitu juga Master Yoda di film Starwars, walaupun tidak spesifik kalau dia kura-kura, tapi berumur panjang, bijaksana dan berwarna hijau (agak maksa juga yah?).
Masih belum jelas, mengapa keluarga kami yang berasal dari Suku Dayak Ngaju di Kalimantan maksud memelihara kura-kura selain dari hobi. Itu adalah salah satu alasan mengapa ada kata ‘bersambung’ pada akhir cerita ini. Topik ini juga selalu abadi di pertemuan keluarga kami, selalu dibicarakan dengan muka berbinar senang. {ST}
Saat ini di kolam belakang rumah keluarga kami, ada 8 ekor kura-kura:
1. Obesitas 1
2. Obesitas 2
3. Obesitas 3
4. Obesitas 4
5. Obe 2 Wing (Obe Tuwing)
6. Frank
7. Klin
8. Kuku (titipan sepupu)
Empat nama pertama, biasanya dipanggil dengan Obe. Untuk urutannya, hanya nyonya rumah yang tahu. Seorang ibu yang juga merupakan anak pertama si Bue.
Sebelum Obe 2 Wing, kura-kura yang dipelihara dari masih dalam telur itu, ada juga seekor yang berhasil hidup setelah menetas. Dia bernama Quando Obe1 Kenobi, yang menghirup udara dunia ini hanya 3 hari. Diduga oleh banyak orang, Quando meninggalkan dunia ini karena keberatan nama. Nama itu diberikan oleh 2 orang bersaudara, sang kakak suka film Starwars, sang adik lagi suka melantunkan lagu Quando dengan gaya ngantuk.
Di urutan 6 &7, diduduki sepasang kura-kura Brazil berwarna hijau yang dipelihara dari masih sebesar koin sampai hampir menyamai ukuran Obe. Pemilik kura-kura ini adalah anak ketiga di rumah kami yang jarang ngurusin piaraannya.
Kuku adalah kura-kura playboy titipan sepupu kami. Kura berwarna hitam yang sering mengejar-ngejar para Obe. Hewan yang konon kabarnya bergerak lambat itu sampai terbirit-birit dengan kecepatan di atas normal. Menurut seorang nenek dari seorang ‘koko’, kura-kura itu melambangkan kebijaksanaan. Teringat pada sang guru di film kungfu panda yang berbentuk kura-kura. Guru yang bijaksana itu, Master Oogway (bener gak yah tulisannya? Tadi nanyain temen yang katanya suka nonton tapi dia lupa) bergerak agak lamban tapi sakti dan bijaksana. Begitu juga Master Yoda di film Starwars, walaupun tidak spesifik kalau dia kura-kura, tapi berumur panjang, bijaksana dan berwarna hijau (agak maksa juga yah?).
Masih belum jelas, mengapa keluarga kami yang berasal dari Suku Dayak Ngaju di Kalimantan maksud memelihara kura-kura selain dari hobi. Itu adalah salah satu alasan mengapa ada kata ‘bersambung’ pada akhir cerita ini. Topik ini juga selalu abadi di pertemuan keluarga kami, selalu dibicarakan dengan muka berbinar senang. {ST}
Acara Ultah Mamah 60 tahun
5 Januari 2010, Selasa
Hari ini, 5 Januari 2010, 5 orang bersaudara dari Keluarga Riwut berkumpul bersama di sebuah rumah di Taman Solo, Cempaka Putih, demi merayakan sebuah peristiwa yang terjadi 5 lusin tahun yang lalu (60 tahun maksudnya). Enam puluh tahun yang lalu di Rumah Sakit Panti Rapih Jogjakarta, lahirlah seorang bayi mungil dari pasangan muda Clementine Suparti dan Tjilik Riwut. Putri mungil mereka yang berwajah bulat itu diberi nama Emiliana Enon Heryani.
Bapak Tjilik Riwut sangat senang mendokumentasikan putri pertamanya ini. Mungkin dialah satu-satunya bayi Dayak yang saat itu punya foto waktu umur 1 hari, 1 minggu, 1 bulan dst. Enon kecil juga punya foto-foto sedang cemberut, senyum, dan naik kambing. Foto-foto Enon kecil mengalahkan jumlah foto bayi anak bungsu yang dia lahirkan kelak di tahun 1984.
Enon kecil tumbuh menjadi gadis berambut ikal dengan 9 gulungan kebanggaan ibunya. Enon kecil mengikuti orang tuanya hijrah ke Kalimantan dan hidup sebagai Gadis Dayak dengan 4 orang adiknya yang konon kabarnya bedungil. Keempat adiknya itulah yang menjadi pemeran utama kehebohan yang terjadi hari ini. Mereka menamakan diri sebagai "Jago Kandang” khusus untuk hari yang bersejarah ini.
Kelak di kemudian hari, bayi mungil itu telah dewasa dan dipanggil dengan beberapa nama. Mbak Nunun oleh keempat adiknya dan segenap sepupu. Mina Nunun oleh para keponakan. Ibu Riwung oleh para rimbawan di Departemen Kehutanan. Indu Heru oleh kalangan uluh itah. Mamah Nunun oleh anak-anak adiknya. Bude Nunun oleh keponakannya dari Keluarga Martowijoyo.
Acara dimulai dengan persiapan di rumah, merapikan meja, menyusun piring & gelas, dan masak. Untuk acara ini Mamah khusus memasak sop buntut dan sayur sawi rebus. Kok, itu doank? Tentu tidak...selebihnya dibawa oleh adik-adiknya.
Kloter pertama yang datang sebagai seksi perlengkapan, dimotori oleh adik ke-4 Kameluh Ida Lestari dan Eddy Putradewa. Keduanya khusus didatangkan dari luar kota untuk acara spesial ini. Mamah Ida dari Tangerang. Om Eddy dari Jogja. Om Eddy juga bertindak sebagai pemusik organ tunggal.
“Bu, ini titipan dari Pak Letus,” kata Mba Pon, staf rumah tangga kami melapor.
“O iya, sini,” kata Mamah Nunun yang memang diberi tahu kalau adik bungsunya tidak datang di acara ulang tahunnya. Padahal ini hanya keisengan untuk ngerjain kakak tertuanya. Pada diri si adik bungsu terkumpul semua bakat iseng keluarga kami.
“Wahahaha….selamat ulang tahun,” terdengar suara Om Tus dari arah pintu depan yang disambut oleh wajah bingung tapi senang oleh kakak tertuanya yang belum nyadar kalo dia dikerjain.
“Aku kira ikam kada datang ding, maka tadi pagi bepadah kada datang,” kata mbaknya sambil tetap menenteng kantong plastik merah berisi ayam goreng dan bakmi.
Mamah Hawun, Om Chrys dan Mamah Nila datang sebagai kloter ketiga. Kedatangan mereka membuat kehebohan tersendiri karena berarti lengkaplah sudah 5 bersaudara itu berkumpul di tanggal 5 bulan pertama tahun ini. Sambil menantikan acara dimulai, organ tunggal Om Eddy mulai beraksi. Para penyanyi sudah siap dengan gaya dan lagu masing-masing. Mamah Ida dengan lagu ‘Hitam Manis’ (kenangan akan mantan?), Mamah Hawun dengan ‘Sepanjang Jalan Kenangan’, Om Chrys dengan ‘Ondel-ondel’ dan ‘Dondong opo Salak’, Papah Riwung dengan lagu ‘Ayah’, Mamah Nila dengan segala macam lagu dan gaya seperti biasanya.
