Ia bernama Sembilang. Ia Berbadan kecil & kurus. Dinamakan Sembilang karena waktu kecilnya pernah tergelincir dan ditemukan di lorong nomor sembilan dalam sebuah sarang semut. Sarang semut? Iya sarang semut. Sembilang adalah seekor semut hitam. Di dunia semut saja ia terlihat kecil mungil. Bayangkan saja besarnya bila dibanding dengan kita, manusia.
Sembilang termasuk semut pekerja di dalam koloni semut itu. Tugasnya mencari makanan untuk seiisi sarang, memelihara semut kecil yang baru menetas dan memperbaiki sarang. Tentu saja tugas itu tidak dilakukannya sendiri. Semut pekerja adalah jenis terbanyak dalam sebuah sarang. Dalam sebuah sarang semut hanya terdapat 1 ekor ratu semut yang menjadi induk semua semut di sarang itu, selebihnya adalah semut pekerja. Semut yang sering kita lihat di dekat gula pasti adalah semut pekerja seperti Sembilang.
Dari sekian banyak tugas semut pekerja, Sembilang paling tertantang untuk mencari makanan keluar sarang. Semangat petualang dalam diri Sembilang selalu berkobar setiap kali melangkahkah ke-6 kakinya keluar sarang. Biasanya dia keluar besama sekelompok semut lainnya untuk mengangkut makanan kembali ke sarang. Tidak seperti tugas lain yang berulang itu-itu saja, tugas mencari makanan ke luar ini selalu ke tempat yang berbeda. Pernah ke dalam stoples gula, ke dalam kotak makan siang bahkan yang paling menegangkan adalah mengambil remah biskuit di dalam mobil yang bergerak tidak lama kemudian.
“Sempada hebat ya...dia menemukan permen rasa strawberry di taman” kata seekor semut lain kepada Sembilang.
“Ayo kita keluar ikut membawa pulang permennya” kata seekor semut lain.
“Ibu Ratu pasti senang dengan penemuan hari ini” komentar salah satu semut.
Sembilang tidak terlalu bersemangat. Kali ini pikirannya dipenuhi obsesi untuk menjadi bahan pembicaraan seperti Sempada juga. Dia juga mau terkenal seperti saudaranya itu. Sempada yang tinggi menjulang mengepalai pasukan pencari makan. Sembilang merasa sangat kecil hati bila melihat teman yang juga saudaranya ini. Dia selalu berhasil mendapatkan makanan ke manapun dia pergi. Sembilang bertekad suatu saat dia juga akan menjadi ‘bintang’ di sarangnya.
Semut selalu mencari makanan untuk seluruh keluarganya. Setelah berkali-kali bertugas mengambil makanan. Sembilang baru tahu kalau sebelumnya sudah ada semut dari sarang yang pergi duluan ke tempat itu. Semut itu kemudian kembali ke sarang dengan meninggalkan jejak berupa zat kimia. Jejak itulah yang akan menuntun mereka kembali ke tempat itu dengan beberapa semut lain yang akan gotong royong membawa bahan makanan kembali ke sarang. Sempada sering kali mendapat tugas untuk melakukan pengintaian lebih dulu.
Sembilang pernah melihat Sempada pergi sendirian meninggalkan sarang. Sembilang mengikuti jejaknya dari belakang. Saat itu Sembilang sadar, bahwa semut inilah yang mengembara sendirian untuk kemudian kembali ke sarang dengan jejak makanan. Pada suatu malam, ia pun memutuskan untuk pergi sendiri mencari makanan.
“Badan kecilku yang hitam pasti tidak mudah dilihat oleh yang bermaksud mencelakakan” Pikiran ini turut membuat tekad Sembilang makin kuat. Selama perjalanannya keluar sarang, ancaman terbesar adalah terinjak atau tertindih makhluk lain yang lebih besar. Selain itu ada juga resiko terkena sapu, kemoceng, tertiup angin atau terbawa aliran air.
“Lagipula aku juga sudah beberapa kali tugas ke luar sarang, aku sudah tahu tentang dunia luar” kembali Sembilang berkata pada dirinya sendiri sambil menepuk dada.
Dengan tekad kuat, Sembilang meninggalkan sarangnya di malam yang gelap. Dia menuju tempat terakhir kali permen ditemukan. Daerah ini juga adalah daerah luar sarang yang paling segar di ingatannya. Di kegelapan malam itu, Sembilang berjalan kesana-kemari. Ia naik turun batu dan rumput sampai pagi menjelang. Saat terang, barulah terlihat jelas kalau tempat itu adalah taman bermain untuk anak-anak manusia.
Anak-anak manusia balita berlarian dan memainkan berbagai macam yang bisa dimainkan. Seorang anak yang berjongkok di pasir hampir menangkap Sembilang yang terlihat kontras di pasir putih. Anak itu mengaduk-aduk pasir tempat Sembilang berpijak. Sembilang tertimbun di dalam tumpukan pasir sampai sesak napas dan akhirnya pingsan. Walaupun begitu, ia tetap bersyukur karena kalau tidak tertimbun, pastilah ia sudah tak lagi berbentuk semut normal di tangan anak itu.
Setelah siuman, Sembilang kembali berjalan dengan perasaan sedih dan kesepian. Biasanya dia selalu bersama dengan saudara yang lain melakukan perjalanan. Kali ini ia sendiri dengan badan memar dan sakit. Ia juga telah kehilangan arah di tumpukan pasir putih itu. Ia menyesali perasaan irinya kepada Sempada. Ternyata modal untuk bertahan saat berjalan sendirian bukan hanya tubuh kecil yang tak terlihat. Apalagi ia juga teringat pada beberapa pendahulunya yang sampai kehilangan nyawa demi mencari makanan untuk keluarganya.
