Ana

Selasa, 16 Februari 2010

IN EVERYTHING GIVE THANKS

‘IN EVERYTHING GIVE THANKS’ adalah tulisan yang ada di mug biru tua model V kesayanganku. Mug ini hadiah dari kakakku satu-satunya, Heru. Kakak yang biasa aku panggil Maslu juga. Hadiah yang diberikan padaku bertahun-tahun yang lalu sebagai hadiah ulang tahun. Hadiah itu dibungkus dengan kertas kado tak rapi ala cowok, warna kuning.
Mug ini telah menemani perjalanan hidupku. Dia telah kubawa ke 3 kamar kos yang pernah kutempati. Dari kamar kos besar yang aku tempati berdua, kamar agak kecil berwarna kuning, hingga kamar kecil langsing di lantai 2. Waktu di kamar lantai 2 itu, mug ini sering bertampang tak karuan karena aku malas nyuci ke lantai bawah setelah dipakai minum pagi. Mug ini terlihat lebih dinamis dan dramatis di tengah serangga kecil penyuka manis (terjemahan: dikerubungi semut).
Dengan tulisan di kedua sisinya, mug ini mengingatkanku, walau keadaanku saat itu tidak senyaman di rumah orang tuaku, harus tetap bersyukur. Give thanks. Caranya? Gampang-gampang susah sih.
Selain mengisi semangatku, mug ini juga mengisi perutku dengan sereal kalau pagi, kopi kalau habis sarapan (setelah balik lagi ke rumah), teh panas (kalau lagi perlu kehangatan), dan air putih tentunya.
Saat aku haus...emang perlu dibahas ya? Ya mugnya dipakai minum lah....
Saat aku letih, lelah dan bosan dengan pekerjaanku, tulisan di mug ini pernah membuat emosiku agak kacau. Marah. Gimana bisa? Tapi ternyata bisa kok, give thanks itu datangnya dari pikiran dan pikiran itu punya kita sendiri, bisa diatur-atur. Kalaupun kita tidak bisa bersyukur akan hal itu, masih ada hal lain yang bisa disyukuri. Ya tho?
Saat aku sedih karena semua rencana masa depan buyar, mug ini juga menemaniku dengan air beningnya. Biasanya kalau lagi sedih asam lambungku berkembang biak tak terkendali. Konon lawannya air putih bening dan obat langganan tentunya. Air itulah yang aku paksakan masuk ke dalam mulutku yang asam pahit. Tulisan di mug itu tentu saja terbaca lagi dan lagi. Give thanks? Tentu donk...daripada buyarnya di masa depan bukan?
Saat aku kecewa akan seseorang, mug ini juga sering berada di sekitar genggamanku. Ada yang bilang, hanya waktulah yang dapat mengobati rasa kecewa (entah siapa nih orangnya yang bilang). Nah, kalau memang benar kaya gitu, berarti aku harus hidup sekitar 200 tahun untuk menghilangkan semua ini. Gak mungkin kan? Lagian rugi amat hidup lama-lama tapi kecewa. Dilupakan? Belum bisa. So caranya bersyukur akan hal yang lain, yang membuat kecewa tidak perlu disebut kecuali diulang-ulang terus dan aku tak kuat lagi untuk menahan keluhan.
Saat aku senang, gembira ceria, tulisan di mug ini juga mengingatkanku untuk mengucap syukur dan berterima kasih. Manusia seperti daku ini memang kadang kurang ajar, dikasih yang enak trus lupa dengan alasan usia.
Malam ini, mug ini menemaniku dengan teh hangatnya yang menyegarkan badan yang letih. Maklum, pikiran masih segar dengan banyak ide. Tapi badan sudah keletihan karena berniat bergerak indah tapi jadinya entahlah. Akhir kata...IN EVERYTHING GIVE THANKS.

Selasa, 02 Februari 2010

Bue

            Bue adalah sebutan ‘kakek’ dalam Bahasa Dayak Ngaju. Aku memanggil kakekku ‘Bue’ karena dia adalah orang yang berasal dari Dayak Ngaju dan kami memang diajarkan untuk memanggilnya seperti itu. Aku mengenal Bue hanya selama 9 tahun dari masa awal hidupku. Dia dipanggil Sang Pencipta pada bulan yang sama dengan ulang tahunku yang ke-9.

            Tulisan ini adalah kenanganku akan Bue, dimana tanggal 2 Februari adalah tanggal kelahirannya di KTP. Tanggal pastinya? Hanya Yang Mahatahu yang tahu.

             Bue dengan kaos oblong putihnya yang sedang menulis atau membaca di tengah tumpukan kertas di kamarnya. Dia duduk di sebuah kursi hitam yang ada rodanya menulis catatan hariannya, tepat seperti yang sering aku lakukan di malam hari. Bedanya, cara sang cucu lebih canggih dengan teknologi jaman sekarang, tiktiktiktik. Kalau isinya? Sepertinya belum bisa mengalahkan catatan Bue. Ternyata kursi yang dia gunakan itu adalah kursi yang sama dengan yang aku duduki sekarang, joknya sudah diperbaiki tentunya. Kursi yang aku ambil dalam keadaan jok sobek pada saat rumah Bue & Eyang yang terletak di sebelah rumah orang tuaku itu dijual.