Pada saat keriaan ini berlangsung, anak bungsu dari ibu yang berulang tahun itu sedang kurang fit. Dia buang-buang air terus dan muntah, sampai dehidrasi dan lemas. Demi mendengar keramaian di lantai bawah, dia ikut juga ke bawah walaupun harus dalam posisi terbaring di sofa ‘mambesei’ depan tv. Pasien ini juga menggunakan selimut garis-garis ala rumah sakit yang ada sulaman inisial TR-nya. Selimut warisan seorang perawat cantik yang menawan hati seorang pejuang ganteng asal Kalimantan. Sepasang pasien betah di sekitar sofa hijau bermotif bunga peninggalan Eyang. Yiyi dan Tutur, pasangan itu, keduanya lagi sama-sama kurang fit. Mereka terbaring di ruang UGD yang sama pada waktu yang sama, diantarkan oleh Yaya.
Acara dimulai jam 8 kurang 5 menit pada waktu jam bundar di ruang makan yang bergambar bapaknya Mamah Nunun atau tepat jam 8 malam di jam dinding hadiah apotik langganan Eyang.
“Happy birthday to you... Happy birthday to you...” nyanyi keluarga kami diiringi pemain organ asal Jogja tersebut.
“Panjang umurnya.... Panjang umurnya....”
“Tiup lilinnya....Tiup lilinnya....”
“Potong kuenya....Potong kuenya....”
“Bagi kuenya....Bagi kuenya....”
Berdoa bersama dipimpin oleh Bpk Riwung Toemon, dilanjutkan dengan makan malam. Pada saat makan malam dimulai, datanglah tamu-tamu lainnya. Kel Baner Awan, Mbak Bebet dan kedua cucunya, Segah dan Meitha. Tuhas dan Nita menyusul. Begitu pula Devi, babahnya Christian. Di atas meja makan kami, bertengger berbagai macam makanan yang bukan sekedar hiasan. Ada sop buntut, ayam goreng (2 macam), mi goreng (2 macam juga), tumis daun melinjo bunga pepaya, daun selada rebus kaya di lapo dan sambel tentunya. Sambelnya 4 macam. Tidak lupa pula pencuci mulut berupa asinan sayur dan buah yang dibawa oleh Mamah Hawun. Ada juga es campur yang diramu oleh jagoan dapur, Mamah Ida.
Adik-adik Mamah Nunun punya hadiah kejutan untuk kaka sulung mereka. Mereka mempersembahkan drama pendek 1 babak dan lagu. Tak tanggung-tanggung, mereka latihan mulai 7.30 pagi sampai sore. Mereka menamakan diri Group "Jago Kandang" Sebagian besar anggota group yang sudah setengah baya mengaku cukup pegal karena latihan yang cukup berat.
Mamah Nunun yang sebelumnya menari dan menyanyi gembira tiba-tiba merasa pusing setelah makan. Dia berbaring di kamar kecil yang disediakan khusus untuk tamu di rumah kami. Kamar kecil di sini artinya kamar yang berukuran kecil. Ana segera memberikan oksigen murni dalam tabung ke ibunya. Sampai tulisan ini dibuat, belum diketahui mengapa Mamah Nunun pusing. Banyak dugaan, entah gulanya ngedrop, kecapean karena kebanyakan goyang, kebanyakan makan. Entahlah...
Aksi ini dimulai dengan lagu Bawin Dayak yang sudah dimodifikasi dari album Manggatang Utus. Lagu yang dinyanyikan penuh semangat dengan latihan penuh niat. Kabarnya latihan dilakukan dari pukul 7.30 pagi sampai sore. Lagu ini juga telah dihapalkan oleh Epi, anak staf rumah tangga Mamah Hawun.
Bawin Dayak
Nai...nai...nai...nai...nai...
O Indu Heru puna ulah kikeh ikei dengam
O Indu Heru sundau ikau tupraw dahan ikei
Ikau mimbit ikei kawan andin belum bahadat
Manenga suntu akan ikei kawan andim
Reff :
Te kesah bihin metoh kurik ewau ranteng (4X)
O Mbak Nunun kita sudah yatim piatu
O Mbak Nunun tetap jadi wakil ortu kami
O Mbak Nunun maaf polah nakal kami
O Mbak Nunun lebih sabar menghadapi kami
Selanjutnya, aksi dilanjutkan dengan melagukan ‘Gundul-gundul pacul’, sebuah lagu Jawa dengan lirik Bahasa Dayak, blasteran. Untuk mengingat kalau kelima anak ini adalah peranakan Jawa Kalimantan (perjaka).
Gundul-gundul Pacul Mbak Nun Mbak Nun
Mbak Nunun Ela rise Uras andim badungil
Ela rise Nauh badungil tapi ikei respect dengam (2x)
Tepuk-tepuk tangan....tertawa ceriahahaha....
Persembahan untuk kaka tertua bertambah lengkap dengan diberikannya bunga anggrek dari Thailand yang dibawa oleh mamah Hawun, salib manik rangkaian tangan Mamah Ida, dan bingkisan syal berwarna hijau duye.
Drama 1 babak diawali dengan intro lagu ‘Kereng Bangkirai’. Lagu ini menceritakan seorang perempuan yang ditinggal mambesei sendiri oleh kekasihnya. Lagu yang terinspirasi dari Mamah Nila yang ditinggalkan suaminya yang lebih dulu dipanggil Sang Pencipta di Kereng Bangkirai. Kabarnya, sang janda yang berduka dihibur oleh kakaknya yang sedang berulang tahun saat ini. Kejadian inilah yang menjadi ide drama 1 babak. Janda yang pingsan dan baru siuman tapi masih tiduran diperankan oleh Mamah Ida. Kakak sulung yang menghibur diperankan oleh Mamah Nila, yang dengan potongan rambutnya sekarang semakin mirip kakak tertuanya itu.
Leleng, dinyanyikan oleh Sasha, Angel, Segah, Meitha. Penari: duet Tuhas & Mamah Ida yang dulunya memang pernah menari Leleng. Acara belumlah lengkap kalau Devi belum menyanyi. Dia menyanyikan ‘Bapa, Engkau sungguh baik’, lagu yang 2 hari sebelumnya mengetarkan kami. Tapi kali ini, berhubung sang pemain organ tunggal tidak bisa lagu rohani dan Christian berbuat ulah yang lucu, getarannya agak berkurang, walau begitu tetep keren kok nyanyinya. Seperti biasanya acara masyarakat Dayak, acara belum lengkap tanpa baram. Maka keluarlah baram dari tempat persembunyiannya dan segera menyebar di kalangan para tamu. Mengangkat gelas bersama. Kalau gak mau mabuk, harap ambil jarak aman dari Om Tus.
“Ayo ja...ayo ja...” frase ajakan minum dari seorang om yang warna hijau kesayangannya telah terukir di ingatan kami semua. Ajakan itu pun sama berkesannya karena ‘agak maksa’nya. Menjelang pulang, acara diakhiri dengan foto bersama oleh seksi dokumentasi abadi keluarga kami, Om Chrys. Tamu-tamu mulai pamit pulang. Penghuni rumah pun malah ada yang ikutan pamit mau mengurus adiknya di rumah sakit. {ST}
Kunjungan Yayasan Kasih Orang Tua dan Peduli Anak PNIEL, Bintaro
3 Januari 2009, Minggu
Setelah melintasi jalanan Jakarta yang cukup lengang di hari minggu ini, kami tiba di Bintaro. Kami menyusuri jalan kecil, atau gang besar yah itu? Yang jelas hanya cukup untuk 1 mobil. Kami tiba di sebuah bangunan yang bagian depannya bertenda.
“Ini bukan yah tempatnya?” tanya sang supir cantik dari Keluarga Toemon.