“Kepalaku sakit sekali dan aku lapar” Sembilang berkata lirih dalam hati. Ingin rasanya dia berteriak tapi tidak bisa. Semut tidak dapat bersuara, mereka berkomunikasi dengan saling menyentuhkan antena atau sungut. Dan saat ini tidak ada antena semut lain di sekitarnya.
Sembilang berjalan tak tentu arah di bak pasir itu. Matahari yang panas terik semakin membuatnya lemah dan lemas. Dia tertunduk sedih sambil memandang bayangannya yang berwarna hitam seperti tubuhnya.
“Aha! Bayangan! Aku ingat perjalanan kami di sore hari. Bayangan Sempada yang memimpin kami jatuh ke belakang. Sepertinya sekarang lebih baik aku berjalan ke arah yang sama, bayangannya di sebelah belakang.” Timbul sebuah pikiran yang membuat Sembilang lebih bersemangat.
Berjalan dengan bayangan di belakang tubuh artinya berjalan menghadap matahari sore. Sembilang berjuang untuk berjalan terus sampai akhirnya dia menemukan tepi bak pasir. Dia bertemu dengan rumput yang lembab. Sembilang melompat girang dan terus berjalan. Kali ini tujuannya hanya pulang ke sarang.
Tanpa disangka, di rerumputan yang terlihat seperti hutan di mata Sembilang, sesuatu terjatuh dari atas. Sesuatu yang hampir menindih tubuh mungil Sembilang.
“Plop” bunyi permen bulat bertongkat yang terjatuh ke tanah di sela rerumputan.
“Huaaaa....huaaaa.....pelmennya jatuh” tangis seorang anak berambut keriting sambil berjongkok tak jauh dari Sembilang.
Sembilang kaget sampai terjengkang karena kejadian yang terjadi belum lagi ditambah suara tangisan yang membahana.
“Sudah gak apa-apa. Kita buka permen yang baru aja ya...Yang itu sudah kotor” Kata seorang ibu sambil mendekati anak yang menangis keras itu. Anak itu tetap menangis sampai ibu itu menggendongnya dan memberikan permen baru.
Setelah tersadar dari kekagetannya, Sembilang menatap permen yang sudah dibuka tapi masih utuh di depannya itu. Sambil melongo ia mengucek matanya. Apakah ini mimpi? Di saat ia sudah menyerah dan mau kembali ke sarang malah menemukan permen besar tanpa sengaja. Pohon besar yang jadi penanda sarang pun terlihat makin jelas disinari matahari sore itu. Segera Sembilang berlari ke sarang sambil meninggalkan jejak berupa zat kimia yang dimiliki semua semut.
Sesampai di sarang, Sembilang segera memberitahukan ke sesama semut pekerja yang lain. Semirang, seekor semut yang jarang Sembilang temui memimpin pasukan itu. Sempada sedang bertugas keluar sarang. Semirang memimpin pasukan itu menuju tempat permen ditemukan dengan Sembilang sebagai penunjuk jalan yang tentu saja berjalan di depan. Sembilang sangat bangga dengan posisinya kali ini, dia berbaris di barisan depan.
“Wowww....besar sekali permennya. Kita perlu tambahan pasukan untuk membawanya ke sarang sebelum gelap” Semirang berakata dengan kagum dari barisan paling depan.
Tak jauh dari situ, sekelompok semut yang berasal dari sarang yang sama melintas dalam perjalanan kembali ke sarang. Kelompok itu dipimpin oleh Sempada. Kelompok semut yang berisi teman-teman Sembilang sehari-hari. Mereka bertemu dengan seekor semut yang dikirimkan kembali ke sarang untuk meminta tambahan semut. Kelompok ini langsung menuju tempat penemuan permen dan bergotong-royong membawa permen itu ke sarang sebelum gelap.
“Horeee....horeee....” seisi sarang bersorak senang karena datangnya makanan dan kembalinya Sembilang.
“Selamat ya atas penemuan makanannya” Sempada memberikan selamat ke Sembilang. Sembilang merasa senang tapi juga sedih. Selama ini dia tidak pernah memberikan ucapan selamat pada Sempada karena rasa iri. Tapi kali ini Sempada memberikan ucapan selamat dengan muka yang tulus dan sikap rendah hati.
Sembilang akhirnya menghampiri Sempada dan berterus terang tentang rasa iri juga kekagumannya pada Sempada. Sempada tertawa terkekeh mendengarnya. Ternyata dia juga pernah bersikap seperti itu saat masih muda. Sikap rendah hati dan menghargai semut lain didapat karena pernah hampir mati tertiup angin kemudian hanyut terbawa aliran air.
“Kita bangsa semut tidak bisa hidup sendiri. Untuk mengerjakan segala sesuatu harus bergotong-royong bersama. Kalaupun aku pernah terlihat pergi sendiri keluar sarang, sebenarnya aku tidak sendiri. Ada teman-teman lain yang sudah menunggu di luar sana” Sempada menjelaskan pada Sembilang.
“Jadi, jangan pernah lagi pergi sendiri untuk menunjukkan kehebatan kita. Segala pujian dan sanjungan tidak ada gunanya kalau kita membahayakan diri sendiri dan sarang” Sempada melanjutkan.
Sembilang menatap kagum ke kakaknya itu dan berjanji dalam hati untuk tidak lagi melakukan sesuatu yang tujuannya menyombongkan diri sendiri.
“O iya, 1 lagi yang harus diingat. Sikap gotong-royong kita itu juga ditiru oleh manusia lho...Kalau untuk yang 1 ini bolehlah kita berbangga” Sempada berkata sembari melangkah masuk ke lorong sarang.