            Bue adalah orang yang selalu membeli ikan mas untuk mengisi kolam ikan di rumahnya, walaupun ikan-ikan itu tak lama kemudian akan menemui ajalnya akibat perbuatan para cucu bandelnya. Saat itu, gank cucu bandel beranggotakan 6 orang, 3 laki-laki, 3 perempuan. Bue yang memelihara sepasang kura-kura di ember dalam kamar mandi. Entah apa alasannya, sampai hari ini masih menjadi pertanyaan bagiku.

           Bue juga pernah memelihara bejuku, hewan sebangsa kura-kura tapi berukuran besar di bawah rumah panggung. Rumah panggung besar bernama LMAXI di Banjarmasin.

            Bue dengan kaca mata hitam kebanggaannya, berjalan kesana-kemari menyambut hari. Bue yang sering bercerita dan berpantun di teras sebuah rumah besar yang ada pohon mangga dan rambutannya. Rumah besar yang di depannya terpampang namanya tapi tidak diakuinya di depan cucunya ini. Katanya, itu nama jalan ke Tangkiling. Dan ejaan jaman dulu ‘Tj’ itu dibaca ‘C’. Dilanjutkan dengan pelajaran ‘Dj’ dibaca ‘J’, ‘Oe’ dibaca ‘U’.

            Bue dengan mobil besarnya yang lebih besar dari Tomtom (mobil keluarga kami) selalu membuatku senang kalau datang ke rumah. Mobilnya bisa untuk main rumah-rumahan dengan kakakku sebagai tamunya (dengan sedikit paksaan) dan aku yang punya rumah.

           Bue yang menyanyikan lagu ‘Hatalla Sinta’ hampir di setiap pertemuan keluarga. Lagu ini adalah satu-satunya lagu ‘Nyanyin Ungkup’ yang berhasil dihapal oleh keluarga kami yang berkembang menjadi berbagai macam suku karena pernikahan anak-anak Bue.

            Bue memberikan nama ‘Hamaring’ padaku, yang artinya air kehidupan. Nama unik yang sampai tulisan ini dibuat hanya dimiliki oleh 1 orang pemilik account facebook. Selain aku, pemilik nama Hamaring yang kukenal hanya 1 orang lagi, seorang anak beribukan Orang Dayak yang tinggal di Bogor. Bue yang pernah menceboki aku ketika masih kecil dan belum bisa cebokan sendiri. Menurut sejarah yang pernah dicatat dan diingat, aku adalah satu-satunya orang yang pernah dicebokin Bue hehehe...

           Bue adalah orang yang mengajarkanku menghitung perkalian dengan tangan, pelajaran yang masih kuingat sampai saat ini. Pelajaran yang membuatku mendapatkan nilai sempurnaku yang pertama dalam pelajaran matematika. ‘Yang tunduk ditambah, yang berdiri dikali’, itu formulanya.

             Aku baru tahu kalau dia dikenal orang sebagai orang hebat yang cerdas, pantang menyerah, penuh semangat, ramah, rendah hati dan ganteng penuh pesona justru ketika dia sudah meninggal. Namanya diabadikan menjadi nama bandara, jalan dan beberapa lembaga di daerah asalnya. Ada kerabat yang mengatakan, kalau beberapa sifatnya menurun padaku, yang pasti bukan ‘ganteng penuh pesona’ lah. Suatu pendapat yang wajar mengingat aku adalah keturunannya, tapi menjadi beban juga karena dia bukanlah milikku sendiri.

            Sepak terjangku yang agak mirip sering dihubungkan dengannya walaupun aku sangat jarang membawa namanya dalam diriku. Yang kubawa adalah semangatnya. Yang mungkin cukup parah, aku baru tahu nama aslinya beberapa hari sebelum dia meninggal. Ternyata nama yang ada di pelat depan rumah dan menjadi nama jalan ke Tangkiling itu adalah namanya. Aku memanggilnya Bue, mamahku memanggilnya Bapa. Sebagai seorang anak yang umurnya belum genap 2 digit, aku menyimpulkan kalau namanya adalah Bue Bapa. Nama aslinya aku ketahui ketika orang tuaku menuliskan surat ijin di dalam buku konsultasi untuk wali kelasku. Karena tulisan itu ada di dalam buku yang tak tersegel, maka terbacalah olehku.

            Tanpa mengurangi rasa hormat, tulisan ini tidak memuat nama aslinya. Karena, bagi seorang anak berumur 9 tahun, lelaki tua yang menyenangkan dan meninggalkan banyak kesan itu bernama Bue Bapa. Kita akan disambut oleh namanya bila kita mendarat di ibukota Kalimantan Tengah, daerah yang dibangun dan dicintainya. {ST}

Popular Posts

Isi blog ini