“Bukan, itu rumah orang lagi ada acara” Kata Pak Riwung.
Hmmmm....tapi kok mobil depan pada berhenti dan...parkir.
Ternyata benar, inilah tempat tujuan kami. Kami tiba lebih cepat dari waktu yang dijanjikan, pukul 17.00. Sembari menunggu acara dimulai, kami melihat-lihat berkeliling dan bersalaman dengan para warga senior di situ. Sebagian besar dari kami mengagumi pohon natal dan dekorasi yang terbuat dari sedotan warna-warni, sangat menarik. Dekorasi kreatif yang memerlukan waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk mewujudkannya. Timbullah niat untuk foto-foto oleh sebagian besar dari kami yang memang narsis, tapi....Othe Sutar sang seksi dokumentasi mana yah? Katanya tadi mau ikut. Ternyata dia lagi menjemput Lia yang memang tinggal di Bintaro.
“Tenang, gw bawa kamera kok” kata sang pengkhotbah yang bisa membaca situasi.
Klik...klik...jepret...jepret....senyum...smile...cheese....
Tabe sana, tabe sini....”Selamat Natal dan tahun baru” Kami saling menyapa dengan para uluh bakas. Sampai ketika 2 orang bersaudara bermata sipit menyalami seorang oma di kursi roda...
“Saya orang China lho, Hokkian” kata si oma beda sendiri dengan teman-temannya.
“Heh?” kaget kuadrat...
“Kami orang Kalimantan, kami Orang Dayak” jawab sang kakak yang sudah cukup sering dipanggil cici, tersadar seketika.
Si oma kemudian melanjutkan ceritanya kalau dia juga pernah tinggal di Kalimantan, Singkawang, selama 1 tahun. Kalimantan dengan panas teriknya dan makanan enaknya. Kakak Ana masih betah mendengarkan cerita si oma, adiknya udah ngabur. Dengan gaya gosip andalan para ibu seluruh dunia, si oma berkata...
“Yang itu orangnya judes, yang itu pelit, yang itu galak....dst” bisik si oma pada si Ana.
“Nah kalo yang di sana itu....” kalimat tidak dilanjutkan sambil menunjuk seorang opa. Kira-kira apa yah isi titik-titiknya? Ganteng? Baik hati? Tidak sombong? Mantan saya?
Yayasan itu bernama Pniel karena memang ada hubungannya dengan Gereja Ayam di Pasar Baru yang bernama sama, Pniel. Nama lengkapnya Yayasan Kasih Orang Tua dan Peduli Anak PNIEL. Awalnya yayasan ini hanya merawat yang lanjut usia dengan lokasi di belakang Gereja Pniel. Lahan yang kemudian dijual oleh sinode ke sebuah bank. Ternyata masalah ini tidak ditanggapi sama oleh seluruh orang yang terlibat sampai dibawa ke pengadilan. Salah satu pihak mengambil jalan untuk melibatkan preman sebagai solusi masalah ini. Tiga orang tua meninggal dalam peristiwa itu. Hal itu membuat Oma Stien sebagai pengelola hijrah ke Bintaro. Keputusan untuk menampung anak-anak korban kerusuhan di Ambon, diambil dan dilaksanakan belakangan. Oma Stien melanjutkan amanah dan cita-cita suaminya, seorang pendidik yang sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Anak-anak itu dipungutnya dari hutan-hutan. Anak-anak kecil yang penuh kemarahan dan dendam yang membara karena kehilangan banyak hal berharga. Saat ini Yayasan Kasih Orang Tua dan Peduli Anak PNIEL menampung 48 orang anak dan 38 orang lanjut usia.
Kunjungan ke yayasan ini adalah bagian dari rangkaian acara Perayaan Natal PW GKE yang akan diadakan tanggal 16 januari 2010 di Gedung Sucofindo. Panitia mengadakan ibadah dan menyediakan makanan untuk saudara-saudara kita di yayasan itu. Panitia juga mengundang anak-anak bersuara emas itu untuk melantunkan pujian dalam ibadah dan perayaan kita tanggal 16 nanti. Oma Stien juga meminta sedikit tempat untuk bisa menjual kaset dan cd dalam acara itu, yang langsung diiyakan oleh segenap panitia tanpa acara rapat.
Ibadah dibuka oleh MC, Devi Emerson yang dikenal oleh anak-anak Pniel sebagai ‘artis’. Menyanyikan 3 lagu pujian....
“Kusiapkan hatiku Tuhan....” melantun dari bibir dan jiwa kami dilanjutkan dengan doa sebelum pemberitaan Firman Tuhan oleh Bpk Reo Panggabean, STh.
Khotbah tentang gembala yang dipilih menjadi penerima kabar baik yang pertama kali oleh Tuhan. Gembala yang jaman dulu tidak ada artinya, tidak punya harga diri dan tidak punya kemerdekaan. Merekapun pasti akan merasa rendah diri. Perasaan yang mungkin juga dirasakan oleh adik-adik yang tinggal di panti ini. Adik-adik yang bersekolah di lingkungan luar dan mendapat ejekan dari teman-teman lain. Untuk renungan khotbah selengkapnya, bisa ditanyakan langsung pada sang pengkhotbah yang ditag juga dalam note ini.
Setelah khotbah, adik-adik ini menyanyikan sebuah lagu dengan sang ‘artis’, Devi Emerson Ambui. Lagu yang dibawakan dengan penuh penghayatan dengan suara emas yang sangat merdu, keren banget...Bapa, Engkau sungguh baik...
Bapa, Engkau Sungguh Baik
Bapa, Engkau sungguh baik
Kasih-Mu melimpah di hidupku.
Bapa, ku bertrima kasih
Berkatmu hari ini yang Kau sediakan bagiku
Reff : Kunaikkan syukurku buat hari yang Kau b’ri
Tak habis-habisnya kasih dan rahmat-Mu
Slalu baru dan tak pernah terlambat pertolongan-Mu
Besar setia-Mu di spanjang hidupku.
Penghayatan adik-adik dan suara yang sungguh indah membuat seorang perempuan jagoan yang menangis belum tentu setahun sekali hampir menitikkan air mata. Seorang perempuan yang berteman dengan para teman jagoan yang punya semboyan “boys don’t cry” (padahal dari pertama kali belajar Bahasa Inggris sudah tau juga kalo boys itu artinya bukan perempuan). Terharu karena mereka yang harus kehilangan orang tua dan tempat tinggal masih bisa bersyukur dengan penghayatan seperti itu. Terharu karena mereka sangat senang menerima bando baru yang seragam (kalo gw sih gak bangga, jadi teringat ejekan “kaya anak panti asuhan aja”). Terharu karena mereka harus menghadapi dunia luar yang harus dihadapi dengan kekuatan hati dan mental. Kagum karena mereka juga mengurusi oma opa tetangga mereka itu. Kekaguman yang hanya terwujud dengan tepuk tangan sangat keras macam orang demo.
Bpk Baner Awan, ketua PW GKE Jakarta dan Oma Stien mengungkapkan apa dan siapa mereka dan hal lainnya. Acara perkenalan para warga GKE yang berjumlah 16 itu...
Acara dilanjutkan dengan makan malam. Doa makan dipimpin oleh Ibu Ketua Panitia, Ibu Lely Hendrawati Tundang Mustamu. Makanan dan minuman dibagikan oleh Yiyi sebagai komandan, diikuti oleh Yaya, Lia, Nina dan Ana.
“Terima kasih kak” jawab seorang anak sambil tersenyum manis saat menerima makanan dari para pembagi makanan yang cantik-cantik itu.
“Ayo dimakan, kan tadi udah doa bareng” ujar Kaka Ana.
“Ntar kak, kan belom mandi” jawab sang adik berambut keriting itu....
Kaka Ana mengangguk-angguk dan segera menyantap makanannya dengan agak rakus, laperrr, belum mandi tentu saja. Adik-adik menghilang dari kursi bakso biru tempat mereka tadi duduk, pasti menghilang untuk mandi deh.
“En itah...” sebuah ucapan dari Pak Ketua PW GKE yang membuat kaki-kaki kami bergerak sebagai isyarat pamitan.
“Selamat Natal dan tahun baru Oma...terima kasih ya...sampai ktemu lagi tgl 16 Januari” kata kami pada Oma Stien sambil cipika cipiki. “Salam buat adik-adik” yang saat ini lagi berteman akrab dengan air, sabun dan handuk.
Cerita akan berlanjut 2 minggu lagi...
Abang² & Bidang Miring
Di sebuah pasar yang dagangannya kebanyakan lusinan, banyak sekali mas-mas dan abang-abang yang mencari pemasukan dengan menjadi kuli. Para kuli yang menjual tenaga dengan memanggulnya. Terpikir olehku mengapa juga tidak gunakan bidang miring atau sesuatu yang beroda untuk memudahkan pemindahan barang. Kalau memang harus dipanggul, cukup pada saat memuat di kendaraan. Praktis kan?
Bidang miring berprinsip dasar pada konsep yang sederhana, yaitu memindahkan suatu obyek dari suatu posisi ke level yang berbeda. Bisa turun kaya perosotan, atau naik. Tenaga yang dikeluarkan gak perlu sebesar kalau memanggul.
“Nah, itu ada kok di samping tangga” kataku dalam hati demi melihat sebuah ramp.
“Eh malah buat jualan juga, emang gak bisa liat tempat kosong nih orang-orang” yang ini dalam hati juga.
Tapi terpikir juga kalau semuanya jadi mudah, para kuli itu akan kehilangan pekerjaan. Orang yang belanja mending bawa belanjaannya sendiri, apalagi sekarang ada troli, si keranjang dengan roda itu. Apakah para abang itu merasa tersaingi oleh teknologi sederhana itu?
Selasa, 21 September 2010
Dua pasang Dua Bersaudara
Di suatu gedung gereja pada suatu senja, 2 pasang 2 bersaudara masing-masing duduk berdampingan menghadap ke arah yang sama. Dua kakak beradik perempuan, dan 2 kakak beradik laki-kali. Older sister dan younger brother yang pernah bekerja kompak dalam 1 tim saling bertukar sapa. (Kalimat ini niatnya mau pakai Bahasa Indonesia yang diyakini oleh penulis sebagai bahasa paling keren sedunia, tapi malah jadi kepanjangan dan agak aneh).
“Nggak tugas hari ini?” tanya younger brother.
“Lagi nggak nih” jawab older sister.
Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi, kedua orang itu kembali duduk di sisi saudara masing-masing.
“Mereka sodaraan ya? Mukanya mirip” Pertanyaan ini datang dari 2 orang berbeda: older brother dan younger sister.
Kedua orang yang pernah bekerja kompak dalam 1 tim itu tertawa bersama dan kembali saling menyapa.
“Kata adek gw kalian mirip, dikira sodaraan” kata older sister.
“Kata koko gw kalian mirip, dikira sodaraan” kata younger brother.
“Emang sodaraan hehehehe.....” Kedua orang yang pernah bekerja kompak dalam 1 tim itu menjawab sendiri dan tertawa bersama.
Bertje (Tulisan pakai ejaan lama, bacanya pakai ejaan baru)
Begitulah nama panggilan teman kami Bert yang selalu ada hampir di tiap kegiatan GKI Kwitang. Nama panggilan yang baru ketahuan setelah mendengar kata sambutan dari keluarganya setelah pemberkatan pernikahannya.
Hari ini, 2 Januari 2009, namanya mengisi buku liturgi pernikahan di gereja kami. Buku yang konon kabarnya diketik, diperbanyak dan dijegrek sendiri olehnya. Buku yang cukup banyak hiasan gambarnya, mungkin koleksi dari buku liturgi beberapa pasangan sebelumnya yang tidak akan pernah ada tanpa campur tangan Bert. Engelbert Walnader Reinhart Malonda dengan Yunita Olgha Sagune, dua nama yang semoga hanya sekali ini menjadi cover liturgi peneguhan dan pemberkatan nikah.
Pemberkatan pernikahan Bert tidak hanya berkesan bagi kedua mempelai, tapi juga untuk teman-temannya di GKI Kwitang. Kesan pertama dimulai dari pengiriman undangan yang mepet banget, ada revisinya pula plus cerita di baliknya.
“YA, DENGAN SEGENAP HATI” jawab Bert sangat lantang yang langsung ditanggapi hampir seluruh jemaat yang hadir, tidak lupa sikap hormat dari Devi, sang penyanyi. Apakah ada hubungannya dengan huruf kapital pada tulisan itu?
“Pujilah Khalik semesta.....” jemaat menyanyikan sambil berdiri yang dilanjutkan dengan dibukanya cadar pengantin wanita oleh pengantin pria dan kemudian....
”Cup” ada yang nyosor tanpa dipersilakan. Tindakan spontan yang memancing gelak tawa hampir seluruh jemaat. Ditambah pula dengan cadar yang terbuka hanya separuh...untung gak dijawab “ya, dengan separuh hati”.
Untuk mendukung acara ini, 2 orang penyanyi paling top di GKI Kwitang, Rani Djandam dan Devi Emerson menyumbangkan lagu The Prayer dengan persiapan sangat minim, diiringi oleh Elly sebagai pianis. Tapi hasilnya oke kok. Pemberkatan ini juga didukung oleh Frieda sebagai pemandu pujian dan Spiritual Lounge, band yang terdiri dari Daniel, Andika, Alex & Bobby.
Setelah pemberkatan? Lebih seru lagi... Para penyanyi beraksi dengan lagu yang membuat orang bergoyang. Penari latar dadakan bermunculan sampai tiba sesi foto-foto bersama kedua mempelai.
Bert yang sering kali lupa urutan Toemon sisters, dengan semangat cukup tinggi membongkar data gereja mencari urutan yang benar, karena kalau nanya ke orangnya jawabannya sering beda-beda. “Bikin pusing aja” ujarnya. Tapi...tetep aja dicari dan akhirnya...lupa lagi, nanya lagi, dijawab ngawur lagi.
Bert yang punya foto berdua terbanyak dengan sebagian besar perempuan di seputar GKI Kwitang (masihkah?). Atau sudah tergeser oleh oranglain?
Bert, yang email hari rabunya selalu ditunggu oleh seksi kebaktian pemuda, kali ini mengirimkan lebih cepat dari yang dijadwalkan. Dia mengirim tata ibadah minggu 10 Januari bukan di hari rabu, tapi hari kemarin, sehari sebelum pernikahannya, pas tahun baru pula. Salut deh untuk komitmen kerjanya pada GKI Kwitang.
Selamat menempuh hidup baru ya untuk Bert & Ita...semoga berbahagia dan awet sampai tua....
PS: pertanyaan di atas mohon dicari jawabannya setelah semua urusan pernikahan selesai atau tanyakan ke salah seorang Toemon sisters yang berjanji akan menjawab dengan benar sampai seminggu ke depan.
Lanjutan A Night With Dayak, Goethe Haus
14 Desember 2009
Berangkat dari rumah udah jam 8 lewat, sms si Jaya juga kasih tau bakal telat, dibales ntar lewat pintu samping aja. Brmmm,,,,brmmm,,,mocil melintas menuju Menteng.
Sampai sana...emmm...pintu sampingnya yang mana ya? Kmaren kayanya cuman lewat 1 pintu yang itu doank, apalagi tugasnya penerima tamu. Ada pintu lain, coba aja masukin sekalian liat-liat bangunan dan cari toilet. Ktemu anak-anak lain yang kayanya les di situ dan tentu saja ketemu toilet. Bersih lho toiletnya...sampai teringat sesuatu...Jaya. Kan harusnya nyari itu orang dulu hehehe...
“Nah itu dia...Hai...” Ana menyapa Jaya yang terlihat rada ngantuk itu
“Hai” dijawab dengan nada ngantuk. Tuh bener kan? Emang ngantuk itu orang
“Ngapain nih kita?” tanya perempuan berkaca mata berbaju coklat muda itu.
“Nungguin aja” jawab di pria berbando kaca mata itu “Mau liat video kmaren gak?”
“Mau...mau...mana?” Ana jadi agak bersemangat dikit mendengar tawaran kedua. Kalo menunggu? Emmm...mending ngerjain yang lain aja deh.
Foto...foto...foto...Di laptop adanya cuman foto tapi kelupaan protes nanya video karena keasikan ngobrol tentang demo, kuliah, bahasa jawa dikit dan akhirnya barulah ketahuan kalau akenku si Agus temenan ama Jaya, pas lagi chating pula ama itu anak. Jaya kenalnya ama Gusfrimanuel. Mina Ana kenalnya ama Agus, anaknya Kak Tekeng. Kami ultahnya barengan lho....kapan-kapan mau ngerayain bareng.
Ngobrol...ngobrol...ngobrol...sampai tibalah waktunya buka warung. Ellyn datang mau jadi kasir. Jaya dah minum kopi pesen di warung.
Sibuk...sibuk...sibuk...lanjut dengan jagain buku tamu di pintu depan. Hmmm....kalo dirasain sebagai “menunggu” pasti bakal bosan setengah mampus, liat hp aja deh, intip fb, baca berita, chating juga. Chating ama Jaya...minta bawain buku acara. Chating ama Karra, Neng Licu dan....siapa lagi yah? Lupa. Abis itu baca buku yang emang sengaja dibawa. ‘Footnotes’ alias catatan kaki, catatan yang memang beneran ditulis pake kaki karena orangnya gak punya tangan dari lahir. Cerita yang inspiratif dan memberi semangat. Cerita yang membuatku lebih bersyukur lagi karena punya tangan yang bisa ngetik tik tik hampir setiap hari walaupun kadang dengan jempol doank. Jempol memang top. “i like this”. Facebook banget.
Mas Durga, tukang tato sangar bercawat itu lagi cari korban baru, cewe, yang mau ditato, bosen ama cowo mulu katanya. Aku sih mau aja tapi motifnya belum memutuskan, itu kan permanen, jangan sampai menyesal di kemudian hari. Mendengar ada perempuan Dayak yang berminat ditato, datanglah Mas Durga dengan busana super minimnya mendatangi si penjaga buku tamu di pintu depan sana.
“Katanya mau ditato? Jadi? Nih gw bawain motif-motifnya” kata Mas Durga sambil berjalan mendekat dengan ekspresi cengengesan riang membawa 2 albun motif tatonya.
“Liat donk, kali aja ada yang cocok. Yang motif Dayak Ngaju ada? Gw Orang Ngaju” tanya si perempuan yang berniat bikin tato tapi masih bingung itu.
“Kresek...kresek...” bunyi album yang dibolak-balik
“Ini buat di tangan nih, yang ini buat di bahu, ini punggung....” mas Durga menjelaskan dengan gaya ceria. Busyet deh, kirain ini orang sangar, ternyata nggak loh
“Nah, ini dia yang Dayak Ngaju, keren khan?” seru Mas Durga nyaris berteriak.
“Keren banget mas, tapi...itu kan judulnya Dayak Warrior, pria gagah perkasa gitu, kan yang mau ditato gw, cewe manis gini” kata Ana dengan nada suara yang makin turun.
“Huahahahaha...” Sang model favorit para fotografer itu terbahak-bahak disambut dengan tawa perempuan sipit di sebelahnya, yang walaupun kadang juga ‘gagah perkasa’ tapi gak sampe segitunya kalee...
“Dayak Ngaju itu orangnya gak banyak ya?” tanya si Mas setelah tawa mereda, motifnya gw gak nemu banyak.
“Orang Ngajunya sih banyak, tapi emang kebudayaannya udah rada ilang. Kalo tato, gw malah gak ngeliat itu sebagai kebudayaan Ngaju, kalo minum sih iya. Kami itu gak punya aksara sih, warisannya cuman dari mulut ke mulut” Berikut penjelasan singkat dari seorang perempuan Dayak Ngaju yang kayanya rada sok tau, wong lama tinggal di Jakarta.
“Minum tuak ya? Wah enak itu...apalagi yang ngasih cewe-cewe cantik” Mas bertato terkekeh-kekeh, spertinya ngebayangin tuak kemaren. Emang dia kebagian juga yah?
“Itu namanya baram, Mas” kata si cewe cantik yang kemaren ikut membagi-bagikan baram di dalam bambu tapi gak kebagian minum itu.
Yang lain pada datang juga nih, ada Rani, Ochie, Merry, Om Tus, Tante Peggy, Sasha, Angel dan....inilah yang kita nantikan sejak kemaren, Leo Oendoen. Penghuni meja depan penerima tamu makin bertambah sejak kebosanan menerpa bagian belakang Goethe Haus. Penjaga meja depan malah sudah bosan duduk di situ dan akhirnya nyamperin teman barunya yang bertato itu di bagian belakang. Si Mas masih membujuk bikin tato, kali ini di bagian yang makin aneh, leher. Kayanya ketemu juga deh korban yang mau ditato bagian lehernya, kameramen dia sendiri.
Di dekat situ Tante Yos asik sendiri dengan manik-maniknya. Aku yang memang tertarik memanik dan mau belajar lebih jauh tentang cara bikin motif langsung mengalihkan perhatian dari tempat tato ke manik.
“Ini gimana sih bikin motifnya?” tanya Ana dengan tampang penuh rasa ingin tahu.
“Ini motifnya memang sudah ada, tante ikutin yang sebelumnya aja, cara memaniknya ada 2 macam. Kalo yang jaman dulu pake banyak benang kaya gini nih, baru dirangkai ikutin motifnya. Kalo sekarang, udah ada jarum sih lebih gampang, pake 1 benang aja, kalo kurang disambung” jelas Tante Yos. Penjelasan singkat sangat padat yang menarik banget.
Mulai nih prakteknya....menajamkan ujung benang pakai lilin, colek-colek manik, masukin ke benang... Wohohoh...perlu mengeluarkan banyak stok kesabaran nih. Langsung terbayang perempuan Dayak jaman dulu harus membuat manik sendiri dan merangkainya. Mantap!
Hebat! Sakti! Kesaktian seseorang gak cuman dari jago berperang bukan? Setuju? Ya setuju lah, wong ini kan catatan sendiri, kalo ada yang mau baca, gak boleh protes.
“Orang kan sering ada yang minta reparasi baju tuh yang benangnya lepas, kalau pakai benang banyak lebih gampang, kaya gini nih caranya” kata Tante Yos sambil menunjukkan caranya.
“Oooo....” terdengar bunyi sebuah vokal dari mulut Ana, jidat agak berkerut, rumit juga, benang kesana, benang kesini. “Merangkai yang biasa dulu aja deh tante, kayanya itu untuk level jagoan deh”
“Nih, kamu coba yang pakai jarum aja, yang ini tinggal lanjutkan, contek motif sebelumnya aja” kata Tante Yos sambil menyerahkan karyanya yang belum selesai.
“Sret...sret...sret...kuning dua hitam satu...hitam kuning hitam...hitam tiga” Ana menggumamkan hapalannya.
Om Tus, Tante Peggy & Sasha bergerak mendekat, memperhatikan tapi menolak mencoba sambil geleng-geleng kepala. Seorang lelaki jangkung botak juga duduk mendekat, pas disuruh nyobain, geleng-geleng juga... Ini orang liat-liat doank, tusuk dikit ah pake jarum hehehe....
Terus mamanik sambil mendengarkan musik Dayak dari counter Mas Durga di seblah sampai akhirnya terdengar bunyi musik karungut ala Katingan. Wah...darah leluhur di nadi serasa memanggil, rasanya langsung pingin manasai. Baru bisa ngebayangin para pecinta dangdut yang langsung angkat 2 jempolnya kalo denger musik kegemarannya. Untung itu panggilan gak cuman menghampiri 1 orang, Keluarga Om Tus juga, lumayan ada temen.
Mulailah kami menari manasai berkeliling membentuk lingkaran kecil dengan penari 4 orang dari Keluarga Riwut. Angel lagi cemberut, gak ikutan nari. Jaya, uluh Ngaju bernama Jowo itu gak mau ikutan nari, malah merekam kami dengan handycam. Karungut ala Katingan berakhir menjadi lagu lain entah dari daerah mana, manasai pun berhenti, kegiatan memanik berlanjut...
Lanjut memanik sampai waktunya pola berganti...ini dia nih tantangannya. Sang murid pemula belum bisa, colek-colek ibu guru...
“Tante, ini gimana nih? Udah nyampe ujung, polanya ganti kan?”
“Iya bener, tapi kok jadinya kaya gini yah?” ucap Tante Yos dengan muka konsentrasi penuh
“Wah gmana nih? Salah ya?” tanya Ana dengan sedikit rasa bersalah
“Ini memang dari awalnya hitungannya kurang tepat kok, tadi buatnya pake ukuran sepanjang ini nih, harusnya kan hitung maniknya” kata Tante Yos melegakan muridnya. “Masih bisa dimodifikasi kok, kita pake manik putih aja ya buat ujung di belokan sini”
“Iya tante” jawab Ana sambil angguk-angguk kepala lega, mata melirik tajam ke tangan Tante Yos, kalo dari dauh terlihat kaya nyontek pas ujian.
Leo Oendoen datang dengan topi manik yang sudah dibelinya, minta dipasangin tempat bulu di topinya ke Tante Jagoan Memanik.
“Tante, tolong pasangin tempat bulunya, yang kuat ya tante...bisa kan sekarang?” pinta Om Yon
“Bisa, itu sih cepat bikinnya, mau pakai manik apa? Oooo kalo yang ini bagusnya merah” Tante Yos langsung mengambil kotak manik merahnya dan memulai proses pembuatan tempat bertengger si bulu.
Sang murid agak sedikit panik karena contekan tidak berlaku lagi setelah adanya modifikasi manik putih, mau ngarang sendiri ntar malah ngaco. Sang murid mencoba menarik perhatian gurunya dengan colek-colek menanyakan langkah berikutnya. Ibu guru yang senang punya murid yang bersemangat langsung menghentikan urusan bulu dan kembali mengajari muridnya. Si Om Leo yang akhirnya tau bulunya dicuekkin rada cemberut hehehe...Ditunda sebentar doank kok.
Jam 5 sore, siap-siap bongkaran nih...Stand kerajinan sudah mulai berkemas. Mas Durga mempercepat tuk tuk tuk tato manual di leher modelnya itu. Beneran loh ketauan banget kecepatannya makin bertambah, semoga leher itu orang baik-baik aja yah...
Ana, sang petugas buku tamu yang melalaikan tugasnya selama berjam-jam itu kembali ke tempat tugas, mau beres-beres. Loh, kok malah banyak yang datang ya? Buku tamu terisi oleh lebih banyak nama dibanding jam-jam sebelumnya. Kembali tersenyum menyambut para tamu...
“Jay, kapan bongkaran?” tanya Ana ke komandan bongkaran.
“Ntar lagi” kata sang komandan
Tania & Amel temen Luni datang, mereka mau beresin foto-foto. Mereka mau ngemil dulu di kantin belakang. Kak Andreas Mensair juga datang dengan anak-anaknya. Dia sudah memulai proses angkut-angkut pajangan Sanggar Tingang Madaang yang memang buanyak banget itu.
“Yuk, bongkar sekarang aja” kata komandan pembongkaran
“Yuks” jawab Ana sambil mencomot foto-foto yang tertempel di dinding dan partisi
“Ana, bantuin yuks, angkat tangga” perintah komandan
“Siap komandan”
Pencopotan foto memakan waktu sangat singkat dengan dibantu 2 orang anaknya Kak Andreas, bahkan sudah kelar sebelum Tania dan Amel kembali dari menikmati cemilan sore. Ada rasa sayang juga melihat hasil karya banyak orang selama berjam-jam sirna dalam waktu beberapa menit.
Habis beres-beres, kami semua ditraktir makan malam di cafe yang dulunya bernama Oh Lala, sekarang jadi Grato entah dengan alasan apa. Makan di sini dapat diskon 10% lho, mereka ternyata nasabah Yiyi untuk kreditnya. Cerita makan-makan ini seru juga sih, tapi dibahas kapan-kapan aja deh...udah uyuh & ngantuks.
Biru Muda dan Biru Putih
“Tin...tin...tiiiiiinnnnn” bunyi klakson menjerit di tengah kepadatan lalu lintas Jakarta.
“Tin...tin...tiiiiiinnnnn” bunyi klakson menjerit lagi di tengah kepadatan lalu lintas Jakarta.
“Tin...tin...tin....tin...tiiiiiinnnnn” bunyi klakson lagi-lagi menjerit di tengah kepadatan lalu lintas Jakarta.
Seorang pengemudi mobil kecil yang sedang asyik ditemani oleh suara khas Ari Lasso merasa sedikit terganggu seraya melihat ke spion. Mobil biru berlampu di atas kap dan berlambang burung biru ada di belakang, mobil hitam berlambang lingkaran biru putih di kanan belakang agak serong menyodok si taksi biru, mobil biru muda yang penumpangnya berhadapan di sisi kiri mepet trotoar.
“Nah, pasti si biru muda nih yang berisik dari tadi” kata pengemudi mocil dalam hati. Pendapat penuh prasangka mengingat reputasi si biru muda tukang ngetem ini.
“Tin...tin...tiiiiiinnnnn” bunyi klakson menjerit lagi di tengah kepadatan lalu lintas Jakarta.
“Lah? Kok bunyinya gak dari kiri yah? Apa karena kecapekan jadi disorientasi gini?” kali ini sang pengemudi mocil tidak lagi berbicara dalam hati.
Celingak...celinguk....lirik sana....lirik sini....
“Hah?” seruan kaget dari sang sopir seraya melirik ke kiri.
“Yang berisik bunyiin klakson dari tadi itu ternyata si mobil hitam berlambang biru putih dalam lingkaran” suatu pikiran dalam hati yang membuat sadar akan sesuatu. ---> Kalimat ini modifikasi demi menjaga perasaan si biru putih dalam lingkaran, aslinya pake merk.
Kesimpulan sederhana yang tadi diambil hanya berdasarkan pandangan mata sesaat dan prasangka karena reputasi yang buruk demi kejar setoran. Jarang ada yang menyangka pengemudi mobil hitam keren mengkilap dengan lingkaran biru putih itu akan menambah kebisingan di kota metropolitan ini. Sedikit pula yang menyangka kalau pengemudi taksi biru dengan reputasi terbaik dan konon kabarnya supirnya kalem itu menolak memberikan jalan ke mobil sebelah dengan kekeh bertahan di jalurnya.
Si pengemudi mobil kecil kemudian melanjutkan perjalanannya dan tiba dengan selamat untuk akhirnya mengetik kisahnya ini malam harinya.
Kuatir Hari Esok
Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari (Mat 6:34)
Ayat Alkitab ini menghampiri dalam 2 kesempatan berbeda dalam waktu yang tak jauh berbeda dalam hidupku. Yang pertama nongol di timeline twitter lewat layar hp sambil menunggu hujan berhenti, yang kedua tadi malam di saat renungan rapat Semuger yang dipimpin oleh Om Harry. Sebagai orang yang percaya bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, rasanya sudah layak dan sepantasnya kalau kejadian ini dicatat.
Hari Minggu, 8 -8-2010 yang lalu adalah hari yang bersejarah buatku. Bukan karena angka 8 nya yang ada 2 lho...Angka 8 memang cukup sering menghiasi hidupku, terutama nomor hp. Dari 3 nomor hp yang aku punya, pasti punya angka 8 lebih dari 1. Hari itu aku secara resmi membuka tokoku yang pertama. Sebelumnya “toko” ku selalu berpindah mengikuti pameran & bazar yang aku ikuti. Walaupun sudah hampir sebulan sebelumnya disiapkan, tetap saja masih ada yang dirasa kurang. Masih teringat persiapan buka toko saat masih bekerja di perusahaan retail itu. Perusahaan besar dengan banyak rekan kerja, tetap saja masih kelabakan. Pengecekan harus dilakukan berkali-kali. Walaupun toko ini kecil, tapi karena usaha sendiri jadi persiapan dan pengecekan dilakukan jauh lebih teliti, ditambah pula tiada orang lain yang mengerjakannya. Toko ini dikelola oleh 2 orang, aku dan tanteku yang kupanggil Mamah Ida.
Hari Sabtu tanggal 7-8-2010, aku terjebak hujan lebat yang memakan waktu hampir 2 jam untuk bergerak lagi ke tempat berikutnya. Aku benar-benar kuatir karena kurangnya waktu untuk persiapan, ditambah pula fisik yang di masa lalu sering drop bila terkena hujan. Saat inilah ayat Alkitab itu muncul di timeline twitter yang kemudian dilanjutkan dengan retweet. Rasa kuatir tiba-tiba sirna. Sel-sel kelabu di kepalaku tiba-tiba pula terisi bermacam ide plan B,C,D dst...sampai J (kira-kira 10 ide). Ada rasa tenang dan perasaan kalau semua akan baik-baik saja.
Perasaan tenang itu berlanjut sampai malamnya dan keesokan harinya. Pengunjung yang datang kebanyakan bukan orang yang memang sengaja kuundang. Kebanyakan justru dari Bandung dan Bogor. Senang juga rasanya bertemu teman baru. Lebih senang lagi karena teman barunya menambah omset cukup besar hehehe....
Hari Senin tiba pula. Hari ini adalah hari pertama rapat Semuger untuk masa tugas 2 tahun ke depan. Sebagai sekretaris, aku sudah mengundang teman-teman lain lewat beberapa cara, lewat undangan tertulis, sms, status facebook sampai cara paling tradisional, colek-colek trus bilang “Dateng rapat ya hari senin jam 7 malem...”
Rapat dimulai dengan renungan singkat yang dibawakan Om Harry Ramaputra. Yang menjadi dasar renungannya ya ayat yang di atas tadi itu...
Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari (Mat 6:34)
Om Harry berbagi cerita tentang tugas barunya sebagai ketua Semuger. Tentang pengertiannya tentang musik yang tak seberapa. Tentang masalah di depan yang akan dihadapi. Tentang belum juga kerja sudah mendengar banyak complain, masukan, kritik & saran. Aku langsung menghentikan kegiatan sok sibuk mengedarkan daftar hadir dan mengecek hp. Pergumulan Om Harry sama banget sama aku sang sekretaris. Kalo dipikir-pikir aku juga cuma punya pengetahuan yang cetek banget soal musik. Nyanyi ala kadarnya. Main musik? Cuma bisa main suling, sedikit gitar dan sedikit bisa main drum. Semua serba sedikit. Dan kami bertugas mengelola pemandu pujian dan pemusik yang kemampuannya jauh di atas kami.
Om Harry juga berbagi cerita yang didengarnya dari sebuah radio. Cerita penuh angka tentang sebuah jam yang membuat si om harus mengeluarkan contekan kecil dari kantongnya. Cerita ini menginspirasi Om Harry untuk menjalankan tugasnya sebagai Ketua Semuger. Cerita ini sengaja kucatat di jurnal ini untuk mengingatkan diri sendiri. Cerita tentang dialog pembuat jam dengan jam buatannya.
“Hey jam, sekarang sudah jadi kau. Kau akan bertugas untuk berdetak 31.104.000 kali setahun” kata si pembuat jam kepada ciptaannya.
“Wah, banyak sekali. Gak bisa kurang?” Si jam nego.
“Kalo gitu 2.592.000 kali sebulan, gimana?” Pembuat jam membuat penawaran baru.
“Masih kebanyakan bos” Jawab si jam.
“Bagaimana kalau 86.400 kali sehari?” Tanya pembuat jam lagi.
“Itu juga masih banyak banget” Kata si jam.
“3600 kali per jam?” Tawaran berikutnya diajukan.
“Masih kebanyakan juga” Jam menjawab.
“60 kali per menit deh, bisa?” Penawaran selanjutnya diajukan.
“Kebanyakan bos, gue kan baru jadi” Kata jam lagi.
“Gini aja deh, gimana kalo berdetak tiap detik?” Tanya pembuat jam
“Oke deh kalo gitu” Jawab si jam.
Prinsip yang sama akan digunakan Om Harry & timnya untuk menjalani tugas ini. Kalau tujuan akhir dirasa begitu berat karena merasa sangat terbatas, maka akan dijalani satu per satu, langkah demi langkah, detik demi detik.
Kata yang hilang HANYA karena kata orang
Yang Mulia Prabu Hayam Wuruk dan Permaisuri Paduka Sori Sri Sudewi tampak sangat serasi di singgasana maha indah yang mereka duduki.
Prabu Hayam Wuruk dan permaisurinya sudah saling mengenal sejak kecil, mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Mereka hidup bagaikan saudara, karena mereka memang bersaudara, mereka adalah saudara sepupu. Ibu mereka kakak beradik putri Raden Wijaya dan Putri Gayatri. Pernikahan tersebut melahirkan seorang putri bernama Kusumawardani.
Sebelum menikah dengan sang permaisuri, sang prabu punya rencana indah untuk menikah dengan Sekar Kedaton Sunda Galuh yang cantik jelita bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Putri cantik yang memilih lampus diri daripada dihinakan. Hayam Wuruk muda yang kehilangan gairah hidup karena gadis yang didambanya meninggalkan dunia fana akhirnya menyetujui niat orang tuanya untuk menikah dengan adik sepupunya sendiri.
Namun, sejalan dengan bergulirnya waktu, Hayam Wuruk tak mampu mempertahankan keyakinan yang dijejalkan orang tua dan kerabat keluarga Istana di benaknya, bahwa Hayam Wuruk harus menempatkan Sri Sudewi sebagai layaknya wanita yang mendampinginya. Sang waktu memberinya jawaban dan meyakinkan Hayam Wuruk, mengawini saudara sepupunya merupakan sebuah kekeliruan yang menumbuhkan perasaan tidak nyaman di hati.
Hayam Wuruk merasa iba pada istrinya yang tidak memperoleh haknya sebagai istri, tetapi sang prabu tidak mampu memaksa diri. Mula-mula Sri Sudewi kecewa dan terpukul menghadapi sikap dan keadaan suaminya yang demikian, tetapi ketika waktu pun berjalan, Sri Sudewi akhirnya bisa memahami. Barangkali, di sudut jagad manapun tidak ada orang yang bernasib lebih malang dari Sri Sudewi yang terjebak dalam kehidupan rumah tangga semu, harus selalu tampak bahagia di samping sang suami. Semoga zaman itu tidak ada orang yang mengetahui masa depan, tentang sepak terjang seorang putri dari Inggris yang memilih sikap berbeda dengannya.
Dalam perbincangan berdua, perbincangan yang dilakukan dari hati ke hati, Prabu Hayam Wuruk dan permaisurinya itu akhirnya mengambil sebuah keputusan yang disepakati bersama, bahwa untuk menjaga perasaan kerabat dan keluarga, mereka akan bersandiwara. Dalam setiap kesempatan apapun mereka akan selalu tampil bersama memamerkan sikap mesra dan bahagia demi sebuah citra. Hal itu berlangsung bertahun-tahun.
Kepura-puraan itu akhirnya tercium oleh ibunda sang prabu, mantan prabu putri Sri Gitarja Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani, seorang perempuan yang dapat merasakan perasaan perempuan lainnya walau tanpa pernah diungkapkan dan selalu disembunyikan.
“Jangan kau mengira ibu tidak tahu, Hayam Wuruk” kata Sri Gitarja dengan suara tertahan “Ibu bahkan sudah tahu sejak awal bahwa telah terjadi bentuk hubungan yang tidak seharusnya.”
Hayam Wuruk termangu...
“Jangan pernah berprasangka Paduka Sori mengadu masalah itu, Prabu” lanjut Sri Gitarja. “Dia adalah wanita terhormat yang mengorbankan dirinya sendiri untuk kerajaan ini dan menjaga rahasia keluarganya”
“Ibunda, sejalan dengan terus bergeraknya waktu, kami merasa hubungan suami istri antara kami ada yang tidak pada tempatnya. Hingga akhirnya aku dan Sri Sudewi mengambil sebuah kesepakatan bersama.” Jawab Hayam Wuruk pada ibundanya.
“Kesepakatan bersama untuk bersandiwara?” Tanya Sri Kertawardana, ayah sang prabu, langsung tepat ke keadaan sesungguhnya.
“Benar Ayah.” Jawab Hayam Wuruk datar.
“Kau dan istrimu mengambil kesepakatan apa, Hayam Wuruk?” tanya ibunda raja itu.
“Sebelumnya, maafkan aku ibu” kata Hayam Wuruk, “aku dan Sri Sudewi tak mungkin saling mencintai layaknya suami istri. Cinta kami berdua tetap dalam bentuk cinta antara kakak dan adik yang tidak mungkin dipaksakan untuk berubah. Aku dan Sri Sudewi tak mampu melakukan yang lebih jauh dari itu. Namun kami berdua juga sangat menyadari harapan dan keinginan macam apa yang harus kami hadapi. Hubungan kami tidak mungkin berakhir demi kelanjutan kerajaan ini. Kami tahu akan banyak pihak yang kecewa”.
Prabu Hayam Wuruk yang kuasanya sangat besar itu mempunyai istri lain. Permaisuri tidak memiliki anak lelaki pewaris kerajaan sangat luas itu. Permaisuri tetaplah seorang putri cantik yang terhormat tapi terpenjara sampai akhir hayatnya.
Yang Mulia Prabu Hayam Wuruk dan Permaisuri Paduka Sori Sri Sudewi tampak sangat serasi di singgasana maha indah yang mereka duduki, singgasana di sebuah panggung sandiwara kehidupan.
Akankah yang seperti itu harus terjadi di abad ini? Masa dimana ada sesuatu yang diimpikan, digumamkan, didengungkan, dikatakan, diteriakkan, diperjuangkan dengan segala daya oleh para pahlawan kita....MERDEKA. Sesuatu yang telah kita dapatkan sebagai warisan yang mahal. Akankah hal itu harus hilang hanya oleh kata orang?
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
Di rumah kami ada burung tekukur yang dipelihara dalam sangkar di depan rumah. Burung tekukur ini pernah dikira sudah ...
-
Kacamata kuda adalah istilah yang sering digunakan sebagai kalimat kiasan. Orang yang memakai kacamata kuda artinya ...
-
Butuh bujang alias rumput belulang sangat akrab dengan masa kecil saya di Kalimantan. Bagian buah dari tumbuhan ini be...
-
Jeroan adalah makanan dengan banyak peminat di Indonesia. Bagian dalam hewan ini umum dijadikan bagian menu masakan. Di...
-
Di halaman rumah kami, ada sebuah sangkar burung berwarna putih. Hanya ada 1 ekor burung yang menjadi penghuni sangkar...
-
Batu-batuan alami yang diselingi aliran air telah menghiasi bumi selama berabad-abad. Suasana aman tentram dan damai akan se...
-
Dalam budaya Jawa, gong sering digunakan sebagai penanda. Pada beberapa acara, gong dibunyikan bila ada tamu kehorm...
-
Saat berkunjung ke Bali, salah satu yang wajib dinikmati adalah tariannya. Saya juga menyempatkan dan mencari kesempa...
-
Saya tersenyum sendiri ketika melihat ke arah kaki keponakan kecil saya. Anak kecil itu terbalik sepatunya. Sepatu ...
-
Ini dia anak kucing yang terjebak di saluran air itu Di suatu akhir minggu, terdengar bunyi mengeong dari dalam rum...
Isi blog ini
-
▼
2010
(45)
-
▼
September
(32)
- Pasar Tradisional yang Modern di Kalimantan
- Hati Yang Penuh Syukur Akan Terima Kasih
- Dibebaskan dan Hidup Bebas
- Perumpamaan kura-kura
- Betang 70 Tiang : Titik-titik Hitam Melayang di La...
- Tidung
- Perjalanan Ke Kapuas
- Tarian Adalah (juga) Jati Diri Kita
- Tarian Dayak di Jalan Jaksa
- Senyuman
- Paskah Warga GKE di Jakarta & Sekitarnya : Acara H...
- Paskah Warga GKE di Jakarta & Sekitarnya : Acara H...
- Paskah Warga GKE di Jakarta & Sekitarnya : Keberan...
- Dari Betang 70 Tiang: Here, There & Everywhere
- Doa dari Dekat Jendela
- 2009
- Wayangan
- Kura-kura dan Keluarga
- Acara Ultah Mamah 60 tahun
- Kunjungan Yayasan Kasih Orang Tua dan Peduli Anak ...
- Abang² & Bidang Miring
- Dua pasang Dua Bersaudara
- Bertje (Tulisan pakai ejaan lama, bacanya pakai ej...
- Lanjutan A Night With Dayak, Goethe Haus
- Biru Muda dan Biru Putih
- Kuatir Hari Esok
- Kata yang hilang HANYA karena kata orang
- Terima Kasih dan Senyuman yang Sama
- Kunjungan ke Markas Tingang Madaang
- Toilet Bandara
- Kerupuk Remuk
- Eyang Suster 88 Tahun
-
▼
September
(32)